Chereads / Sang Jodoh / Chapter 19 - Tersadar

Chapter 19 - Tersadar

Brap!

Lamunan Igho tiba-tiba pecah saat merasakan sakit di kepalanya akibat hantaman bola basket yang menimpanya.

Dari kejauhan, Raka iseng sekali menangkap bola yang melambung ke langit itu, lalu ia lempar balik ke Igho.

"Sial! Sakit tahu!" Igho terus mengelus kasar kepalanya.

Raka. Zayyan juga Kayla sudah berada di pojok lapangan.

Melihat teman-temannya itu, Igho masih terdiam dan termangu karena masalah percekcokan kemarin.

Tapi Zayyan tak menanggapi kemarahan Igho lebih dalam lagi, sudah menjadi sifat Zayyan sebagai lelaki yang pemaaf.

"Untuk apa kalian ada di sini?" tanya Igho sinis.

Raka terkekeh mendengarnya.

"Kamu masih marah soal kemarin ya, Gho?"

"Marah? Siapa yang marah? Lagi pula untuk apa marah gara-gara wanita murahan itu, Enggak banget,"

Tapi Zayyan, KAyla dan Raka menyaksikan wajah Igho yang sedang gundah gulana itu. Matanya tidak bisa bohong pada teman-temannya.

Igho yang angkuh memang tak mau terlihat lemah di depan para temannya, namun Zayyan dan para sahabatnya gak bisa melihat Igho murung seperti ini.

"Gho, kenapa kamu jadi beda gini sih?" Tanya Zayyan merasa ada yang aneh dengan Igho.

"Alah, aku gak suka kalau kamu ikut campur urusan aku seperti kemarin."

"Baiklah, aku minta maaf soal kemarin, tapi aku mau Igho yang seperti dulu. Asik, friendly, dan care.

Jangankan untuk menjadi orang yang asik, untuk tersenyum pun, Igho sudah malas sekali.

Rasanya beban di dalam otaknya akan segera pecah karena saking penuhnya. Igho hanya memikirkan bagaimana caranya Alyn dan Ibu Daniah pergi dari rumah itu.

Selama Alyn ada di dalam keluarganya, Igho merasa batinnya tersiksa.

"Sudah-sudah, kalian jangan kaku gini dong, lebih baik kita main basket aja yuk?" ajak Raka sudah menurunkan tas ransel miliknya dan di simpan di samping Kayla sebagai penontonnya.

"Siapa takut?" tantang Zayyan lalu melempar bola basket ke arah Ighi, Igho sedikit menyeringai menjawab tantangan dari Zayyan dan Raka.

Dengan suara-suara pantulan bola, Igho sedikit melepas penatnya pagi itu, sedangkan pagi sekali, Alyn tetap pergi memakai seragam kerjanya.

Berangkat dari rumah, berpamitan dengan alasan seperti biasa yaitu untuk pergi bekerja, padahal hati Alyn saat itu sangat kosong karena ia telah berbohong pada Ibunya dan Om Manaf.

Sepanjang jalan Alyn menapaki jalanan dengan mata yang kosong, mau kemana ia berjalan yang jelas tidak tentu arah.

Hingga sebuah getaran hebat membuat Alyn sedikit terkejut, Ia mencari asal mula getaran itu, dan membuka ponselnya ternyata telpon dari Anjar membuat situasi hampa Alyn sedikit mencair.

"Ya, hallo? Anjar?"

"Hei, Lyn.Kamu dimana?"

"Aku ... Aku lagi di jalan," Alyn sedikit tergagap.

"Jalan mana? Yang jelas dong!"

"Dimana ya?" Alyn sendiri tidak sadar posisi tempat ia berpijak. Ia melihat sekitar dan melirik sebuah plang besang bertuliskan Rajawali. "Di depan jalan Rajawali,"

"Rajawali? Ya udah, tunggu aku di sana! Aku akan menemui kamu!"

"Hah? Bukannya kamu kerja?" tanya Alyn tahu sekali jadwal di cafe sebelumnya tempat ia bekerja.

"Aku ambil cuti, sudahlah. Tunggu di sana! Aku kesana ya!" ucap Anzar langsung menutup ponsel itu sebelah pihak.

Alyn melihat layar itu heran dengan kelakuan Anjar yang sangat aneh. Lalu ia mengikuti arahan Anjar untuk menunggunya di tempat itu, sambil berjalan tertatih, Alyn mencari tempat teduh sambil mengayun-ayunkan kakinya di sebuah bangku umum area taman itu.

Tak beberapa lama menunggu, Alyn hampir tersungkruk saat Anjar tiba-tiba datang dan menoyornya punggungnya dari belakang.

"Woy!"

"Ah, Anjar? Gak lucu tahu. Aku hampir saja jatuh,"

Anjar malah terkekeh melihat wajah Alin sudah merah muda karena pancaran sinar matahari yang menyorotinya selama menunggu.

"Jangan marah gitu dong. Ini buat kamu!" Anjar menyodorkan satu buah es krim corong untuk sahabatnya itu.

Alyn yang masih mengulum angin di mulutnya karena kesal langsung menyeringai karena mendapat es krim itu.

Keduanya berjalan santai menyelusuri taman itu berdua.

"Terus, ngomong-ngomong apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Lyn?"

Sambil menjilati es krim itu, Alyn menjawab dengan santai, "Ya paling aku harus nyari pekerjaan lain,"

"Bisa setenang itu kamu ngadapin ini semua, Lyn?"

"Mau gimana lagi, aku gak punya hak buat bicara apa-apa. Mau marah pun rasanya percuma.

"Gimana kalau kamu bilang saja sama ayahnya Igho tentang kelakuannya yang membuat kamu rugi? Biarkan ayahnya saja yang memberi tahu Igho atas kelakuannya yang kacau itu,"

"Enggak! Enggak! Pokoknya aku gak mau kalau Om Manaf tahu kalau Igho melakuakn itu padaku,"

"Ck, kamu masih saja baik pada dia?"

"Bukannya gitu, aku gak mau cari masalah di rumah itu lagi. Aku harus membuat Ibu nyaman tinggal di tempat barunya. Gak apa-apa kalau aku harus merasakan semua kenakalan Igho yang lainnya,"

"Yah, Yaudahlah kalau kamu tetap keras kepala seperti ini. Yang jelas aku bisa jamin kalau setelah ini, bakal banyak lagi masalah yang datang buat kamu, dari pria aneh itu,"

"Jangan nyumpahin gitu dong, Anjar!"

Anjar terkekeh terus menggoda Alyn. Ia sendiri sedikit geram karena Alyn yang selalu bertingkah mengalah pada kenakalan Igho selama ini. Sepertinya semakin lama Igho semakin mencari masalah saja.

Hingga setelah perbincangan itu selesai, dan es krim milik Alyn dan Anjar telah habis akhirnya keduanya harus berpisah dengan arah pulang yang berbeda.

"Sampai ketemu besok lagi ya!" sahut Anjar sebelum ia pergi.

"Iya, bye!" Alyn melambaikan tangannya lalu ia segera pergi dari pantauan Anjar.

Saat hari sudah siang, dan Alyn sampai di depan gerbang rumah Igho, ia canggung sekali untuk memasuki rumah Manaf. Alyn ingat kejadian kemarin malam saat Igho hendak mendekati wajahnya dan ingin melakukan sesuatu.

Ia takut kalau Igho bisa saja berlaku lebih fatal dari kejadian malam itu.

Kaki Alyn seperti di ikat oleh batu hingga ia sulit sekali untuk melangkahkan kaki. Melihat motor Igho terparkir di halaman rumah, jantung Alyn sudah bergejolak bimbang.

'Masuk gak ya? Ach, kenapa aku jadi takut gitu sih? Lyn, kamu jangan takut sama si Igho dong!' bisik hati Alyn pada dirinya sendiri.

Ketika adan dua bisikan di telinga Alyn membuat Alyn harus memilih antara iya dan tidak, maka Alyn hanya tertatih di bawah sorotan terik matahari menatap rumah bertingkat itu.

Hingga seseorang mengejutkan Alyn dari belakang lagi.

"Kenapa tidak masuk?"

Saking fokusnya memikirkan Igho, Alyn sampai tidka mendengar mobil Manaf terparkir tepat di belakang punggungnya.

"Eh, Om Manaf?" Alyn menyeringai menyingkir dari jalanan yang akan di lalui Manaf.

"Ayo kita masuk!"

Alyn masih tertatih hanya menerbitkan senyuman tipis saja.

"Kenapa tidak mau masuk? Apa ada masalah?"