Sofia menunduk memandang bayangan diri sendiri di bawah kaki. Duduk di halaman samping rumah bersama sang calon suami.
Hanya berdua.
Setelah percakapan lumayan panjang di ruang tamu bersama dua keluarga, Nazam berpikir untuk mendiskusikan rencana pernikahan bagian detailnya dengan pengantin perempuannya secara langsung.
"Kamu yakin menerima pinangan saya?" Usai perang diam dari tadi, Nazam akhirnya buka suara.
Bukan apa, sebenarnya dia dari tadi menunggu Sofia bicara lebih dulu. Namun, yang ditunggu tak kunjung bersuara. Jangankan melakukannya, justru gadis itu hanya menunduk sedari tadi, tak mampu menatap mata Nazam.
Nazam jadi kesal. Sampai bicara dalam hati betapa sia-sianya waktu lima menit lebih terbuang begitu saja hanya karena tak ada yang memulai perbincangan.
"Iya, Mas." Sofia menjawab singkat sembari perlahan menarik kepalanya untuk melirik Nazam sebentar.
Segera ia menunduk lagi ketika nyatanya malah bertemu mata yang mengilat dingin.
Sofia cemberut, bertanya-tanya apakah dia sungguh yakin akan menikah dengan lelaki dingin ini? Dirinya membayangkan nanti setelah menikah, setiap hari akan melihat wajah datar ini setiap hari. Sofia merasa harapannya untuk bahagia memang nol.
Selain itu, jika dipikir lagi memang benar adanya cerita di novel-novel itu. Rata-rata lelaki tampan memang dingin. Apalagi orangnya punya jabatan eksekutif di perusahaan besar. Persis seperti Nazam.
Nazam memasukan tangannya ke saku jas tanpa Sofia sadari. Entah apa yang hendak ia ambil di dalamnya, tetapi tangan itu bergerak pelan sekali.
"Mas, kenapa mau menikahi saya?"
Tanya tak terduga itu membuat Nazam menghentikan gerakan tangannya. Padahal, tinggal sedetik lagi ia berniat mengeluarkan sesuatu itu ke luar saku.
Sofia sebenarnya takut menanyakan hal ini kepada Nazam, terlebih lelaki di sampingnya ini banyak diam. Namun, Sofia juga berhak tahu alasannya. Sebab di mata Sofia, laki-laki di hadapannya ini begitu misterius. Ketika ayahnya meminta ia menjadi pengganti pengantin pria, dia langsung mau saja. Sofia patut curiga.
"Saya lajang. Kamu juga lajang. Jadi, saya ingin karena kita sama-sama lajang," jawab Nazam sekilas melirik, lalu ia kembali fokus pada sakunya.
Sungguh lelaki aneh. Bahkan jawaban yang ia beri tak cukup memuaskan Sofia. Sofia terperangah dengan masih memandang jambang tipis Nazam.
Seketika dahi gadis itu mengerut, mimik mukanya menunjukkan raut geli luar biasa. Mengapa baru terlihat sekarang? Jambang! Dari sekian juta lelaki di muka bumi, mengapa ia harus dinikahkan dengan lelaki berjambang? Jangan-jangan tumbuh bulu di mana-mana!
Astaga, Sofia sangatlah naif. Dalam situasi serius perihal menanyakan alasan tentang mengapa mau menikahinya, sempat-sempatnya mempermasalahkan soal jambang dan bulu di sekujur tubuh.
"Mas, kenapa pelihara ...." Hampir saja Sofia keceplosan tentang jambang itu. Ia terlampau gemas ingin sekali menariknya atau lebih baik lagi langsung dipangkas habis hingga akarnya.
Namun, untuk mengatakan atau melakukan itu, Sofia cukup tahu batasan. Di hadapannya kini dia adalah memang seorang calon suaminya, tetapi lelaki itu tetaplah orang asing yang entah untuk niat apa sebenarnya dia mau menikahinya tanpa kejelasan.
"Ya? Kenapa?" Nazam sekilas mendengarnya dan langsung bertanya.
Sofia langsung geleng-geleng. Soal jambang, mungkin bisa dibicarakan setelah pernikahan terjadi dan setelah mereka sudah akrab nanti.
"Hanya penasaran. Dari sekian banyaknya wanita di bumi, kenapa milih saya? Apakah Mas kasihan kepada saya atau ayah saya? Apakah kami terlalu menyedihkan sampai Mas mau menjadi—"
"Biar saya jelaskan." Nazam memutus ucapan Sofia yang terlampau panjang dan menyudutkan.
"Sepertinya kamu salah paham. Begini, kita memang tidak saling mengenal satu sama lain, tapi saya mau menikahi kamu bukan karena kasihan. Tak ada sedikitpun kasihan atas tragedi batalnya pernikahan kamu. Bahkan saya juga merasa bersalah karena harus menjadi pengantin pengganti ini. Jika ditanya alasan sebenarnya, saya hanya ingin menjadi lelaki tepat yang dipilih orang tua kamu dan dipercaya oleh orang tua saya. Jangan khawatir, saya tidak akan menjual kamu atau apa pun itu." terang Nazam jujur.
Kejujurannya itu mampu membungkam Sofia yang sedari tadi gusar. Kata-kata Nazam memang terdengar sedikit sarkas di telinganya, tetapi ada suatu perasaan hangat ketika mendengar ia ingin menjadi lelaki tepat itu. Benarkah apa yang dikatakan lelaki ini? Dapatkah dia percaya? Mata Sofia menelisik dalam ke sepasang mata Nazam, dan dari sorot teduh itu tampak sebuah ketulusan. Meski masih sedikit meragukan, setidaknya hatinya yang masih perih itu sedikit tak terasa berkat seorang Nazam.
"Jelas?" tanyanya memastikan
Sofia mengangguk tanpa sadar. Baginya itu sangat jelas. Jelas sekali sampai tak ada yang mau ia tanyakan lagi. Baguslah jika memang lelaki ini tak berniat buruk. Pikirnya dalam lamunan.
"Sekali lagi saya tanya, apakah kamu sudah yakin mau menjadi pasangan saya?"
Hening untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya gadis itu mengiyakan dengan yakin.
"Kalau sudah yakin, tolong baca ini dengan seksama." Tiba-tiba Nazam menyerahkan sebuah kertas putih yang dilipat dari tangannya.
Kertas itu keluar dari saku tadi.
Sofia lagi-lagi dibuat heran dengan perilaku Nazam. Apalagi ini? Kenapa mendadak diberi sebuah kertas? Dalam pikiran ia bertanya. Tangannya perlahan membuka lipatan itu.
"I-ini apa, Mas?"
Deretan angka bertinta hitam itu menimbulkan rasa terkejut luar biasa. Di sana banyak tertulis list pengeluaran bulanan yang entah milik siapa Sofia pun tak tahu. Apa-apaan dengan semua angka ini?
"Itu buat gambaran saja. Sebab kalau sudah menjadi istri saya, kamu harus bisa hemat." Nazam berkata seraya bangkit dari duduk. "Saya harus segera pergi bekerja, maaf tak bisa lama-lama."
Tanpa lelaki itu sadari mata Sofia kini telah membulat sempurna.
"Mas, saya ini nanti menjadi istri Mas, loh. Pasti bisa lah mengatur pengeluaran, enggak perlu sampai ngasih beginian sampai sedetail ini." Sofia menghentikan Nazam yang hendak pergi. Ia sungguh tersinggung dengan itu.
"Iya, betul. Kan, saya juga hanya memberi itu untuk dijadikan acuan supaya nanti kamu tidak kaget lagi soal ini. Kita harus merencanakan banyak mimpi nanti, jadi harus persiapan. Tolong jangan tersinggung," ucapnya datar tak peduli meski wajah calon istrinya kini membeku seperti es. "Kalau begitu, saya permisi."
Nazam pergi dengan dingin. Meninggalkan Sofia dalam keterkejutan yang bertebaran dalam hati juga pikiran.
What? Belum apa-apa sudah mengatur soal keuangan rumah tangga? Yang benar saja! Sofia sangat yakin kalau lelaki ini nantinya akan menjadi ujian terbesar kedua setelah ujian ditinggalkan oleh Naran sebelumnya. Sial benar hidupnya. Mana sudah bilang yakin mau menikah dengan Nazam.
"Apa ini? Laki-laki yang beberapa saat lalu kupuji itu ternyata tak lebih dari seorang yang pelit! Aku harus hemat katanya? Ya ampun, bagaimana aku bisa hidup dengan manusia pelit bin medit begitu?"