"Ada kisah menarik yang menyinggung tentang sebuah ras istimewa."
Saat mendengar ucapan guru sejarah ini, segera murid-murid menegakkan punggung mereka yang sempat loyo karena terkantuk-kantuk menyimak penjelasan sejarah. Sang guru tersenyum kecut, giliran pembahasan seperti ini malah mereka antusias.
"Berdasarkan manuskrip tua yang akhir-akhir ini berhasil dipecahkan, disebutkan di dalamnya tentang sebuah ras yang menyerupai manusia. Mereka memiliki rambut emas berkilauan dan tubuh yang bercahaya. Para ahli menyebutnya ras emas dan mengkategorikannya sebagai ras istimewa. Penelitian masih berlanjut untuk menemukan fosil mereka, sekaligus mengungkapkan asal muasal mereka."
Salah seorang murid mengangkat tangannya, "Izin bertanya, Pak Guru. Apakah ras ini benar-benar ada?"
Pak Guru Sejarah yang diperkirakan sudah berumur lebih dari lima puluh tahun ini pun melipat tangannya di depan dadanya. Matanya terpejam sebentar, nampak sekali sedang memikirkan jawaban yang tepat.
"Jujur saja ini adalah jawaban yang sulit. Belum ada bukti yang kuat jika ras ini ada, tetapi kita tidak bisa menyangkalnya begitu saja karena tercatat di manuskrip tua," jelasnya.
Sebuah tangan kembali teracung ke atas, "Kalau begitu, apakah ras ini berbahaya bagi manusia, Guru?"
"Hey! Pak Guru 'kan sudah bilang belum ada bukti ras ini ada." Murid lain sudah menyangkal sebelum guru menjawab.
"Iya, benar tuh! Kalau keberadaannya saja belum dipastikan, bagaimana bisa jadi ancaman?" sambung murid lain.
Murid yang disangkal tersinggung tidak terima. "Aku 'kan bertanya untuk berjaga-jaga! Ada pepatah bilang sedia payung sebelum hujan. Jadi wajar dong kalau aku bertanya," balasnya.
"Lebay, deh! Kecoak lebih nakutin tahu daripada ras tidak jelas seperti ini."
Segera kelas ricuh dengan perdebatan dadakan antara yang pro dan kontra. Siswa yang tidak percaya tiada hentinya menyerang siswa yang percaya. Di sisi lain, yang bersikap netral memilih diam, termasuk Wynter seorang gadis berambut panjang dengan teman sebangkunya yang selalu tidur sepanjang pelajaran, Sheilah.
Guru sejarah yang tidak tahan mendengar keributan ini langsung memukul keras meja di hadapannya, membentak dengan suara nyaring.
"DIAM KALIAN SEMUA!"
Seketika kelas hening. Sang guru kemudian berdeham tiga kali. Jari telunjuknya tiada hentinya mengetuk-ngetuk kecil meja di depannya. Matanya nyalang menatap wajah para murid yang terpaksa tutup mulut.
"Dengarkan baik-baik! Apakah ras ini ada atau tidak? Apakah ras ini bagian dari manusia atau menjadi ancaman? Dimana mereka sebenarnya berada? Pertanyaan-pertanyaan ini pasti berputar-putar di kepala kalian. Namun, ada satu hal yang pasti, pertanyaan semua ini belum ada jawabannya."
Kelas hening sesaat sampai suatu tangan kembali teracung ke atas. Melihat ini guru sejarah tersebut mengibaskan tangannya dan berujar, "Tidak. Aku tidak mengizinkan kalian bertanya lagi soal ras istimewa ini."
"Aku tahu jawaban semua ini, Guru."
Semua murid tercengang. Kini semua mata tertuju ke arah sang pemilik tangan yang teracung barusan, Sheilah. Dia menguap, wajahnya kusut khas orang yang baru bangun, nampak ada iler di sudut bibirnya.
Satu dua cekikikan murid terdengar hingga akhirnya seisi kelas tergelak menertawakan Sheilah. Wajah Pak Guru memerah menahan rasa malu sekaligus amarah. Yang diketawai justru bersikap acuh tak acuh, malah dengan enteng dia meminta kepada teman sebangkunya, Wynter agar menyerahkan kepadanya sapu tangan.
Pak Guru kembali berdeham dan sukses membuat para murid mengakhiri tawa mereka. Sekarang kedua matanya menatap tajam ke arah Sheilah yang kini berdiri tegap dari bangkunya.
"Apa maksudmu, Sheilah? Pembahasan ini bukan bahan untuk lelucon."
"Iya, iya, aku tahu," sahut Sheilah. Tangannya mengucek-ngucek matanya yang masih menyesuaikan cahaya. Dia berbatuk-batuk kambing sebab tenggorokannya terasa seret.
"Hey, kalian semua, simak baik-baik apa yang aku ucapkan," perintah Sheilah.
Seketika seluruh perhatian para murid tertuju kepadanya, termasuk pak guru yang memilih diam menyimak.
"Apakah ras ini ada? jawabannya iya. Apakah mereka bagian dari manusia? Jawabannya tidak. Apakah ras ini ancaman manusia? Jawabannya iya, mereka ini sangat rakus dan selalu lapar. Mereka dahulu kala dijuluki sebagai pemangsa, sang predator"
Sheilah menjelaskan dengan tampangnya yang masih berantakan. Meski demikian, suaranya terdengar menyakinkan ditambah sorot matanya yang tegas. Murid-murid yang mendengarkannya pun mulai merasa tegang, termasuk para murid yang sempat membully karena tidak percaya. Ah, yang tidak percaya tetaplah tidak percaya, tetapi saat mendengar bahwa ada sesuatu yang bakal mengancam nyawanya, tentu masih merasa tegang, bukan?
Sheilah tidak peduli sama wajah murid-murid ini. Dia juga tidak acuh dengan Wynter yang heran dengan sikapnya, dan lebih tidak mau tahu dengan Gurunya yang fokus mendengarkan di depan sana. Dia masih berdiri, lanjut menjelaskan, "terakhir, apakah mereka masih ada atau punah? jawabannya adalah iya, mereka sudah punah. Sayang sekali, ya."
Sheilah mengakhiri ucapannya lalu kembali duduk di bangkunya. Hening kembali melanda sebentar hingga akhirnya terdengar suara tepuk tangan ringan dari salah satu murid. Tepuk tangan lain mulai ikut menyusul hingga akhirnya seisi kelas memberikan tepuk tangan.
Pak Guru akhirnya ikut memberikan tepuk tangan, lantas berkata, "Meski tidak punya bukti yang bisa ditunjukkan, kamu mampu memberikan jawaban yang berani ini. Kerja bagus, Sheilah," pujinya.
Suara tepukan tangan terdengar semakin meriah saat Pak Guru mengakui keberanian Sheilah. Wajah Sheilah terlihat kikuk, dia pikir Pak Guru bakal memarahinya tadi.
Suara bell bertanda waktu pulang sekolah berbunyi nyaring. Segera Pak Guru mengemasi barang-barangnya sambil berkata, "Pelajari lagi baik-baik pelajaran yang sudah kuberikan. Pekan depan kita ulangan harian."
"Yah, kita baru pekan kemaren ulangan ...."
Suara tidak terima terdengar lagi dari para murid. Belum lagi helaan berat dan ucapan protes. Mendengar ini, Pak Guru membenarkan kacamatanya yang hampir jatuh dan mulai mengomel, "Jangan banyak mengeluh! Di ujian harian sebelumnya rata-rata nilai kalian di bawah standar. Kalian ini masih muda, harusnya belajarlah lagi lebih banyak, lebih giat, dan lebih tekun!"
"Terutama kamu, Sheilah," tunjuknya. "Meski aku respect kepadamu karena jawaban barusanmu yang berani, jangan harap aku memaklumimu dalam penilaian. Jujur saja, nilaimu yang benar-benar hancur ini merusak nilai rata-rata kelas. Ckckck ... aku tidak habis pikir, bagaimana nilaimu tetap saja jelek padahal sahabatmu Wynter ini meraih nilai sempurna. Terus, apa gunanya sahabat?"
Mendengar perkataan gurunya yang terakhir ini membuat Sheilah mengepalkan tangannya. Dia merasakan sesuatu menusuk hatinya. Benar, gadis ini tersinggung. Ia bersahabat dengan Wynter yang senang hati menerimanya. Lalu apakah hanya karena perbedaan nilai Guru ini dengan seenaknya memandang bahwa dia terlalu rendah sebagai seorang sahabat?
Sheilah yang emosi hendak maju ke depan ketika Wynter menggenggam tangannya. Dia menggeleng pelan, mengisyaratkan kepada Sheilah agar mengurungkan niatnya.
"Sabar, Shei. Sabarlah. Tidak usah diladeni, ya?" tawar Wynter sambil tersenyum manis.
Akhirnya Sheilah hanya menghela napas. Benar apa yang dikatakan Wynter, emosi sesaat hanya akan menambah masalah. Sheilah kembali berdiri lalu menunduk kepada Pak Guru dan berkata, "terima kasih atas sarannya, Pak."
Pak Guru Sejarah melangkah pergi meninggalkan kelas diikuti murid-murid yang mulai berhambur menuju pintu kelas. Sheilah tetap berdiri, matanya awas menatap punggung Pak Guru ini hingga menghilang di ujung sana , tergantikan oleh punggung para murid yang menuju ke arah yang sama.