Chereads / Sheilah : The Secret of a golden ras / Chapter 6 - Chapter 6 : Membaca Pikiran

Chapter 6 - Chapter 6 : Membaca Pikiran

"Bagaimana ini?! Apa teknik aneh itu masih ada sehingga topengnya juga diserap?! Ah, Lin ... maaf, topeng yang harusnya dijaga malah hilang," sesal Sheilah sambil meraba-raba mukanya.

"Lapor!" Si suara yang berdiam di kepalanya kembali berbicara, "item mata satu berhasil–"

"Gak usah menjelaskan yang aneh-aneh kalau gak bisa bantu menemukan topengnya!" potong Sheilah. Dia meremas rambutnya gemas, bergumam, "Gawat! Jangan-jangan ini topeng mahal koleksi keluarga Bert? Bisa jadi Lin dan Han berasal dari keluarga itu 'kan makanya hobi memakai topeng ... Eumm, tapi perasaan mereka sempat bilang kalau berasal dari Luminous, deh?"

Akhirnya Sheilah pun memilih rebahan di lantai rooftop sekolah ini. Tangannya masih saja memeriksa setiap inci wajahnya, berharap barangkali dia menemukan tepi topeng sehingga ia bisa melepaskannya. Di sisi lain, pikirannya menerawang memikirkan rentetan kejadian yang ia alami hari ini. Berawal dari mengembalikan buku pinjaman ke perpustakaan, tersesat di dimensi aneh, bertemu Han dan Lin si nomor tiga dan nomor lima. Lalu dia juga bertarung dan hampir mati ... Sheilah tersentak menyadari jika ada kejadian yang tidak diingatnya.

"Ah, benar juga. Bagaimana Han dan Lin bisa kalah? Meski aku tidak sadar saat ritual summon soul itu, rasanya samar-samar aku masih bisa melihatnya. Mereka itu kuat, kok, sampai aku saat itu dibuat terpojok. Tapi kenapa ketika aku sadar dan menguasai fisikku lagi, mereka berdua malah tergeletak tak berdaya?"

Sheilah memilih bangun dari tidurannya. Dia berniat memanggil si suara dalam kepalanya saat ada seseorang yang menyapanya dari belakang.

"Wah ... tak kusangka masih ada satu siswi di sini. Oh, jangan takut, aku datang kesini bukan karena niat jahat, kok."

Mata Sheilah memicing mengawasi laki-laki ini. Perawakannya tinggi sekali, sepertinya lebih tinggi dari Arick. Dia memakai jubah putih bergaya modern yang pas melekat di tubuhnya yang atletis. Ah, bahunya juga lebar. Sheilah tidak tahu berapa usianya karena rambutnya yang berwarna putih tetapi wajahnya sepantaran anak muda.

"Siapakah?" tanya Sheilah kepada orang ini. Matanya menangkap topeng bermotif satu mata yang disampirkan di samping kepalanya.

"Apakah orang ini juga Luminous? Topeng yang sama, tetapi apa tidak masalah kalau gak dipakai?" batinnya.

"Wah ... kamu juga tahu Luminous? Apa kamu beneran siswi disini? Ah, kamu tidak perlu merasa sungkan karena sebenarnya informasi organisasi rahasia ini ternyata sempat bocor ke publik," ujar orang asing itu.

Sheilah merasa risih karena orang ini bicara blak-blakkan kepada dirinya yang belum dikenalnya. "Orang aneh ... pasti dia sendiri yang membocorkan informasi organisasinya sendiri gara-gara kelepasan bicara," batinnya.

"Wah wah, itu sangat tidak sopan. Asal kau tahu, meski tampangku ini ramah dan ceria, sebenarnya aku ini adalah salah satu ketuanya, loh," jelas orang ini membantah pikiran Sheilah.

Gadis ini pun tercengang saat mendengarnya. Dia tidak menyangka akan secepat ini bertemu dengan ketuanya. Ah, tidak ... pasti orang ini berbohong dan bicara ngelantur, 'kan?

Tunggu! Sedari tadi bukankah ia hanya berpikir dalam kepalanya dan belum bicara?

Mengetahui fakta ini tubuhnya pun menegang seketika. Dapat dirasakan tangannya yang berkeringat dingin. Padahal orang ini hanya berdiri di hadapannya, tetapi dia sudah gemetar ketakutan.

Gadis itu lagi-lagi membatin, "Bahaya! Orang ini ... dia bisa membaca pikiran. Apa yang harus kulakukan?"

Orang ini menghela napas, lalu bergerak mendekati Sheilah. Melihat ini, segera Sheilah bangkit dari posisinya dan mempersiapkan diri. Dia sebenarnya tengah menggerutu dalam hati, "Sumpah, deh. Aku sudah capek banget, pengen pulang ke rumah dan rebahan. Kelahinya lain kali aja, bisa gak?"

Mendadak orang ini tertawa dengan keras. Dia pun berjongkok depan Sheilah dan berujar ringan, "Sudah kubilang, aku ini bukan musuhmu. Tidak perlu tegang begitu. Santai aja, toh, karena sudah sampai sini kepalang tanggung mau balik."

Sheilah menggeleng. "Aku tidak mau percaya pada orang yang bisa membaca pikiran," jelasnya.

"Eh? aku? Gak, deh. Aku cuma menjawab lontaranmu doang," kilah orang itu.

"Bagaimana caranya kamu tahu padahal aku belum ngomong?" bantah Sheilah.

Orang ini tertawa lagi, kali ini dengan diiringi riuhan tepuk tangannya. "Hebat! Hebat! Rupanya kamu jeli juga, ya," pujinya.

"Nggak ... kamunya aja kelewat bodoh," batin Sheilah.

Jujur saja, gadis ini masih merasa tidak nyaman dengan orang ini yang terus saja tertawa dan sok akrab. Namun, dia tidak mau mengambil resiko dengan mengabaikannya dan memancing kecurigaan.

"Kamu hebat. Matamu cukup awas. Baiklah, sudah kuputuskan, mulai hari ini kamu adalah temanku." putus orang ini seenak jidat.

Langsung Sheilah menggeleng keras. "Aku tidak mau punya teman yang aneh, berlagak keren, bisa baca pikiran, dan bodoh," tandasnya membuat laki-laki berambut putih ini mati kutu.

"Ja ... jangan begitu! Ah, begini saja. Bagaimana kalau kita ulang lagi dari awal? Aku minta maaf sebelumnya karena sudah membaca pikiranmu tanpa izin," melas orang tersebut.

Sheilah menatap orang ini lalu berkata, "baiklah". Gadis ini pun berjongkok di depan orang tersebut dan diam tidak melakukan apa pun.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya ketua Luminous ini. Dia merasa heran dengan Sheilah yang tetap saja diam jongkok di hadapannya bagai patung. Matanya lurus melihat ke arah depan. Orang ini awalnya iseng melucu di depan Sheilah, tetapi karna gadis ini tidak menggubrisnya, akhirnya ia pun ikutan jongkok di depannya.

Lama mereka berdua saling diam-diaman sampai lelaki berambut putih ini tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak.

"Sumpah, itu lucu banget. Kok bisa kamu kepikiran seperti itu- ups!" Orang ini segera menutup mulut dan sadar kesalahan yang sudah dibuatnya.

"Kamu kalah. Enyahlah dari hadapanku. Kamu tidak layak menjadi temanku," putus Sheilah. Gadis ini pun segera menyampirkan tasnya di bahunya dan beranjak pergi.

Mata laki-laki ini bergetar. Baru kali ini ia merasakan kekalahan selain melawan pendiri Luminous, dan itu berasal dari gadis kecil lagi polos ini. Harga dirinya terluka, dan tanpa disadari ia pun mengeluarkan aura yang sangat berat dan mencekam.

"Kau ... gadis kecil, beraninya menipuku!" bentaknya marah.

Sontak Sheilah membalikkan badan dan menyaksikan banyak retakan di sekitarnya. Tentu saja dia panik. Tanpa dijelaskan pun ia tahu kalau dimensi pembatas dunia ini dibuat retak oleh orang itu.

"Hey, hentikan! Disini area padat penduduk. Bisa bahaya jika 'ini' pecah ... hiiy! Lihat! Yang retak itu benar-benar pecah!" peringat Sheilah dengan suara yang memburu.

Laki-laki ini tidak menggubrisnya. Malah sekarang dia memasang kuda-kuda dan bersiap menyerang Sheilah. "Aku tidak bisa menerima kekalahan yang kekanakan ini, terlebih itu dari gadis kecil yang bahkan tidak setara denganku," racaunya.

"Kamu yang kekanakan! Dasar bodoh!" teriak Sheilah. Sekejap dia sudah berada di hadapan lelaki ini dan langsung saja ia meninju kepalanya.

Seketika orang ini memutar tubuhnya dan menahan tinjuan Sheilah dengan tangan kosong. Tenaga Sheilah yang sudah terlihat tidak sepadan dengannya sudah pasti tidak akan melukainya. Toh, gadis ini melayangkan pukulan bukan untuk memberikan serangan, tetapi untuk menghilangkan retakan ini dengan 'memakan' tekniknya. Tentu saja berdasarkan dari arahan si suara yang bersarang di kepalanya.

Sheilah membatalkan teknik lawan yang diambil alih olehnya barusan dan menghilangkan retakan-retakan dimensi. Segera orang ini tersadar akan kesalahannya barusan dan menyesal telah membiarkan dirinya larut dalam emosi sesaat.

"Aku benar-benar minta maaf. Padahal aku berniat menjadi temanmu, tetapi sejak tadi aku terus saja melakukan kesalahan. Kamu benar aku ini adalah orang bodoh dan kekanakan," sesalnya.

Mendengar ini, Sheilah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak berniat akrab dengan Luminous apalagi ketuanya. Namun, ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja yang saat ini terlihat bagai anjing putih yang hendak menangis karena habis dimarahi.

Akhirnya, Sheilah pun berdeham lalu berkata, "Hmm ... begini saja. Mari kita berbaikan. Tapi kamu harus ingat kalau aku tidak niat berteman denganmu."

"Bagaimana kalau besok-"

Sheilah menolak mentah-mentah tawaran ini dengan menyilangkan tangan di depan dadanya. "Tidak hari ini, besok, dan kapan pun. Hidupku yang tenang akan hanya jadi mimpi saat orang sepertimu menjadi teman," tolaknya.

Setelah itu, Sheilah memungut lagi tas yang tergeletak lalu menyampirkannya kembali ke bahunya. Dia pun kemudian beranjak pergi meninggalkannya sendirian disini.

Sebelum gadis ini melewati pintu keluar rooftop, dia mendengar orang ini berteriak kepadanya, "Gadis kecil! Ingatlah namaku Rigel! Suatu hari akan kubuktikan diriku ini layak menjadi temanmu!" serunya.

Sheilah menanggapinya dengan mengangkat tangan kanannya. Selanjutnya ia pun cepat-cepat menuruni anak tangga sambil bergumam dengan raut panik, "Gila! Aku benar-benar berhadapan dengan ketuanya! Hanya dengan auranya saja sudah membuat retak dimensi. Ah, aku benar-benar lagi beruntung karena bersikap tenang. Kalau aku gegabah, entah jadi apa nasibku tadi."

Sementara itu di rooftop sekolah, Rigel tidak bisa menahan seringainya. Dadanya berdegup kencang saking senangnya.

"Tidak kusangka, ada lagi orang yang mengerikan selain Pendiri Luminous. Jika aku tidak menahan diri dan nekat membaca pikirannya secara menyeluruh, sudah dipastikan aku akan gila. Bagaimana mungkin anak tanggung yang bahkan terlihat belum genap berusia tujuh belas tahun mampu menahan pikiran-pikiran yang sebanyak satu kota itu?"

"Belum lagi aura suaranya yang terdengar menakutkan. Jika dia benar-benar keturunan ras emas yang menguasai (lautan memori) ... Ah, aku tidak bisa membayangkan bakal sebesar apa bencana yang melanda manusia jika dia tetap hidup dan tumbuh berkembang," ujarnya.

Rigel kemudian berdiri dan mengangkat tangannya, seketika sudah bersimpuh di belakangnya dua orang yang mengenakan topeng ukiran mata satu. Ketua Luminous ini berbalik dan menatap mereka berdua dengan dingin.

"Nomor Dua, Nomor Empat, kita akan menjalankan kewajiban utama Luminous," titahnya.

"Dimengerti," jawab keduanya dan tiba-tiba langsung menghilang begitu saja.

Rigel mengenakan topengnya yang sebelumnya ia sampirkan di samping kepala. Dari sini dia menatap Sheilah yang tengah berlari-lari keluar melewati gerbang sekolah. Lelaki ini pun berkata, "Sekarang, aku akan menjalankan tugasku sebagai Si Nomor Satu."