Beberapa saat berlalu setelah bell pertanda waktu pulang berbunyi. Gerbang sekolah masih ramai dengan orang-orang yang keluar beranjak pulang. Di kantin juga nampak penuh dengan murid-murid yang ingin mengisi perut yang keroncongan dan mendinginkan kepala yang mengepul karena memahami pelajaran. Sebagian murid masih ada yang bertahan di ruang kelas dengan beragam alasan : piket, hendak menggosip ria, atau malah jadi tim inspeksi dadakan yang menjarah barang-barang di bawah kolong meja.
Segelintir murid ada yang memilih tidur setelah kelas usai. Termasuk Sheilah yang sudah memosisikan tangannya sebagai bantal. Kepalanya beringsut kesana kesini diatas meja mencari posisi yang nyaman. Matanya memicing melihat Wynter yang dengan gesit mengemas peralatan sekolah, memasukkannya ke dalam tas.
"Hey, Wyn, punyaku jangan dibereskan, ya. Biar aku sendiri yang mengurusnya," pinta Sheilah sekenanya.
"Kelamaan kalau nunggu kamu yang bereskan," tolak Wynter. Dia menyusun rapi tumpukan buku Sheilah kemudian menaruhnya di dalam tas seraya mengomel, "aku gak mau balik lagi ke sekolah gara-gara menemanimu mengambil buku yang ketinggalan. Cukup sekali kita memanjat pagar malam-malam agar bisa mengambil catatanmu yang tertinggal. Beruntung waktu itu gak hilang diambil orang."
Sheilah mendengar omelan Wynter sambil terkantuk-kantuk. Sejuknya angin sepoi-sepoi yang membelai anak rambutnya seolah membawanya terbang melayang di awang-awang. Rasanya baru saja dia menginjak tanah mimpi saat tubuhnya tiba-tiba terhenyak dan ditarik kembali menuju alam sadar.
"Shei! Bangun!" Wynter menggoyangkan bahunya, menyuruhnya bangun. Di pundak Wynter sudah tertenteng dua tas : miliknya sekaligus punya Sheilah
"Shei, ayo pulang. Tasmu ini kubawa, loh," ancam Wynter.
"Gak papa, bawa pulang aja. Aku nyusul," jawab Sheilah malas.
"Jangan mulai lagi deh, Shei. Lekas bangun! Aku gak mau bermalam disini kalau sekolah sampai dikunci."
"Yah, gak papa atuh. Kita bisa pakai toilet disini, hitung-hitung jadi hemat air, hehee ...." Sheilah malah terkekeh memikirkan idenya barusan.
Kelakuan mereka berdua menarik perhatian salah satu murid laki-laki yang masih bertahan di kelas. Perawakannya tinggi dengan tubuh yang tegap terlatih dan otot yang terbentuk sempurna. Potongan rambutnya sangat rapi, ditambah dengan parasnya yang juga tampan. Matanya berwarna hijau zamrud khas keluarga bangsawan kelas satu yang tersohor itu. Ya, dia adalah Arick Jade Fernandez sang penerus kepala keluarga Jade.
Arick menutup buku yang dibacanya lalu mendekat ke arah mereka berdua, bertanya dengan suara baritonnya yang khas. "Ada ribut apa ini?"
Kalau yang mendengarnya adalah anak-anak murid perempuan lain, pasti mereka sudah berteriak kegirangan. Arick merupakan salah satu cowok dari lima murid laki-laki populer di sekolah. Meski demikian pesona Arick yang memesona ini tidak mempan bagi Sheilah, terlebih ia sudah memegang sebuah rahasia kecilnya.
Karena itulah Sheilah menatap malas ke arah Arick yang kini berdiri di hadapannya. "Harus ya dijawab?" sahutnya.
Arick mendelik saat mendengar jawaban Sheilah yang tidak sopan. Dia menahan emosinya agar tetap berpikir sebelum bertindak.
"Sekolah bukan tempat untuk tidur. Pulang sana," titah Arick.
Sheilah menyeringai. Dia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku lalu menopang kepalanya dengan satu tangan. Tatapan mengejek ia lemparkan ke arah Arick sambil berucap, "Oh, kalau aku tidak mau?"
"Kalau kamu tidak mau, aku akan-"
"Stop! Berhenti!" Wynter melerai sambil berdiri di tengah mereka berdua, menjadi penghalang agar mereka tidak berkelahi. Wajah Wynter yang putih seperti salju kini nampak merah, membuat Sheilah menelan ludahnya sendiri.
"Cukup! Jangan dimulai lagi bertengkarnya! Arick, terima kasih sudah mau membantu kami. Sekarang kamu boleh balik ke tempat duduk asalmu. Dan kamu, Shei. Pulang sekarang! Aku tidak mau bermalam di sekolah ini gara-gara dikunci. Belum lagi kita harus singgah di supermarket membeli bahan-bahan dapur yang kurang," omel Wynter.
Akhirnya Sheilah berdiri dan mengambil tas dari pundak Wynter. "Mulai hari ini, kamu resmi menjadi ibuku," celetuknya.
"Hilangkan pikiran-pikiran anehmu," sungut Wynter sambil menoyor kepala Sheilah, "aku tidak sudi punya anak model kamu."
Sheilah melirik ke arah Arick yang sudah duduk kembali dan terlihat fokus membaca.
"Hei, Arick," panggil Sheilah. Yang dipanggil hanya menaikkan satu alisnya ke atas.
"Ayo ke rumahku."
"Ditolak," balas Arick dengan cepat.
"Dih, dingin amat. Padahal kalau kamu main ke rumah, kamu bisa baca volume terakhir 'perjalanan Raja Ampat' loh. Aku tahu kamu sudah baca tiga kali volume yang itu karena gak bisa menemukan volume terakhirnya."
"Aku ikut," balas Arick merubah jawabannya. Dia segera menyimpan bukunya ke dalam tas lalu menyampirkannya di bahunya. Sheilah dan Wynter tersenyum melihat kelakuannya.
"Rupanya dia penggemar berat novelmu, Shei," celetuk Wynter.
"Ayo, buruan! Tunjukkan aku jalan rumahmu," perintah Arick. Dia sudah berdiri di pintu kelas.
"Hoi hoi ... kamu gak berniat maling rumahku, 'kan?" Sheilah bertanya sambil berjalan menyusul Arick.
"Nih kepala harus dicuci bersih, deh. Isinya kotoran semua," jawab Arick sambil merangkul leher Sheilah dan menjitak kepalanya.
"Setuju. Mari kita beli cairan penghilang kerak agar sekalian bersih tanpa noda," celetuk Wynter berjalan beriringan.
"Huhuuu ... jahat amat! Kalian temanku apa bukan, sih?"
"Maaf ya, kita gak paham pertanyaanmu. Silakan bertanya langsung kepada rumput yang bergoyang."
–––––
"Gawat gawat gawat ..."
Sheilah meracau sambil terus berlari ke arah perpustakaan. Tadi ketika mereka bertiga hendak menaiki bus angkutan umum, tiba-tiba Sheilah teringat bahwa hari ini dia belum mengembalikan buku yang dipinjamnya di perpustakaan sekolah.
"Kamu lagi gak melawak 'kan, Shei?" tanya Wynter. Tatapannya begitu tajam seakan sanggup mengiris lawan hidup-hidup.
"Ampun, Mak. Aku masih mau menjadi anakmu." Sheilah memelas sambil menangkupkan kedua tangan di hadapan wajahnya.
"Aku ini bukan ibumu!" hardik Wynter.
Sopir yang sedari tadi menunggu mereka bertiga akhirnya berseru berteriak "Kalian ini mau naik atau tidak, hahh?! Siapa yang mau bayar kompensasi kalau bus ini terlambat gara-gara lama menunggu kalian. Jangan berdiri di pintu busku kalau kalian tidak jadi naik!"
Akhirnya Arick mengusulkan sebuah ide. "Tenang, masih banyak jalan. Sheilah, segera balik ke sekolah dan kembalikan buku perpustakaan. Kamu tahu 'kan betapa mengerikannya Kakak penjaga perpustakaan saat telat mengembalikan bukunya?" terang Arick berhasil membuat Sheilah berkeringat dingin.
"Setelah urusanmu selesai, pulanglah dulu lewat kereta bawa tanah. Aku dan Wynter tetap pergi ke supermarket. Kita janji bertemu di Stasiun Timur. Kalian mengerti, Wynter, Sheilah?" tanyanya lagi memastikan.
"Aku paham," jawab Sheilah cepat. Dia segera balik berlari ke arah sekolah sambil melambaikan tangan ke arah mereka berdua dan berseru "Tunggu aku di Stasiun Timur!"
Adapun Arick dan Wynter menaiki bus setelah meminta maaf berulang kali ke sopirnya. Wynter memijit pelipisnya yang berdenyut ketika mereka sudah duduk di deretan kursi paling belakang.
"Padahal aku sudah mewanti-wanti agar barangnya tidak tertinggal sehingga tidak balik lagi ke sekolah. Ternyata masih ada saja kelakuannya," keluh Wynter.
"Sudah, tidak usah dipikirkan. Lama-lama kamu beneran cocok jadi ibunya," celetuk Arick.
Sekarang Sheilah sudah berdiri di depan pintu perpustakaan sekolah. Napasnya tersengal-sengal sebab terus berlari kesini tanpa sekali pun istirahat sejenak. Berbeda dengan kebanyakan ruangan lain yang sudah gelap, lampu ruangan perpustakaan sekolah masih menyala. Dia juga menangkap suara orang-orang yang beraktifitas di dalam sana.
Sheilah segera mengeluarkan buku pinjaman dari tas, kemudian meraih knop pintu perpustakaan lalu membuka pintunya dan masuk ke dalam perpustakaan. Sheilah tenang karena lampu ruangan yang masih menyala ini pertanda bahwa masih ada orang. Dia pun celengak-celinguk mencari keberadaan Kakak Penjaga.
Hingga Sheilah tiba di tempat peminjaman, dia masih belum menemukan seseorang pun termasuk Kakak Penjaga. Perasaan takut mulai menjalari tubuhnya. Ah, tidak, biasanya juga dia selalu santai saat sendirian melewati koridor sekolah yang sudah kosong. Namun, entah kenapa, sedari tadi ada sesuatu yang mengusik hatinya.
Tidak mau berlama-lama disini, Sheilah langsung melempar buku yang dipinjamnya ke tempat peminjaman sambil berseru, "Maaf untuk Kakak Penjaga Perpustakaan yang cantik tapi galak dan aku juga lupa namanya! Bukunya sudah kukembalikan. Cek CCTV sebagai buktinya!"
"jadi jangan ada dendam diantara kita, ya" gumamnya. Kemudian Sheilah langsung lari terbirit-birit menuju pintu perpustakaan. Dia meraih knop pintu dan memutarnya, tetapi pintu perpustakaan tidak terbuka.
"Hahh? Kenapa ini?! Terkunci!" seru Sheilah sambil berusaha paksa membuka pintunya. "Hey, siapa yang menguncinya? Tolong aku masih di dalam!"
"Selamat pagi ... selamat siang ... selamat malam"
Sebuah sapaan mengagetkan Sheilah. Sekonyong-konyong dia membalik badannya dan mendapati seorang yang mengenakan jubah aneh berwarna putih tengah menyapanya. Wajahnya tertutup dengan topeng yang terukir lambang satu mata di tengahnya.
"Selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam? Kamu harus milih salah satu ya karena aku lagi senang akhirnya ... hihihi ... aku bisa bertemu manusia setelah sekian lama."
Sheilah beringsut mundur ke belakang hingga punggungnya mentok tertahan pintu perpustakaan. Matanya mengawasi orang yang berada di depannya, bergumam, "Dia lawan atau kawan? Haruskah kujawab?"