Hari selanjutnya di kediaman Manaf.
Seperti biasa Manaf selalu menggelar makan bersama Selim pada akhirnya dia harus pergi seharian sibuk dengan banyak pekerjaan yang menumpuk.
Alyn, Daniah, dan Manaf sudah ramai di meja seperti layaknya sebuah keluarga kecil.
Manaf yang ikut sibuk menyediakan peralatan makan di meja makan langsung menyiduk nasi yang ada di dalam mangkuk besar.
"Biar saya yang melakukan itu untuk kamu, Manaf!" ujar Daniah langsung mengambil alih sendok nasi, sudah seperti seorang istri melayani suaminya
"Terimakasih! Ngomong-ngomong katanya kamu kerja ya, Alyn?"
"Oh, Iya om." sambar Alyn canggung. Karena ini kali pertamanya ia makan bersama dengan Manaf dengan hidangan yang sangat istimewa.
Menjadikan dirinya begitu special pula.
"Kerja dimana?"
"Aku kerja di sebuah Cafe, Om."
"Cafe? Gimana kalau kita berangkat bersama saja?"
Memang raut wajah Manaf saat itu begitu sangat ramah. Tak ada sedikit pun menampakan seorang paman yang garang dan tidak perhatian.
Sedikit besar Alyj bersyukur dengan ajakan calon ayahnya itu.
Tapi beberapa detik kemudian, Alyn menggeleng kepalanya.
"Gak usah Om. Aku gak mau ngerepotin om lagi!"
"Om gak keberatan kok. Kita berangkat bersama saja?"
Alyn sempat berpikir kalau dirinya gak mah menyusahkan lagi Om Manaf hanya untuk hal sepele seperti itu.
Meski ia berada di gelimangan harta, tapi ia tak mau tamak dengan menikmati harta yang bukan untuknya.
Alyn tetap teguh menggeleng kepalanya.
"Aku bisa jalan kaki sampai perbatasan kota dan naik angkutan umum seperti biasa om,"
"Kamu orang yang gigih dan rajin. Om suka itu, tidak seperti Igho. Untung saja Igho malas dan susah diatur. Untung saja Igho anak yang cerdas. Butuh sedikit waktu agar ia jadi anak penurut," ujar Manaf mengingat-ingat lagi anaknya yang belum juga turun dari lantai atas rumahnya.
"Alyn hanya tidak ingin merepotkan om saja. Di repotkan dengan biaya pengobatan Ibu saja aku sudah sangat berterimakasih, Om.
"Jangan seperti itu, mulai saat ini kamu dan ibumu akan jadi tanggungan Om." balas Manaf dengan pikiran melayang mengacu pada putranya yang belum juga menampakan batang hidungnya.
Manaf menoleh ke arah Bi'Tini yang sedang berdiri di sampingnya menunggu titah lain dari majikannya.
"Bi, Igho mana? Kok belum turun? Tolong panggilkan dia. Suruh dia makan bersama!" anjur Manaf dengan suara tegasnya.
Belum juga Bi'Tini melangkah, suara Igho menyambar di balik dasar tangga.
Sambil berkacak pinggang, ia menghapit bola basket di antara sebelah ketiaknya.
"Aku pikir ayah lupa sama anaknya setelah mendapat keluarga baru?" celoteh Igho sangat tidak pantas di dengar sepagi itu.
Semua pasang mata sontak bersarang ke arah Igho.
Alyn menghela nafas panjang harus bisa bertahan dengan ucapan-ucapan pria di balik tangga itu yang akan terus menghantuinya.
Ia sendiri tahu kalau lidah tak bertulang. Orang mana yang bisa menerima dengan mudah jika perhatiannya terbagi. Alyn juga mengerti posisi Igho yang tidak mudah di cerna.
Ia harus mengumpulkan seribu kata sabar untuk tetap bertahan di rumah besar itu.
"Igho? Ayo makan bersama di sini!" ajak Manaf menurunkan egonya. Ia tak mau pagi itu di coreng dengan hal-hal yang tidak mengenakan seperti hari sebelumnya.
"Igho gak mau makan!" ketus Pria muda bertemankan bola basket itu.
"Gho. Makan yuk!" bujuk Manaf lagi.
Igho akhirnya meluncur berjalan ke arah depan meja makan itu.
Ia berdiri tidak gentar sama sekali tidak meraih kursi. Matanya tajam setiap kali ia melihat Alyn dan Daniah duduk di sebrang mejanya.
Manaf sudah cukup senang melihat Igho menuruti ajakannya.
Tapi, alih-alih Igho ikut makan, Igho langsung menyambar piring berisikan makanan miliknya tinggi-tinggi.
Dengan lancangnya Igho menumpahkan semua isi makanan itu kemeja.
Plak!
Piring itu di tutup Igho bersamaan dengan makanan yang berserakan di atasnya.
"IGHO?" sentak Manaf tersulut emosi sepagi itu.
"Igho udah bilang kalau Igho gak mau makan selama mereka masih ada di rumah ini, Yah!"
Tanpa merasa berdosa ataupun bersalah, Igho nampak berjalan meninggalkan seluruh penghuni meja makan.
Manaf hampir tidak bisa mengontrol emosinya dengan bangkit dari kursi dan ingin mengejar anak laki-lakinya itu.
"Sudahlah, Manaf! Biarkan Igho sendiri dulu. Nanti juga ia akan mengerti semuanya!" Daniah nampak meredam emosi Manaf.
Tapi Alyn yang tidak bisa tahan terus menerus di perlakukan tidak sopan di depan ayahnya itu.
"Alyn izin kebelakang dulu om!" sambar perempuan berhidung runcing itu langsung meninggalkan meja makan.
Seperti seorang penguasa Alyn langsung membelah jalanan dan melebarkan kedua tangannya di depan gerbang rumahnya untuk menjegal Igho tidak keluar rumah.
"Tunggu!" sambar Alyn menghentikan motor besar Igho yang terus meraung-raung.
"Awas!"
"Aku tidak akan menyingkir dari sini sebelum kamu minta maaf sama om Manaf dan Ibuku!" tegas Alyn dengan segala keberaniannya.
Ia menjegal Igho agar tetap menghentikan laju motornya.
Di balik helm kaca itu, Igho nampak seperti singa yang siap memangsa makanannya.
Namun Alun sama sekali tidak takut akan semua itu.
"Hemmh, aku bukan anak bodoh yang bisa kamu suruh-suruh. Aku gak mau minta maaf sama orang yang sudah menghancurkan keluargaku!" decak Igho benar-benar egois.
"Aku juga gak mau menyamping kalau kamu tetap kukuh seperti itu. Tabrak aja kalau berani!" tantang Alyn terus membentangkan tangannya di ambang pintu gerbang rumah bertingkat itu.
"Menyingkir!"
"Enggak mau!"
Mata Igho semakin tajam seolah tak ada pengampunan.
Ia terus menyalakan kembali mesin motornya yang mulai padam.
Raungan motor besar itu kian menghadang Alyn membuat lututnya bergetar.
Tak bisa di bayangkan olehnya jika Igho benar-benar nekat menabraknya. Karena sebelumnya Ia sempat mengingat kali pertama pertemuan mereka ketika Igho hampir menabraknya di tengah jalan.
Igho seperti orang kerasukan kalau sudah menyalakan motornya.
Brum! Brum!
Suara motor itu semakin menggelegar dan membuat Alyn gentar.
"Awas!"
Bruuuuummmmm!
Igho tetap menancao pedal gas dengan kecepatan tinggi tanpa mengindahkan Alyn sedikitpun.
Sontak Alyn melempar tubuhnya ke samping, karena ia tak mau mati konyol oleh orang tidak bertanggung jawab itu.
Brak!
"Awww!" Alyn meringis kesakitan langsung di sambar oleh satpam yang baru saja keluar dari posnya.
"Nona tidak apa-apa?"
Alyn menggeleng sambil mengaduh kesakitan.
"Aku bawakan obat ya?"
"Gak usah. Jangan sampai Om Manaf tahu kelakuan Igho padaku!" ujar Alyn tetap menutupi tingkah tak senonoh Igho.
"Nona harus sabar dengan Den'Igho. Sebenarnya dia orang baik kok non,"
Alyn tertatih mendengarnya.
'Apa Igho benar-benar orang baik? Hingga ia hampir membuat nyawaku melayang pagi ini?' pikir Alyn melayang.
Alyn berusaha bangkit dan menyapu semua debu yang menempel di seluruh tubuhnya
Ia melihat nanar jalanan yang sudah kosong dan hanya tinggal asap knalpot yang di tinggalkan oleh Igho.