Chereads / Sheilah : The Secret of a golden ras / Chapter 4 - Chapter 4 : Seharga Nyawa.

Chapter 4 - Chapter 4 : Seharga Nyawa.

"Perhatian. Summon Soul telah diaktifkan."

Seiring suara itu memenuhi kepala Sheilah, ia merasakan kesadarannya mulai menghilang. Perubahan mulai terlihat di fisiknya. Warna rambutnya yang hitam legam mulai tergantikan dengan warna emas berkilauan. Luka-luka dan lebam-lebam di tubuh juga berangsur menghilang teregenerasi oleh cahaya yang lembut.

Sheilah membentangkan kedua tangannya, menarik energi-energi di sekitar menjadi asupan untuk evolusinya. Tekanan aura yang dipancarkan oleh lawan juga ikut tersedot. Si Nomor Lima yang menyadari hal ini pun segera berteriak memperingati Si Nomor Tiga, "Bahaya! Dia juga menyerap aura kita!"

"Mundur! Segera aktifkan pertahanan mutlak!" titah Nomor Tiga.

Si Nomor Lima mengeluarkan sebuah alat sihir dari sakunya. Dia berkonsentrasi menyalurkan energi spiritual ke benda tersebut, bergumam, "Berasal dari cahaya dan kembali ke cahaya ... bersinarlah!"

Sebuah kubah tipis muncul dan menyelimuti mereka berdua, menghalangi energi mereka terserap ke dalam evolusi Sheilah.

Si Nomor Lima memerhatikan Sheilah yang kini sudah sepenuhnya berganti menjadi sosok yang baru. Rambutnya panjang berwarna emas berkilauan. Bentuk fisiknya yang dulu cenderung gemuk lagi tambun, kini berganti menjadi tubuh semampai yang telah matang sempurna. Ditambah dengan kulitnya yang bersih bercahaya dan parasnya yang memancarkan aura memesona.

"Inikah ras emas? Bukankah ini sangat cantik? Rasanya seperti melihat malaikat yang turun ke bumi," kagum Nomor Lima.

Si Nomor Tiga mengangguk. "Jika aku tidak melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri, seumur hidup aku hanya percaya dongeng bahwa fisiknya akan lebih buruk dari iblis," timpalnya.

Sesosok cantik itu mengangkat tangannya mengarah ke arah kubah; tempat si Nomor Tiga dan Nomor Lima berlindung. Mulut si cantik terbuka perlahan, mengeluarkan gema frekuensi tinggi untuk merobek dindingnya.

Dinding-dinding kaca labirin yang masih utuh tersisa kini pecah sepenuhnya karena gema tersebut. Kubah kecil itu bergetar, tetapi masih belum cukup untuk menghancurkannya. Saat sosok itu menyadari apa yang dilakukan barusan itu sia-sia, ia pun mengamuk marah. Dia mengangkat kedua tangannya dan menginetik pecahan-pecahan kaca yang berserakan, lalu menghujaninya ke arah kubah tersebut.

Si Nomor Tiga berhitung situasi sambil bertahan di dalam kubah. Dia mengajak bicara Nomor Lima, "Meski sudah menghubungi ketua, kita tidak bisa menahannya sampai ketua datang membawa bala bantuan."

"Monster! Dia monster! Dia akan benar-benar membunuh kita!" jerit Nomor Lima.

Nomor Tiga yang tidak tahan mendengar jeritan Nomor Lima pun segera meraih bahunya dan berteriak, "Tenangkan dirimu, Lima! Pasti ada jalan keluar. Ini bukan kali pertama kita menghadapi makhluk-makhluk mitologi seperti ini"

Mendengar ini, bahu Nomor Lima bergetar. Suaranya sesegukan menangis meski wajahnya tertutup topeng. "Maaf ... hujan beling ini menakutiku sesaat. Aku khawatir kalau ternyata kita kalah dan mati disini."

"Jangan katakan kata-kata itu. Aku bersumpah dengan hidupku ... disaat yang tidak mungkin sekalipun, kupastikan kamu bisa keluar dari tempat ini dan melihat langit yang cerah, Lima," ucap Nomor Tiga. Tangannya terjulur mengusap pucuk kepala Nomor Lima dengan lembut.

"Jadi, dengarkan aku baik-baik, Lima. Makhluk yang kehilangan akal sehat ini tidak akan segan-segan menghabisi kita. Ucapan apa pun tidak akan didengarnya. Kita tetap bertahan disini sampai dia mengeluarkan seluruh energinya untuk menghancurkan kubah. Di saat itulah aku akan melancarkan serangan fatal kepadanya dalam satu kali serang. Untuk meningkatkan keberhasilan, tolong lindungi punggungku dari belakang," kata Nomor Tiga.

Nomor Lima pun mengangguk paham. "Jika kita berhasil mengalahkannya dan keluar dari dimensi ini, eumm ... maukah kamu menemaniku makan kue manis sambil minum teh?" tawarnya malu-malu.

"Sekali menawariku, tidak elok ditarik lagi, loh." jawab Nomor Tiga.

Sheilah ... ah, tidak, karena sekarang ia telah menjadi sosok lain yang tidak memiliki hati nurani lagi akal sehat. Mendapati teknik kinetiknya lagi-lagi tidak berguna, si cantik ras emas ini pun berteriak marah hingga ruang dimensi di luar labirin bergetar.

Dia mengerahkan tangannya kembali ke arah kubah. Kali ini, ia mengumpulkan energi sekitarnya dan memadatkannya menjadi satu titik, bersiap merobohkan kubah itu dengan ledakan energi yang dikumpulkan.

"Ini saatnya," ucap Nomor Lima.

Si cantik ras emas ini menembakkan ledakan energi tersebut ke arah kubah. Karena tidak bisa lagi menahan serangan yang luar biasa dahsyatnya, akhirnya kubah itu pun meledak dan hancur berkeping-keping. Di balik puing-puingnya yang beterbangan, hanya nampak Nomor Lima yang merapal mantra dan berteriak, "Majulah, Tiga!"

Dengan pedang besarnya yang konon sanggup membelah gunung-gunung, Nomor Tiga seketika muncul di titik buta makhluk tersebut. Tanpa memberinya kesempatan untuk mengelak, Tiga menebas di titik vitalnya dengan sekuat tenaga.

"MATILAH!!!"

***

Sheilah tersentak ketika indranya menangkap suara samar-samar. Dia mendapati dirinya berada di dalam air, tidak mengapung di permukaan, tetapi juga tidak tenggelam di dasar. Ia juga tidak merasa sesak, justru yang rasakan saat ini rasanya tenang, nyaman, lagi hangat.

"Dimanakah ... ini?"

Sheilah melihat di sekitarnya banyak kepingan yang tidak utuh. Ia menggerakkan badannya, mendekati salah satu kepingan dan memegangnya. Seketika sekelabat ingatan tergambar di kepalanya tentang seorang anak kecil yang berjongkok di depan semak-semak.

"Hey, kenapa kamu tidur disini? Wah! Rambutmu berwarna emas." ujar anak kecil itu.

Setelah itu, kepingan tersebut menghilang. Sheilah menatap sekelilingnya, banyak sekali kepingan-kepingan itu bertebaran.

"Ini semua ingatanku? Apakah aku dulu hidup dua kali?" tanya Sheilah pada dirinya sendiri.

Satu kepingan yang paling besar menarik perhatian Sheilah. Ia bergerak mendekatinya sebelum menyadari bahwa tangannya yang memegang kepingan tadi sudah tidak ada.

"Tanganku kemana?! Masa setiap memegang kepingan ini, ada bayarannya?" tanyanya tidak percaya.

Akhirnya, Sheilah pun membatalkan niatnya. Terlalu besar yang harus dibayar jika ingin tahu ingatan dalam keping-keping ini. Dia tidak siap jika anggota tubuhnya yang diambil sebagai harga ingatan ini ....

Sheilah terpaku sejenak seakan sudah melupakan sesuatu yang penting.

"Tubuhku? Apakah benar tubuhku serapuh ini? Tidak, tidak, tidak ... Yang lebih penting lagi, tempat apa ini?"

Tempat yang awalnya hening ini seketika dipenuhi oleh banyak suara yang saling bertumpang tindih satu sama lain. Suara tawaan, sorakan, teriakan, debuman, isakan, tangisan, semuanya bergabung menjadi satu, seperti diputar disini kaset rusak dari berbagai sisi.

Sheilah tidak tahan dengan situasi ini. Dia menutup telinganya dan meminta tolong dengan suara yang lirih, "Hentikan ... hentikan ini semua ....."

Dari sekian banyak suara, kali ini ia mendengar suara ratapan yang sangat jelas.

"Jangan lakukan itu ... hiks, hiks ... jangan mati ... jangan tinggalkan aku sendiri ...."

Deg! Dada Sheilah berdegup kencang. Dia ingat sekarang, ia melakukan summon soul agar hidupnya selamat. Saat ritual dijalankan, ada yang menarik kesadarannya dan mengambil alih tubuhnya.

Sheilah melakukan itu agar bisa bertahan hidup. Namun, ada perasaan menyesal jika dia juga harus mengorbankan hidup orang lain. Ia pun berteriak dengan suara keras, "Sudah cukup. Sekarang, keluarkan aku dari sini!"

Ada suara yang membalas teriakannya. "Kami sudah mengembalikan sesuatu pada asalnya."

"Tidak! Aku harus kembali ke tubuh asliku!" elak Sheilah.

"Baiklah ... sebutkan siapa dirimu yang sebenarnya? Jawaban yang salah tidak akan diterima."

"Aku ... eh?"

Sheilah melihat kepingan yang paling besar tadi tepat berada di depan matanya. Kepingan itu menghilang seiring ingatan yang memenuhi kepalanya. Ia menyaksikan empat orang anak kecil yang sekarat, dan melihat dirinya sendiri tengah memeluk teman mereka yang sudah terbujur kaku, berkata, "Dengan harga diriku sebagai ras emas, aku akan mengorbankan empat martabatku ke tubuh kalian agar tetap hidup .... "

Hanya sampai disitu ingatan yang dilihatnya, membuat batinnya bertanya-tanya "Siapa ... mereka?"

Suara ratapan kembali didengarnya, kali ini ia tahu siapa pemiliknya : musuhnya yang dipanggil Nomor Lima. Akhirnya Sheilah pun memutuskan untuk berenang menuju permukaan. Namun, kepingan-kepingan tersebut menghalangi dan menyerangnya dari berbagai sisi.

"Brengsek!" umpatnya. Kepingan-kepingan itu menghapus anggota tubuh yang dikenainya.

"Jangan menghalangiku! Aku tidak boleh membiarkan 'dia' mengendalikan fisikku sesukanya. Aku ini bukan monster! Aku adalah manusia ... Aku adalah Sheilah!" lantangnya.

Seketika serangan kepingan-kepingan itu pun berhenti. Rantai emas pun muncul dari permukaan, melilit Sheilah dan menariknya ke atas menuju cahaya yang menyilaukan.

Sheilah mengerjap-ngerjap matanya. Yang pertama kali dilihat adalah dua musuhnya tadi sudah tergeletak tak berdaya. Ada suara dalam kepala yang menyambutnya, "Selamat telah berhasil keluar dari (lautan memori) dan mengambil alih fisik Anda."

"Lautan memori? Ah, tidak, nanti dulu ... Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka berdua?" batin Sheilah bertanya.

"Anda mengalahkan mereka. Selamat, kini jiwa Anda aman," jawab si suara.

"Oh, begitu, tapi aku tidak ingat kapan mengalahkan mereka," ujar Sheilah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jadi mereka berdua mati?" tanyanya lagi.

"Tidak, keduanya masih hidup. Namun, mereka tidak bisa lagi menyerang dan menghabisi Anda," terang suara tadi menjawab pertanyaan-pertanyaan Sheilah.

"Engg ... meski ini kabar bagus, tetapi rasanya tetap tidak enak didengar. Ah, tanganku! Aku kehilangan satu tanganku disana," pekiknya. Ia segera menggerakkan kedua tangannya dan mendapati masih utuh tanpa ada yang hilang satu pun.

"Eh? Bukannya tanganku hilang? Tubuhku yang lain juga banyak yang hilang?" pikir Sheilah sambil terus melihat inci demi inci setiap badannya.

Suara dalam kepala Sheilah kembali berbicara, "Lapor! Dimensi tempat Anda saat ini mendeteksi anomali ruang dan mengajukan aturan menyusun ulang. Segala kehidupan di dimensi ini dianggap pelanggaran dan akan dihapuskan."

"Berarti aku akan mati jika terus-terusan berada disini?" tanya Sheilah.

"Apa Anda tidak pernah belajar? Anda selalu menanyakan hal yang sudah jelas," jawab si suara menohok otak Sheilah yang memang pas-pasan.

"Apa tidak ada cara keluar dari tempat ini?" tanya Sheilah kembali kepada si suara.

"Terdapat retakan dimensi yang rapuh, bisa dihancurkan dengan fisik Anda saat ini," jawab si suara.

Sheilah terkekeh saat mendengar suara ini yang selalu berbicara dan menjawab pertanyaan di dalam kepalanya. Setelah keluar dari dimensi ini, dia berjanji akan menanyakan segala hal kepada suara aneh ini. Ia pun bangkit berdiri dan bersiap menghancurkan retakan dimensi yang dimaksud. Namun perhatiannya teralihkan ke dua musuhnya yang tergeletak disini tak berdaya, tetapi masih hidup.

Setelah menimang-nimang sesaat, akhirnya Sheilah mendekati dua musuhnya ini dan berjongkok di depan mereka. "Ayo, kalian berdua keluarlah dari sini."

"Jangan bersikap naif! Dalam dunia yang diserang dan menyerang, mengasihani musuh adalah keputusan yang bodoh," desis Nomor Lima.

"Aku tahu. Tapi bukan disini tempat kalian mati. Ada sesuatu yang pantas dijaga seharga nyawa; kenangan kalian berdua. Dimensi ini mulai menyusun ulang dan akan menghapus keberadaan kalian, termasuk ingatan yang terhubung. Kalian mungkin mati sebagai musuhku; aku juga bisa mati sebagai lawan kalian, tetapi aku tidak membiarkan kalian menghilang seutuhnya dari mereka yang dicintai"

"Tidak masalah selepas ini kalian lanjut membunuhku, tetapi tolong biarkan kali ini aku ikut menjaga milik kalian yang berharga. Aku memang keras kepala, bodoh, lagi naif. Dan aku cukup berbangga dengan itu," ucap Sheilah.

"Haha ... ini sudah kelewat bodoh. Tapi kau benar, memori ini adalah harga lain dari jiwa. Tolong bawa kami keluar bersamamu," pinta Nomor Tiga.

Sheilah mengangguk setuju. Segera ia menggendong dua orang sekaligus, Nomor Lima dan Nomor Tiga. Dengan memusatkan seluruh kekuatan pada kakinya, Sheilah berlari kencang dan menerobos retakan dimensi yang rapuh. Cahaya menyilaukan mata menuntun mereka bertiga mendarat di dunia yang asli, lebih tepatnya di rooftop sekolah. Karena Sheilah tidak bisa mengimbangi kakinya saat mendarat, akhirnya ia pun jatuh terduduk di lantai. Waktu masih sama saat dia tiba di perpustakaan; jam sore ketika anak-anak sekolahan dan pekerja kantoran pulang menuju rumah mereka.

Nomor Lima terpaku memandangi langit. Ada riak-riak awan sore yang menghiasinya. "Indah sekali," ucapnya tanpa sadar.

"Sudah lama sekali kita tidak pulang, ya," celetuk Nomor Tiga.

Sheilah sedari tadi terlalu fokus untuk menyelamatkan diri hingga ia tidak menyadari bahwa Si Nomor Tiga ini ternyata adalah seorang laki-laki. Tidak ada topeng yang menutupi wajahnya. Sebagian wajahnya nampak terbakar hangus, dan separuhnya lagi mulai terurai menghilang.

"Ah, kau ... wajahmu ...," tunjuk Sheilah sambil terbata-bata.

Si Nomor Lima membuka topengnya. Seorang perempuan muda yang cantik dengan potongan rambut rapi sebahu tersenyum ke arah Sheilah. Manik matanya berwarna biru laut nampak berkilau indah.

"Aku ada permintaan kepadamu, Wahai Penerus Ras Emas," pinta si nomor lima sambil menunduk ke arah Sheilah.

Mendapat perlakuan seperti ini, serta merta Sheilah merasa canggung. "Ah, tidak. Tolong jangan menunduk seperti ini. Apa pun aku bantu selama aku mampu, karena kita ini manusia."

"Terima kasih atas kebaikan hatimu yang luas, Putri Ras Emas."

"Ah, tidak, tidak. Jangan panggil aku begitu, rasanya tidak enak didengar," tolak Sheilah dengan rasa canggung yang bertambah, "Cukup panggil aku Sheilah. Shei - lah ...," sambungnya.

"Baiklah, Sheilah," jawab Nomor Lima. Dia mendekati Nomor Tiga yang terbaring tak berdaya lalu memangkunya dan memeluknya erat.

"Perkenalkan, namaku Lin, dan laki-laki ini namanya Han. Aku ada permintaan. Tolong satukan kenanganku dengannya. Aku mencintainya. Aku tidak bisa hidup tanpanya," terangnya

Sheilah mengangguk dan berkata membalasnya, "Akan kulakukan."

"Terima kasih banyak, Sheilah," ucap Lin dengan berlinang air mata. Dia semakin erat memeluk Han. "Sekarang aku sudah siap. Silakan lahap kami berdua."

Mendengar pernyataan Lin, sekonyong-konyong Sheilah terbelalak. Ia pun bertanya balik dengan nada tidak percaya, "Hahh? Melahap?!"