Speechless. Nazam menatap Sofia percaya tak percaya. Dari sekian permintaan yang ia tawarkan, kenapa harus meminta pemangkasan jambang?
"Ini jambang kesayangan saya. Susah payah menumbuhkan, merawat, dan dengan sabar menunggu sampai tumbuh sebanyak ini." Nazam tak rela jika jambangnya harus dipangkas.
"Lah, terus?" Sofia tak peduli. Daripada dia kegelian sendiri.
"Apakah saya harus memangkasnya?" tanya Nazam memastikan.
Wajahnya masih tampak lebih muda dari usianya, tetapi menghadapi kebingungan ini, timbul garis-garis halus di dahi tanpa ia sadari.
Sementara Sofia mengangguk polos. Tak peduli itu jambang kesayangan atau apa pun itu, ia tak mau memiliki suami berjambang. Oh, lebih tepatnya berbulu banyak. Sofia sangat tidak suka.
"Apa tak ada permintaan lain selain ini?" Nazam berharap agar Sofia membatalkan permintaan aneh itu. Namun, gagal. Sofia tetap pada keyakinannya.
Suka atau tidak, Nazam harus menghilangkannya!
Bagi Sofia apa susahnya itu? Hanya minta cukur jambang. Sedangkan dia sendiri sudah diatur harus ini harus itu. Masih tidak sebanding untuknya.
"Biarkan saya berpikir dulu."
"Saya juga enggak dikasih kesempatan buat mikir sama Mas. Harus ini harus itu," celetuk Sofia pedas. Lirikan matanya menusuk tajam.
"Ya, sudah. Deal! Akan saya pangkas."
Nazam berdeham, terpaksa ia pun menyetujui keinginan sang calon istri. Tangannya mengelus-elus jambang yang sebentar lagi akan habis dipangkas.
"Jadi, Mas ke sini sengaja? Mau ituin surat kontrak," tanya Sofia memecah kecanggungan.
"Iya. Tapi kamu langsung mengacaukan semuanya. Baru kali ini saya membuang waktu sia-sia tanpa hasil." Nazam menghela napas, menyandarkan diri pada sandaran kursi plastik.
Hah? Sofia tercenung. Dia lagi yang salah di sini. Nazam sungguh luar biasa, baru saja Sofia berpikir jika dia juga sama seperti manusia lainnya, pikiran itu langsung terpatahkan dengan sekejap mata. Lihat saja keangkuhan lelaki itu, memangnya dia pikir waktu berharga Sofia juga tak terbuang sia-sia? Pikirnya.
"Kenapa kamu beli itu?" tanya Nazam tak disangka. Ia menunjuk botol minuman pereda sakit haid yang ada di meja.
Seketika wajah Sofia merah delima. Langsung menariknya, menyembunyikan di bawah meja.
"I-ya. Karena sedang sakit perut," jawab Sofia singkat. Sofoa berpikir apakah Nazam pura-pura bodoh tak tahu itu minuman apa, atau bodoh sungguhan. Ia tak bisa membedakan.
"Sakit perut malah keluar rumah. Harusnya diam saja. Apalagi sebentar lagi mau menikah. Kalau misal kamu diculik, nanti siapa yang akan saya nikahi?"
Hah? Lelaki ini memang bodoh sungguhan. Laganya saja sudah mirip seorang eksekutif. Tapi sepertinya ber-IQ rendah. Sofia berpikir buruk.
Namun, ia salah sangka. Nazam sesungguhnya sedang mengatakan sebuah lelucon, berharap agar Sofia tertawa meski sedetik. Sayang, usahanya gagal. Dia memang datar dari sananya, tidak cocok kalau melawak.
"Besok saya akan ke rumah kamu lagi sehabis magrib untuk mengantarkan surat kontrak baru yang sudah kita sepakati untuk ditanda tangani. Sekarang ayo pulang, tidak baik perempuan berada di luar malam-malam."
Sisi baik Nazam muncul juga. Sofia tak mengelak, ia pun menurut. Padahal jarak dari minimarket sangat dekat, tetapi Nazam memutuskan mengawal calon istrinya langsung dengan kereta beroda empatnya tepat hingga depan gerbang.
Selama berada dalam mobil, Sofia mencuri pandang beberapa kali. Dalam hati tanpa sadar memuji. Inikah lelaki yang akan menikahinya beberapa hari lagi? Orang asing dan pelit, tukang ngatur dan kalau bicara tak pernah disaring dulu. Akan tetapi, entah mengapa ada sisi lain yang membuat Sofia ingin memandangnya sedalam ini.
Wajahnya yang rupawan itu menjadi salah satu keungtungan untuk Sofia. Setidaknya ia bisa memamerkan suaminya nanti dengan bangga di depan teman-temannya. Tak perlu sembunyi-sembunyi karena malu.
"Sampai kapan kamu mau terus mandangin saya? Kamu enggak turun?"
Sofia tergagap, langsung salah tingkah ketika teguran Nazam menyadarkan lamunannya. Bodoh! Sofia hanya bisa merutuk dalam hati. Memalukan, Nazam pasti berpikir dia begitu tampan sampai Sofia menatap dari tadi.
"Ehm, iya ini mau turun sekarang. Makasih udah nganterin. Mas enggak masuk dulu?" Meski malu ketahuan, Sofia tetap berusaha menjaga sikapnya agar tak menambah malu lagi dengan pura-pura cuek.
"Lain kali saja. Selamat istirahat, jangan lupa move on dari mantan," sindir jahil Nazam, membuat Sofia kesal bukan main.
Sofia mendesis kesal. Kenapa harus bawa-bawa Naran, sih? Gerutunya dalam hati. Nazam benar-benar tidak cocok kalau melawak. Seharusnya dia segera sadar dan berhenti berusaha. Bukannya menghibur, yang ada Sofia malah kesal.
"Enggak perlu diingatkan. Terima kasih, selamat malam." Sofia yang sudah kepalang dongkol langsung turun dari mobil, membanting pintunya pakai tenaga ekstra.
Tanpa menoleh lagi kepada Nazam, Sofia berjalan lurus membuka gerbang dan masuk ke dalam.
KRANG!
Sofia membanting pintu gerbang sebagai pelampiasan kejengkelan. Sementara Nazam mengerutkan kening tak mengerti. Calon istrinya itu sungguh tak bisa diajak bercanda.
Ya, ya. Begitulah perempuan. Mereka itu memang makhluk bumi yang paling sulit dimengerti. Ini salah, itu salah. Ketika seorang lelaki berniat menyenangkan hatinya, justru hasil yang didapat malah sebaliknya. Sungguh tak bisa dimengerti.
Nazam rasa akan butuh kamus setelah menikah dengan Sofia agar ia tak salah bertindak nantinya. Misalnya, kamus gaib yang bisa mengartikan seluruh isi pikiran wanita. Itu pun kalau ada.
"Dasar Sofia." Nazam masih memandang punggung Sofia yang semakin lama dipandang semakin hilang. Dia tersenyum kecil. Lelaki pelit ini nampaknya memang sudah tercuri hatinya. Lihat saja, senyum sendiri bagai orang gila.
Tak lama ia menggeleng dan mendesis. Kemudian gegas menyalakan mesin mobil dan melaju, meninggalkan tempat itu. Nazam sadar kalau dirinya sudah terlalu banyak membuang waktu berharganya.
***
Setiap kali Sofia menyendiri dalam kamar, yang pertama melintas dalam pikiran adalah Naran. Tak bisa ia pungkiri sakit dan sedih di saat itu terjadi. Terkadang, diam-diam Sofia menangisinya lagi. Meredam suaranya dalam bantal.
Meski tahu hal itu tak berguna sama sekali, tetapi tak ada cara lain lagi untuk melepaskan sesak dalam hati. Gadis itu terus menanam benci, tetapi cinta yang lebih dulu ia tanam tak mampu ia cabut dan buang juga. Sofia terjebak dalam dilema tak berkesudahan.
Nazam, apakah lelaki itu sungguh akan membuat Sofia melupakan sang mantan? Entahlah, takdir Tuhan tak ada yang tahu.
Malam ini Sofia menegak minuman pereda nyeri haid tandas. Ia berusaha menenangkan diri agar bisa istirahat dengan tenang malam ini. Tinggal menghitung hari pernikahan akan digelar, dirinya tak boleh membuat wajahnya kusam. Di pernikahannya dengan Nazam, Sofia ingin terlihat bersinar meski hatinya sedang kacau.
Esoknya, Sofia bangun dengan tidak semangat seperti waktu yang telah berlalu. Minuman pereda yang diminum semalam lumayan membuat tidurnya nyeyak. Sakit perut yang melilit reda.
Pagi-pagi sekali trio sahabatnya yang bernama Lisa, Naomi, dan Inggit menghubunginya via vidio call. Sofia tepuk jidat, lupa belum memberitahu mereka tentang kandasnya hubungan dirinya dengan Naran. Semua gara-gara terlalu kalut sampai lupa pada segala hal.
Sofia menggigit jari, berpikir apakah harus menerima VC itu atau jangan?
Klik. Pada akhirnya Sofia menerima VC itu setelah banyak pertimbangan.
"Halo, Zeyenk. Kami udah di depan gerbang rumah kamu. Ayo, dong bukain he he," ucap Inggit heboh.
Sofia tambah kaget. Kenapa mereka tidak mengabari dahulu? Kacau. Mau tak mau akhirnya Sofia berlari untuk membuka gerbang. Dia berpikir bahwa sebentar lagi senyum ceria mereka akan segera hilang setelah dirinya memberitahukan yang sebenarnya.