"Kenapa kita butuh ini untuk mengikat sebuah hubungan? Bukannya Mas bilang menikahi saya karena ingin, dan menjadi lelaki tepat yang dipilih oleh—"
"Ya, ya. Sebelumnya memang bicara begitu," potong Nazam tak berperasaan. "Ini, saya juga perlu ini untuk mengikat kamu agar tidak kabur dari saya."
Hah? Sofia dibuat speechless. Baginya itu adalah alasan terbodoh untuk ia dengar.
"Ayo, ayo dibaca dulu makanya. Jangan salah paham terus," suruh Nazam seraya menggeser kertas itu.
Memang, sejak tadi Sofia belum sedikitpun menyentuh surat kontrak itu. Sofia merasa jika hal tersebut tak perlu. Untuk apa pakai surat kontrak segala. Memangnya di antara dirinya dan Nazam, apakah ada yang menentang pernikahan? Sofia bahkan sudah pasrah walau tahu kenyataan jika Nazam adalah sosok lelaki pelit.
"Mas, saya tidak akan kabur." Sofia berkata tegas, masih enggan membaca surat kontrak tersebut.
"Kamu yakin? Saya meragukan." Nazam tak mau kalah.
Sofia menghela napas, ia tahu pada akhirnya bahwa Nazam memang lelaki tidak normal. Selain pelit bin medit, ia juga lelaki aneh yang menyodorkan surat kontrak pernikahan. Padahal keduanya akan menikah resmi, dua keluarga juga setuju.
"Kenapa harus pakai surat kontrak segala."
"Alasannya ada di dalam sana. Makanya saya menyuruh kamu membacanya dulu. Ngeyel. Cepat, saya enggak punya banyak waktu, harus buru-buru pergi."
Sofia sungguh ilfeel sekarang. Belum menikah pun sudah banyak ngatur, bagaimana nanti? Pikirnya.
Dengan malas Sofia meraih kertas itu dan membaca satu persatu poin yang tertera.
"Tidak boleh minta cerai sampai punya keturunan? Ya-yang benar aja, Mas?" Sofia menurunkan alis tajam.
"Karena kamu memang terpaksa menikah sama saya, saya harus berjaga-jaga agar kamu tidak kabur."
Lagi, hanya kabur lah jawaban lelaki itu.
Kabur kabur kabur! Rasanya Sofia sudah berada di ambang batas sabar.
"Mas, saya enggak akan kabur. Lagian, saya enggak berniat minta cerai kalau sudah menikah." Sofia amat jengkel, tetapi ia masih mencoba menahannya. "Memangnya Mas pikir saya cuma main-main?"
"Saya enggak yakin. Bisa saja setelah resmi menjadi istri saya, kamu mungkin akan menyesal dan ingin pergi. Terlebih kamu sepertinya masih mencintai mantan kamu itu," pungkasnya jelas. Membuat Sofia menganga.
Sofia menggeleng. Terserah terserah. Ia pun menggibaskan tangannya tak peduli dengan omong kosong Nazam. Memang betul ia masih menyimpan rasa cinta terhadap Naran, tetapi ia tak pernah berpikir untuk melanjutkan cintanya. Yang ada rasa benci lah yang tertanam sekarang.
"Kalau Mas tidak percaya sama saya, kenapa juga harus mau menikahi saya."
Ucapan tanya telak bagi Nazam. Lelaki itu lumayan kaget, dia pikir Sofia hanyalah gadis lugu yang sedang patah hati. Namun, ternyata ia gadis dengan kepribadian menarik.
"Saya mulai menyukai kamu. Jadi, tak ingin melepaskan kamu. Bagaimana kalau kasusnya begitu?" liriknya serius.
"Ya, bagus. Artinya saya enggak harus mengemis cinta dan kasih sayang dari suami sendiri, kan, nanti?"
Nazam terbahak. Benar, sudah tepat ia memilih calon istri. Baginya, Sofia sangat menghibur hati.
"Kamu memang menarik. Kalau memang tidak keberatan, tolong segera tanda tangani itu."
Sofia menghela napas panjang. Diteliti lagi semua itu.
"Di sini hanya tertulis semua keinginan Mas saja. Jatuhnya curang. Kalau ini kontrak, kenapa saya enggak diikutsertakan juga?" Sofia masih protes soal isi surat kontrak itu.
Padahal, surat itu bertujuan untuk mengikatnya, bukan soal perjanjian dari dua pihak. Namun, karena Nazam sudah terlanjur tertarik, ia pun mengangguk setuju.
"Apa yang kamu mau dari pernikahan ini?" tanyanya kemudian.
Sofia memandang lekat, diam beberapa detik untuk sekadar merangkai kalimat apa yang harus dia ucapkam dengan mantap.
"Saya hanya ingin Mas menjadi suami biasa, tidak usah berusaha terlalu keras untuk memenangkan hati saya. Karena dari awal, tak ada rasa tertarik sedikitpun. Saya tidak punya alasan untuk menyerahkan hati ini pada lelaki asing sembarangan. Pada dasarnya saya menerima pinangan Mas Nazam karena bakti terhadap orang tua, selebihnya karena tak mau menanggung malu gara-gara batal menikah. Ya, walau mungkin nanti akan dicibir orang-orang sebab ganti calon mempelai pria, tak masalah. Itu akan berlalu, dan kami tak akan rugi akan hal itu. Daripada dicap sebagai wanita yang ditinggalkan, itu lebih menyakitkan."
Dalam sadar Sofia berkata demikian. Ia tahu itu adalah ucapan yang terlampau tajam untuk seorang Nazam. Namun, lebih baik dikatakan sekarang dari pada nanti membuat Nazam kecewa sebab Sofia tak bisa dengan mudah memberikan hatinya yang mulai beku itu.
Nazam tersenyum hambar. Iya tahu tak akan mudah membuat wanita di hadapannya menerima kehadiran dirinya, terlebih datang di saat hidup Sofia kacau begini.
"Saya akan menunggu kamu dengan sabar. Tugas saya nanti adalah membuat kamu lupa sosok mantan kamu itu, dan saya juga akan menjadi alasan kamu untuk bahagia."
Dengan mantap Nazam berkata.
"Jadi, perjanjiannya sekarang adalah saya harus berusaha menjadi istri Mas yang baik. Sementara Mas berjanji akan membuat saya lepas dari bayangan Naran?" Sofia bertanya pelan, tak menyangka lelaki pelit ini lumayan juga.
"Benar. Mari kita berusaha bersama."
Sofia mengangguk lemah. Tersenyum miring melihat betapa mereka berdua menyedihkan. Akan menghadapi pernikahan tanpa cinta, apakah bisa?
"Artinya surat kontraknya jangan ini. Ganti lagi."
Ucapan Sofia menuai tawa kecil dari Nazam. Ia mengangguk setuju. Lantas segera meremas kertas itu dan melemparnya ke tong sampah yang berdiri di pojok tak jauh dari meja mereka.
Konyol. Inilah kesan lain yang Sofia tangkap dari sosok Nazam. Selain pelit, ternyata masih ada sisi positifnya. Setidaknya Sofia tahu jika Nazam tak sedingin dugaannya.
Nazam ternyata sama saja dengan manusia lainnya. Bisa tersenyum dan tertawa. Ia kira sosoknya bagai tokoh CEO dalam sebuah novel.
Namun, apakah Nazam bisa membuatnya lupa akan sosok sang mantan atau tidak? Sofia tak yakin. Sebab, Naran telah menanamkan cinta begitu dalam, lalu menusuknya hingga menimbulkan ribuan luka yang membawa sakit luar biasa. Untuk menyembuhkan diri dari itu, apakah bisa? Sofia sungguh tak yakin.
"Saya tidak bisa menjanjikan cinta. Apakah Mas Nazam bisa menerima?" Samar ia bertanya.
Nazam tahu itu. Ia sangat tahu. Dan tak memermasalahkannya.
"Saya tidak akan memaksa."
"Terima kasih. Saya harap Mas bisa ekstra sabar menghadapi saya nanti."
"Saya harap kamu juga bisa sabar terhadap saya nanti," balas Nazam menirukan kalimat sama.
Sofia seakan tersadar soal betapa pelit Nazam. Ia menghela napas berat. Okay, dirinya memang harus ekstra sabar untuk menghadapi Nazam si super medit. Dan, ya! Sofia sangat bermasalah dengan jambang Nazam. Ia sungguh tak tahan.
"Sofia, katakan apa pun yang kamu inginkan. Saya akan berusaha memberikan. Asal ingat, jangan minta sesuatu yang tidak begitu berguna, misanya ingin mengoleksi tas branded. Cukup beberapa akan saya berikan," katanya terang-tetangan. Sungguh luar biasa beraninya.
"Saya sudah tahu harus hemat. Tenang saja, saya enggak akan membobol ATM Mas," sindir Sofia sembari membuang muka.
"Bukan begitu maksudnya. Saya hanya—"
"Iya, saya tahu. Jadi enggak perlu banyak mengingatkan. Saya enggak pukun." Inginnya Sofia menjerit kesal, tetapi ingat masih punya urat malu. "Tapi, boleh saya minta satu hal sekarang sebelum menikah?"
Nazam menatap lamat-lamat. "Apa itu?"
"Tolong, dong cukur jambangnya. Saya geli."
Hah? Mata Nazam membulat sempurna. Kedua tangannya langsung menyentuh jambang tersebut.