Chapter 4 - Apa?! Sayang?!

Malam hari itu Ji Soo sudah bersiap-siap untuk menghadiri perayaan yang berada di sebuah rumah makan yang terkenal di Desa Yang. Perayaan yang akan dihadiri oleh seluruh pedagang di Desa Yang, perayaan istimewa yang jarang terjadi di Desa kecil tersebut.

Ji Soo berada didalam kamar kecilnya dan sedang duduk pada tepi tempat tidur. Dia mendekap sebuah kaleng biscuit bekas dengan bentuknya yang bundar. Ji Soo baru saja merapikan beberapa uang kertas yang ia gulung rapi, lalu dimasukkan kedalam kaleng tersebut.

Ji Soo menghela napasnya dengan mimik wajah lelah, "Besok aku harus menyimpan semua uangku di bank. Tapi… jumlahnya masih terlalu sedikit. Hhh… apa mungkin aku bisa melanjutkan sekolahku?" pikirnya dengan sedih.

"Kau harus semangat, Ji Soo. Kau tidak boleh menyerah begitu saja. Ingat apa kata kakek dulu. Jika hidup tanpa ada perjuangan, maka sama saja kau sudah mati," ucap Ji Soo sambil mendekap kaleng tempat ia menyimpan uangnya.

Pikirannya kembali menerawang.

"Aneh sekali. Kenapa Bibi Ara bisa mengatakan jika aku pergi bersama dengan seorang pria? Siapa yang melihatku? Aku harus bertanya lagi pada Bibi," kata Ji Soo sambil mengangguk dan setuju dengan pendapatnya sendiri.

"Siapa pria itu? Astaga… bagaimana jika dia seorang penjahat dan selama ini memata-mataiku?" Ji Soo masih sibuk menerka, mencari jawaban atas semua pertanyaannya.

"Tapi untuk apa penjahat memata-mataiku? Aku ini seorang yang begitu miskin, tidak ada hal mewah apapun yang aku miliki!" kening Ji Soo kembali mengernyit saat dia kembali menemukan jawaban buntu.

"Sudahlah, aku bisa mencari tahu nanti. Bertanya pada Bibi Ara, siapa yang melihatku bersama dengan pria malam itu."

Ji Soo beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah lemari, sambil dia memasukkan uangnya.

"Jika besok pagi aku pergi ke bank. Ini artinya aku harus mengambil hari libur lagi untuk tidak berdagang."

"Astaga… kapan aku bisa menjadi kaya jika seperti ini! Ayolah, Ji Soo. Kau tidak boleh malas! " kata Ji Soo sambil dia menutup pintu lemari dengan hentakan keras.

Tepat ketika pintu lemari itu tertutup, dan Ji Soo melihat cermin oval besar yang memantulkan bayangan dirinya. Ji Soo melihat dirinya yang mengenakan sebuah dress berwarna abu-abu, dengan panjang selutut. Bagian roknya memiliki lipatan rampel yang rapi, dan pada bagian sisi lengannya ada pita besar berwarna abu-abu.

Rambut hitamnya yang bergelombang dan panjang, ia kuncir satu cukup tinggi. Riasan Ji Soo hanyalah bedak tipis, dengan lipstick berwarna merah muda yang pucat.

Kerah yang berbentuk V dengan bulatan kancing besar berwarna sama. Bentuk pakaian yang digunakan oleh Ji Soo terlalu tua untuk mengikuti trend saat itu. Tapi hanya pakaian itu saja yang bisa ia kenakan untuk menghadiri perayaan yang dibuat oleh Gim Ho Bin.

"Sudahlah, Ji Soo! Kenapa kau jadi pusing memikirkan penampilanmu, huh? Lagi pula pria itu bukan siapa-siapa bagimu. Jadi berhenti berpikir aneh," Ji Soo segera menjauh dari cermin, dan memilih untuk bergegas meninggalkan kamarnya.

Sebuah tas kecil berwarna hitam, dengan tali panjang yang mengait antara pundak Ji Soo. Didalam tas kecil itu hanya ada beberapa lembaran uang kertas dan ponsel miliknya. Saat Ji Soo berjalan, tas dengan gantungan bola, berbunyi gemirincing dengan jelas, dan senyum riang yang terpancar dari wajahnya.

Saat Ji Soo sudah berada di rak sepatu, dan saat dia melihat kedalam rak sepatu, justru perasaannya dibuat menjadi semakin sedih. Dia melihat sepasang sepatu dengan warna putih yang mulai pudar, sepasang sepatu itu biasanya dipakai oleh kakeknya.

"Hhh… aku belum merapikan barang kakek. Aku harus segera merapikan semua barangnya," terlihat raut wajah Ji Soo kembali bersedih.

Dengan tergesa-gesa, Ji Soo mengambil flat shoes berwarna hitam. Dia menutup rak sepatu dan mengalihkan pikirannya mengenai sosok kakeknya yang sudah tiada.

***

Rumah Makan Bong.

Restoran ternama itu adalah salah satu rumah makan terenak yang berada di Desa Yang. Tempat yang sering didatangi oleh penduduk Yang, untuk melepaskan penat mereka dari segala aktifitas yang sudah dilakukan dalam sehari.

Tempat itu tidak pernah berhenti sepi, dan selalu ramai pengunjung. Bukan hanya karena makanan dan minuman yang mereka sajikan terasa enak, tapi karena kedai itu luas dan bisa menampung banyak orang, pelayanan mereka juga sangat marah.

Dan Gim Ho Bin, pria itu pastinya mengocek banyak uang untuk mengadakan perayaan di restoran mewah yang hampir tidak mungkin bisa didatangi oleh seseorang seperti Ji Soo.

Hari ini Restoran Bulan tampak megah lain dari biasanya. Banyak hiasan bunga yang berada disudut ruangan. Banyak meja panjang dengan jajaran kursi yang jumlahnya sudah pasti lebih dari lima puluh kapasitas.

Belum lagi lampu gantung hias yang bahkan sangat besar, lampu kristas itu membuat Ji Soo mendongak dan terus menatap kearah atas untuk beberapa detik.

Ji Soo yang baru saja masuk ke dalam tempat tersebut, hanya bisa diam karena terpukau. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali, sambil terus mengamati keadaan sekelilingnya.

"Wah… jika aku makan di tempat seperti ini. Sepertinya separuh tabunganku akan habis," ucapnya dengan wajah yang masih takjub.

"Aku senang kau datang," ucap seorang pria dari balik punggung Ji Soo.

Sontak saja Ji Soo membalikkan tubuhnya, dan dia terkejut karena melihat sosok pria tampan yang sangat ia kenali.

"Ho Bin? Tidak… maksudku Pimpinan Gim," ucapnya buru-buru mengkoreksi.

"Aku senang kau memanggilku tidak begitu formal. Hal itu membuat kita berdua menjadi akrab, kan," ucap Ho Bin dengan senyuman manis, membuat Ji Soo menelan salivanya sendiri untuk menutupi rasa gugupnya.

"Uhmm… sepertinya aku tidak bisa melakukan itu. Maaf, Pimpinan Gim. Disini banyak orang yang menghormati kehadiranmu, aku hanya ingin tidak membuat perbedaan saja," kata Ji Soo berusaha menjelaskan.

"Ah… baiklah. Aku sangat mengerti, Ji Soo. Dan sudah lama sekali kita tidak bertemu. Maaf karena aku tidak datang pada pemakaman kakekmu. Aku hanya bisa mengirimkan karangan bunga, saat itu aku berada di luar negeri karena pekerjaan," Ho Bin menunjukkan kesedihannya.

"Mengenai itu, aku yang seharusnya berterimakasih karena ucapan belasungkawa yang kau kirim. Aku mengerti jika seseorang seperti kau sibuk," jawab Ji Soo dengan senyum simpul yang manis.

Untuk beberapa detik, Ho Bin hanya diam dan tidak berkata apapun. "Kau masih terlihat cantik, Ji Soo,"

"Kenapa dia memujiku seperti itu? Astaga, Ji Soo! Kendalikan emosimu, kau tidak boleh menunjukkan hal aneh dihadapannya," pikir Ji Soo, membuat senyuman yang terlalu tipis agar Ho Bin tidak perlu tahu, jika dia terlalu senang dengan pujian barusan.

"Terimakasih," kata Ji Soo menyeringai tanpa menunjukkan deretan giginya.

Gim Ho Bin baru saja ingin berkata, tapi ada seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua. Seorang wanita dengan pakaian berwarna merah yang mencolok mata. Blezer merah, celana merah, dan dalaman berwarna hitam.

Rambut lurus berwarna hitam legam, dan postur tubuhnya yang tinggi membuat Ji Soo merasa takjub melihat sosok wanita yang berada diantara mereka berdua.

"Sayang? Ternyata kau ada disini?" ucap wanita itu dan sudah memberikan pelukan erat pada Gim Ho Bin.

"Apa? Sayang?!" pikir Ji Soo bingung.