Situasi sudah kacau, sekarang mau ditambah kacau lagi oleh Sofia Manaf.
Genting! Sofia misuh-misuh segera menyambut kedatangan sang ayah yang baru saja mengantar tamu 'istimewa' nya itu pergi.
"Ayah! Ayah!" Sofia menarik lengan sang ayah dengan pasang wajah panik.
"Apa?" Dahi sang ayah mengerut melihat tingkah Sofia ini.
Sofia menarik sang ayah agar duduk di sofa empuk. Ia mengatur napas dalam-dalam sebelum akhirnya menyerahkan kertas berisi catatan pengeluaran yang diberikan Nazam sebagai informasi jika setelah menikah, ia harus 'berhemat'.'
"Ayah gimana, sih? Katanya Nazam itu baik. Ini apa? Belum juga nikah udah kasih-kasih beginian!" Sofia menyerahkan kertas itu agak kesal.
Gadis itu agak menyesal telah menerima pinangan Nazam. Andai tahu ia lelaki medit, Sofia tak akan sepakat. Namun, usaha bujukan juga diperlukan saat ini. Siapa tahu bisa merubah keputusan.
Ayahnya menerima kertas tersebut, tetapi tak lama malah tertawa.
"Oalah ini. Iya, ayah tahu. Nazam sudah katakan soal ini sama ayah. Tenang saja, dia bukan pelit, Sayang. Hanya disiplin dalam mengatur pengeluaran. Begitu malah bagus, iya kan, Bun?" Sang ayah menyerahkan kertas itu kepada istrinya.
"Disiplin, sih iya bagus, Yah. Kalau sampai enggak bisa shopping gimana? Tertekan dong batin istri," ucap bunda Sofia sedikit protes.
Sofia tersenyum harap melihat ibundanya mengerti salah satu apa yang dipikirkannya.
"Alah, jangan skeptis begitu. Ayah tahu Nazam tak akan melarang Sofia shopping atau apa pun," putus ayah Sofia seraya pergi dari hadapan ibu dan anak di hadapannya.
Hah? Yang benar saja ayahnya malah begitu mendukung Nazam? Sofia pun merosot ke lantai. Tetawa hambar tak percaya jika dirinya sungguh akan menikah dengan lelaki pelit.
"E-eh, Sofia!" Sang bunda memegangi bahu anaknya, dikira mau pingsan.
Sofia menegadah, menatap ibundanya putus asa. Sayangnya tatapan itu tak bisa membuat keputusan batal. Semua telah terlambat.
***
Mentari berangsur tenggelam berganti dengan pekatnya malam. Tepat pukul delapan lewat sepuluh, Sofia meminta izin pergi ke minimarket.
"Aduh, malah datang bulan di saat menjelang pernikahan," keluhnya seraya memegangi perut yang terasa kurang nyaman. "Tapi bagus, kan? Jadinya Mas Nazam enggak bisa menggagahi aku di malam pertama nanti." Sofia melanjutkan dengan nada amat pelan.
Sofia menghela napas berat, masih tak menyangka dia akan menikah dengan lelaki asing. Membayangkan lelaki berjambang itu akan mengajaknya tidur, Sofia bergidik ngeri sendiri.
"Sudahlah, Sofia! Kamu ini kenapa jadi mikirin si jambang?" Sofia memeluk diri yang berbalut cardigan coklat. Gegas mempercepat jalannya ke minimarket paling dekat yang bisa dijangkau oleh jalan kaki.
Tanpa Sofia sadari, calon suaminya itu kini tengah memerhatikan di seberang jalan dalam mobilnya. Lelaki itu langsung menepi ketika masih di kejauhan melihat Sofia keluar dari gerbang rumahnya.
"Dia di luar ternyata. Dasar, dia sama sekali tidak tahu aturan. Malam-malam keluar sendiri," gumamnya langsung mematikan mesin mobil.
Sementara Nazam turun, Sofia yang terlanjur masuk ke dalam pun kini sedang bersembunyi di balik etalase paling belakang sambil merutuk dalam hati.
"Kurang ajar, pasti sengaja datang ke sini buat manas-manasin!" guman Sofia pelan, bahkan hampir tak terdengar saking pelannya.
Sofia sangat tak beruntung. Ternyata ketika sudah masuk ke dalam, Naran dan Ify tiba. Sofia refleks berjalan cepat dan bersembunyi di belakang rak etalase untuk menghindari mereka. Sepertinya Naran dan Ify juga tidak menyadari kehadiran Sofia.
Kasihan sekali gadis ini harus melihat kebersamaan mantan dengan sahabatnya begitu bahagia. Tak dapat dibantah kesedihan yang menjalar kini terasa. Sofia ingin menangis, tetapi ia masih berusaha tegar.
Peetanyaannya, kenapa dirinya harus bersembunyi? Bukankan di sini pendosanya adalah Naran? Oh, ya ampun. Sofia tak bisa berpikir jernih. Mungkin dirinya masih teramat cinta dengan Naran, sampai tak sanggup menghadapi sosoknya.
Terlihat jelas mereka membeli apa di sana. Susu hamil. Sofia meremas celana jeansnya susah payah. Melihat betapa keduanya terang-terangan membelinya di sini, tambah membuat Sofia yakin jika Naran memang sengaja ingin memanas-manasinya. Ia yakin.
"Kalian bahagia, ya?" Masih memerhatikan dari sana, kali ini Sofia sungguh tak bisa lagi menahan sedihnya. Semakin hatinya berdenyut nyeri, semakin tak tahan ingin menumpahkan air mata. "Senang banget bikin hati ini hancur."
"Siapa yang bikin hati hancur?"
"Naga sialan!" Sofia terjungkal jatuh ketika satu suara tak asing mengagetkannya, tetapi gadis itu buru-buru bangkit dan membalik badan. "Mas? Ngapain di sini?" lanjut Sofia berbisik.
Kala itu Naran dan Ify memang sempat menoleh ke sumber suara yang ribut, tetapi mereka kembali cuek dan segera membayar barang belanjaan mereka.
Tak hanya Sofia yang kaget, Nazam juga sama terkejutnya terlebih mendengar umpatan sarkas sang calon istri. Astaga, lelaki itu hampir saja kena serangan jantung. Sofia yang tampak lugu itu ternyata wanita yang pandai mengumpat.
"Kamu sendiri ngapain di sini ngumpet-ngumpet? Jangan bilang mau nyolong snack?"
Pertanyaan yang sangat konyol, tentu saja bukan. Sofia emosi. Tambah rusak saja mood-nya.
"Sembarangan!" Sofia segera pergi meninggalkan Nazam di tempat. Kemudian, kembali ke meja kasir untuk membayar minuman pereda nyeri haid.
Nazam membuntutinya, berdiri di samping Sofia dan merogoh dompet.
"Enggak usah, Mas. Saya bisa bayar sendiri," ucap Sofia refleks, mengira jika Nazam hendak membayar belanjaannya.
Untuk beberapa detik mata Nazam berkedip-kedip polos.
"Kamu berpikir saya akan bayar itu?" tanyanya kemudian. Dan hal ini membuat wajah Sofia bagai terbakar api. Malu memburu.
"Te-terus ngapain buka dompet?" Gadis itu malah bertanya balik. Wajahnya sudah sangat terasa panas.
"Orang saya mau beli pulsa," terang Nazam kemudian menyerahkan uang dua belas ribu rupiah ke kasir.
'Aduh, malu banget!' jerit Sofia membatin.
"Yang sepuluh ribu aja, buat memperpanjang masa tenggang," tambahnya lagi. Sofia geleng-geleng kepala. Manusia satu ini lahir di peradaban mana? Zaman sekarang beli pulsa ceban? Padahal, dilihat dia ini mampu membeli pulsa ratusan ribu.
'Wah, emang dasarnya ini manusia pelit. Sial!'
"Kenapa liatin saya?"
Sofia langsung berdeham. "Enggak. Kepedean banget," lanjutnya seraya membuka dompet. "Ini Mbak uangnya." Dan Sofia akhirnya membayar sendiri barang yang disangka akan dibayarkan Nazam tadi. Oh, ya pun. Jangan berharap apa pun dari lelaki pelit itu. Pikirnya lagi.
"Sofia tunggu, saya mau bicara sebentar."
Langkah Sofia terhenti di ambang pintu, ia menoleh. Mau apa lagi sekarang? Sofia sudah malas meladeni.
***
Keduanya telah duduk berdua di depan minimarket itu. Nazam kembali mengeluarkan selembar kertas. Kali ini bukan dari sakunya, tetapi dari tas kerja. Tak dilipat kotak, bahkan Nazam sangat hati-hati sekali ketika mengeluarkannya.
Sofia mengerutkan dahi. Apalagi ini? Deretan list pengeluaran lagi? Malas, ia lihat pelan-pelan.
Matanya membulat sempurna ketika pandangannya menangkap kalimat, "Kontrak pernikahan."
"Mas, a-apa ini?"