"Om Farhan pasti baik-baik aja Raline, kamu jangan sedih," ucap Bian.
"Semoga aja, Bian," ucap Raline dengan suara lirih.
Beberapa menit kemudian, salah satu dokter dan perawat pun keluar dari ruangan itu, dengan tergesa Raline langsung menghampiri dokter.
"Anda keluarga pasien?" tanya dokter.
"Saya anaknya, Dok, bagaimana keadaan ayah saya?" tanya Raline.
"Pasien masih dalam masa kritis karena terjadi penyumbatan pembuluh darah di dalam otak, pasien harus segera dioperasi agar tidak membahayakan nyawanya, Anda bisa segera konsultasi dengan bagian administrasi untuk memahami bagaimana prosedurnya, operasi ini harus segera dilakukan agar nyawa ayah Anda tertolong." jawaban dokter membuat Raline terduduk lemas di lantai dengan berlinang air mata. Dunianya terasa runtuh seketika mendengar orang yang paling dia cintai berada di antara hidup dan mati.
Raline kembali teringat apa yang diucapkan oleh ayahnya tadi pagi saat dia akan pergi bekerja, apa ayahnya sudah memiliki firasat jika usianya sudah tidak lama lagi.
Tidak, tidak mungkin, bahkan Raline tidak sanggup untuk membayangkan jika hal itu sampai terjadi, apa yang akan Raline lakukan jika dia hidup tanpa ayahnya. Raline benar-benar tidak siap jika harus kehilangan sang ayah.
"Bangun Raline, ayah kamu pasti selamat," ucap Bian sambil membangunkan Raline yang masih duduk di lantai dengan berlinang air mata.
"Aku takut, Bian," ucap Raline.
"Sekarang kita ke bagian administrasi dulu," ucap Bian, lalu dia dan Raline segera pergi ke bagian administrasi.
"Maaf, pasien atas nama siapa, Nona?" tanya salah satu resepsionis saat Raline dan Bian menghampiri dia.
"Atas mama Farhan, beliau korban tabrak lari," jawab Bian.
"Kalian keluarga pasien?" tanya resepsionis.
"Kami anak beliau," jawab Bian.
"Tunggu sebentar," ucap resepsionis.
"Ini tagihan untuk penanganan hari ini, dan Anda harus membayar uang muka agar ayah Anda bisa segera dioperasi," ucap resepsionis.
"Berapa biayanya?" tanya Raline.
"Untuk biaya operasi, Anda harus menyiapkan uang seratus delapan puluh juta rupiah, dan akan ada biaya tambahan perawatan lainnya, namun Anda bisa membayar uang muka minimal sebesar tiga puluh persen," jawab resepsionis.
"Ap-apa? Seratus delapan puluh juta?" tanya Raline dengan tatapan hampa, dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.
"Apa tidak bisa jika pasien ditangani dulu? Ini menyangkut nyawa pasien!" ucap Bian dengan nada tinggi.
"Maaf, saya hanya menjalankan tugas sesuai prosedur rumah sakit," ucap resepsionis itu.
"Saya mohon tolong tangani dulu ayah saya, saya janji saya segera mencari uang untuk membayar semua pengobatan," ucap Raline memohon.
"Sekali lagi mohon maaf Nona, sebelum Anda membayar uang muka, kami belum bisa menangani ayah Anda," ucap resepsionis itu, namun ....
Braak
Bian memukul meja resepsionis dengan sangat kencang karena emosi yang sudah memuncak.
"Rumah sakit macam apa ini, kalian hanya mementingkan uang dari pada nyawa pasien!" ucap Bian dengan sengit.
"Saya hanya menjalankan tugas, saya juga ...."
"Tugas tugas, terus yang Anda katakan, kenapa kalian malah mempersulit pasien yang ...."
"Tian udah, jangan bikin keributan di sini," ucap Raline yang mencoba menenangkan Bian yang semakin tersulut emosi.
"Tapi, Raline ...."
"Kebanyakan rumah sakit memang punya prosedur seperti ini, Bian," ucap Raline lirih, lalu dia mengambil dompet dari dalam tasnya.
"Mbak, ini untuk pembayaran perawatan ayah saya hari ini, sisanya akan saya lunasi malam ini karena saya belum ada uang cash lagi, tapi saya mohon berikan perawatan yang terbaik untuk ayah saya," ucap Raline sambil memberikan uang kepada resepsionis itu.
"Baik, Nona." setelah itu Raline dan Bian pun pergi melihat keadaan Farhan yang saat ini sudah berada di ruang ICU.
Hati Raline semakin sakit saat melihat keadaan ayahnya yang terbaring dengan berbagai alat medis terpasang untuk menopang kehidupan ayahnya. Sedangkan Bian, hanya menunggu Raline sambil menatapnya dari kaca pintu ruang ICU, pria itu pun sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membantu Raline.
"Ayah!" ucap Raline sambil menggenggam telapak tangan ayahnya dengan berlinang air mata.
"Aku akan berusaha agar ayah bisa segera dioperasi, aku belum siap kehilangan ayah," ucap Raline.
"Ayah baik-baik di sini, aku pergi dulu," ucap Raline lalu dia mengecup kening ayahnya, setelah itu Niela pergi.
"Aku pasti bantu kamu Niela, gimana pun caranya," ucap Bian.
"Terima kasih, Bian," ucap Raline dengan tersenyum tipis.
"Sekarang kamu mau ke mana?" tanya Bian.
"Aku harus pulang dulu, aku harus mengabari ibu juga," jawab Raline.
"Oke, aku antar," ucap Bian.
"Gak usah, kamu pergi kerja aja sana, aku bisa pulang sendiri," ucap Raline.
"Gak apa-apa, lagian udah telat juga," ucap Bian sambil melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
"Maaf gara-gara aku, kamu jadi gak kerja," ucap Raline.
"Jangan minta maaf, emang seharusnya aku bantu sahabat aku 'kan," ucap Bian sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bian," ucap Raline.
"Sama-sama, ya udah kita pulang sekarang." Lalu Bian dan Raline pun pergi dari rumah sakit.
"Bian, bisa antar aku ke cafe dulu?" tanya Raline.
"Oke, kita ke sana," jawab Bian, lalu dia segera memacu motornya menuju cafe tempat Raline bekerja, Raline berharap jika Fandy, bosnya masih ada di sana, mungkin Fandy bisa membantu Raline.
Raline tidak masalah jika harus bekerja seumur hidup di cafe, agar ayahnya bisa segera dioperasi.
"Maaf, Raline, kalau uang segitu, saya belum bisa bantu, kamu juga tau, saya baru habis membangun cabang cafe ini, tapi saya hanya bisa membantu sedikit mengurangi beban kamu," ucap Fandy ketika Raline sudah mengatakan maksud dan tujuannya datang kembali ke cafe.
"Tapi, Pak ...."
"Terima aja Raline, ini gak akan masuk pinjaman, saya cuma mau bantu tapi maaf saya gak bisa bantu banyak," ucap Fandy seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Raline saat ini.
"Terima kasih banyak, Pak, ini cukup membantu saya," ucap Raline.
"Sama-sama, semoga ayah kamu lekas sembuh, kamu bisa cuti selama keadaan ayah kamu belum membaik," ucap Fandy.
"Iya Pak, sekali lagi terima kasih banyak," ucap Raline lalu dia keluar dari ruangan Fandy.
"Dapat gak uangnya?" tanya Bian.
"Pak Fandy belum bisa bantu pinjemin uang banyak, Bian, aku juga mengerti gimana keadaan dia, tapi dia kasih aku uang," jawab Raline.
"Setidaknya dia benar-benar mau membantu kamu," ucap Bian.
"Iya sekarang kita ke rumah, aku harus ambil semua tabungan aku," ucap Raline lalu dia dan Bian segera pergi ke rumah Raline.
Sesampainya di rumah, Raline langsung menuju kamar untuk mengambil buku tabungannya dan celengan kelinci miliknya, lalu ....