"Sofia, jangan lari-lari. Nanti jatuh kamu!" Sang bunda menegur, takut andai Sofia terpeleset ketika turun tangga.
Gadis itu menoleh sekilas tanpa menjawab, tetapi ia mengangkat tangannya dan menyatukan di atas kepala sebagai tanda permintaan maaf dirinya karena tak bisa kalau hanya berjalan santai apalagi wajib anggun.
Di saat genting begini, mana bisa! Pikirnya.
Pintu utama ditariknya kuat-kuat. Dari sini ia bisa melihat lambaian tangan para sahabatnya di depan gerbang. Sofia mendesis, berlari segera ke arah mereka lebih dekat.
"Halo cantiknya kita," sapa Naomi ketika Sofia tiba.
"Ini kado dari kita. Maaf kasih lebih awal, habisnya nanti hari-H pasti sibuk banget, kan?"
Mereka membawa kado pernikahan. Namun, raut Sofia tak menampakan kebahagiaan yang antusias. Ia hanya tersenyum hambar menatap kado-kado itu.
Setelah diam untuk beberapa detik memandang kado-kado itu, Sofia memeluk teman-temannya.
Sofia tak tahu alasannya, tetapi mendadak sedih merayap perlahan. Ia menangis dalam pelukan mereka.
Lisa, Naomi, dan Inggit saling lempar pandang. Mereka pikir Sofia begini karena terharu sebab sebentar lagi akan segera menikah. Paling pertama di antara mereka.
"Uluh, uluh, kita tahu kami bahagia, tapi jangan nangis di sini juga kali. Nanti disangka kami gangguin kamu." Inggit mengusap pelan kepala Sofia.
Gadis itu melepaskan pelukannya, menghapus air mata dan memaksakan senyum yang sebenarnya tak diinginkan.
"Kalian ini. Datang enggak kabar-kabar dulu. Ayo masuk," ajak Sofia kemudian menuntun ketiga temannya untuk masuk.
"Kita tadi ajak Ify, tapi dia nolak katanya lagi enggak enak badan," celetuk Lisa tiba-tiba.
Deg!
Langkah Sofia terhenti, mendadak pusat pikirannya tertuju kepada semua hal yang telah terjadi beberapa hari lalu di mana seorang Ify mengakui perbuatan jahatnya bersama Naran.
"Ada apa?" Naomi dan Lisa saling pandang, takut ada salah kata mereka ucap melihat betapa tegang wajah Sofia.
Namun, gadis itu memilih untuk bungkam dan kembali menuntun teman-temannya masuk.
Ketiga temannya mulai merasa ada yang janggal. Tak biasanya Sofia menjadi pendiam begitu. Mereka lagi-lagi saling lempar pandang dalam diam.
"Halo, Tante, Om ...."
"Oh, halo Naomi, Lisa, Inggit."
Mereka terhenti ketika masuk ke ruang tengah melihat kedua orang tua Sofia sedang duduk di sofa untuk menyapa.
Baik ayah atau pun bundanya tak banyak kata, tetapi mata mereka menyiratkan sebuah kecemasan luar biasa. Mereka bertanya-tanya apakah mungkin Naomi, Lisa, dan Inggit tahu jika Ify mengkhianati Sofia.
"Ayo, ke kamarku." Sofia tahu siatuasinya. Ia canggung dan segera menyeret teman-temannya untuk naik ke lantai atas.
"Duluan Tante, Om ...."
"Oh, iya silakan."
Kedua orang tua Sofia memerhatikan semuanya naik tangga. Saling pandang dan menghela napas berat.
"Yah, mereka udah tahu belum, ya?" Bunda Sofia tak tahan dan akhirnya mengutarakan kegundahan yang dirasa.
Namun, ayah Sofia menanggapi agak santai. Tak mau ambil pusing apakah sudah tahu atau belum. Misal memang belum tahu pun, nanti akan tahu sendiri ketika Sofia mengatakannya.
"Biar itu jadi urusan Sofia. Kita tak usah teralu khawatir, lihat sendiri anak kita menghadapi masalah kacaunya dengan dewasa." Sang Ayah menaruh percaya kepada Sofia, meski sejatinya ia juga tak lepas dari yang namanya khawatir.
***
Masuk ke dalam kamar Sofia yang tak dihias khas pengantin, ketiganya merasa agak aneh. Akan tetapi mereka tetap berpikir positif, mungkin saja belum. Mungkin hari ini baru akan dihias. Begitu pikir mereka, tanpa tahu jika kamar itu sungguh tak akan dihias.
"Kadonya aku simpan di sini, ya." Naomi menyimpan kotak persegi panjang di atas ranjang, disusul oleh kedua teman lainnya.
"Makasih banyak, gengs. Tapi ini sebenernya enggak perlu." Sofia mengempaskan diri ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang serasa bagai penjara luka untuknya. Meski demikian, Sofia masih berusaha tetap tegar menghadapi.
"Loh, kok enggak perlu. Ya perlu, dong. Kan kamu mau nikah," sahut Inggit diiringi tawa kecil.
"Serius. Lagian aku sama Naran udah batalin pernikahan ini," ucap Sofia berat. Setelah berhasil mengatur napas dalam-dalam, akhirnya Sofia mengatakan itu.
Ketiganya terdiam, hanyut dalam keterkejutan yang terlalu mendadak dan rasa percaya tidak percaya. Terkadang Naomi berpikir kalau Sofia sedang bercanda, mungkin karena terlalu tegang akan menghadapi pernikahannya.
Namun, melihat betapa Sofia serius dan menangis tanpa suara, ketiganya agak yakin meski masih berada dalam zona kaget.
"Sof, serius ini? Jangan becanda, dong!" Naomi langsung naik ke atas ranjang, memandang Sofia yang kini telah banjir air mata.
Sofia bangkit dari posisi tidurnya. Ia menatap sahabatnya secara bergantian.
"Emangnya kalian pikir ini becanda? Sakit, Mi hati ini sakit. Naran gila, dia selingkuh dan hamilin orang lain." Tangis Sofia pecah. Ia menepuk-nepuk dadanya kuat menunjukan betapa hatinya kini sangat rapuh dan sakit.
"Hah?! Gimana kronologinya, Sayang?" Inggit menarik Sofia masuk ke dalam pelukannya, ikut merasakan sakit yang diderita sang sahabat.
Sementara Naomi dan Lisa masih mematung memandang dengan rasa terkejut tak kira-kira.
"Dia ... dia dan Ify," lirih Sofia berkata. Tak kuasa lagi menahan sakit dari luka yang kembali dikorek itu, Sofia menangis sejadi-jadi dalam pelukan Inggit.
"I-Ify?! Ify siapa?!" Lisa segera menarik bahu Sofia, menggoyang tubuh Sofia agar bicara dengan jelas.
"Bilang! Ify siapa? Bukan Ify kita, kan?" lanjutnya lagi memastikan. Matanya mulai berkaca.
Diamnya Sofia menjadi sebuah jawaban yang begitu jelas. Ketiganya lemas dan terduduk lesu. Ada rasa menggondok di dada mereka, betapa tega Ify melakukan itu kepada Sofia. Padahal, selama ini yang paling sering menjadi teman kebanggaan Sofia adalah Ify. Bagaimana mungkin dia mengkhianatinya? Mereka geleng-geleng kepala masih tak percaya.
"Ini beneran si Ify?!" Kembali tanya itu menguap di udara. Kali ini Naomi yang angkat suara. Dan Sofia akhirnya menjawab dengan satu anggukan.
"Kurang ajar! Jadi ini alasan dia nolak datang ke sini dan sering hindarin kita!" Lisa yang notabene pemarah mengepal tangan. Dipikirannya penuh dengan bayangan Ify yang ceria. Siapa sangka jika keceriaannya hanya topeng belaka. Ify tak lain hanyalah rubah di antara mereka.
Ketiganya tak habis pikir. Namun, yang terpenting sekarang adalah bukan soal Ify yang berkhianat. Atau Naran yang sudah dengan tega meninggalkan Sofia. Saat ini yang paling penting adalah bagaimana cara mereka untuk menghibur Sofia. Urusan Ify, nanti akan mereka urus.
Jika ditanya bagaimana kronologinya, Sofia juga tak tahu. Ia tak sempat menanyakan bagaimana awalnya, atau dari kapan mereka menjalin hubungan. Sofia terlalu takut untuk mengetahui itu meski sejatinya dalam hati ia juga penasaran. Hanya saja, untuk mengorek apa yang terjadi di antara mereka, terlalu sulit bagi Sofia.
Ketiganya memeluk Sofia penuh kasih sayang. Berusaha menghiburnya meski cara itu tak membuat tangisnya berhenti.
Di balik pintu, sang bunda menguping diam-diam. Ia membekap mulut menahan tangis yang akan segera turun. Dengan baki berisi camilan dan beberapa gelas minuman, bunda Sofia mematung bingung. Apakah harus masuk atau jangan?
'Yang tegar, Nak. Meski Naran telah menghancurkan setengah dari hidupmu, akan ada Nazam yang membangun setengahnya lagi untukmu.'