Chapter 3 - Ini Bukan Mimpi?

"HAHHH!!!"

Ji Soo baru saja terbangun dengan tubuh yang tiba-tiba menegap dan kedua mata yang membelalak. Dia Dia bahkan masih menahan napasnya untuk beberapa detik. Sepertinya untuk beberapa saat Ji Soo lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.

"Fuhhh…." Baru saja dia menghela napasnya dengan panjang dan mencoba mengingat kejadian yang baru saja menimpa dirinya.

Ji Soo memperhatikan sebuah ruangan yang sangat ia kenali. "Bukankah ini kamarku?" pikir Ji Soo dan terus mengamati kesekelilingnya.

"Kenapa aku bisa ada disini? Bukankah kemarin aku berada di…"

Ji Soo tidak melanjutkan perkataannya karena dia segera memerika pundak kanannya. Menekan pundaknya terlalu kuat hingga ia memekik kekasakitan.

"Achh… sakit!" pekiknya.

Ji Soo segera turun dari tempat tidurnya, dan berjalan kearah meja belajar yang diatasnya penuh dengan tumpukan buku pelajaran. Ada sebuah cermin kotak seukuran wajah, dan ia sandarkan pada sisi buku.

"Aku harus memastikannya," kata Ji Soo sambil dia menarik kerah dari kaos yang ia kenakan.

Pundak kanan Ji Soo sudah terbuka, dan dia semakin terkejut saat melihat pemandangan mengerikan.

"AArggh!!" Ji Soo berteriak sambil dia melangkah mundur.

Langkah kakinya membentur kursi, dan ia pun tersungkur di lantai. Ji Soo terjatuh di lantai sambil memegangi pundak kanannya.

"Jadi… jadi itu bukan mimpi?" pikirnya ketakutan dan masih memegangi pundak kanannya.

"Glek…"

Ji Soo menelan salivanya dengan perasaan takut, apa yang harus dia lakukan? Ada luka bekas gigitan yang besar dan masih terasa perih, bahkan lebam biru mulai terlihat disekitar lukanya.

Dia pun bangkit dari duduknya, dan mengambil cermin diatas meja. Memastikan penglihatannya dan cermin itu kembali diarahkan pada pundak kanannya. Hasilinya tetap sama, luka itu tetap ada dan tidak menghilang dari pundak kanannya.

Tangan Ji Soo bergetar saat dia masih memegangi cermin. Dia merasa takut dan mencoba mengingat kejadiam semalam. Dia memejamkan matanya, mencoba mengingat wajah dari sosok pria misterius yang mengunjunginya di hari yang terlalu sore dan sepi pengunjung.

"Ahh…! Kenapa… kenapa aku tidak bisa mengingat jelas wajahnya! Kenapa!!" Ucapnya dengan kesal dan semakin frustasi.

"Aneh sekali! Aku bisa mengingat kejadian aneh itu, tapi kenapa tidak dengan wajah pria itu! Kenapa!!! Siapa pria itu, kenapa dia menggigit pundakku. Apa aku baru saja bertemu hantu semalam?" pikiran Ji Soo semakin kalut.

"Ahh… luka ini terasa sakit. Eee… bagaimana caranya aku bisa kembali pulang ke rumah?"

"Hah!!!" Ji Soo mengingat sesuatu.

"Aku harus memastikan terlebih dulu!"

Ji Soo meletakkan ceminnya, dan dia segera mengambil hodie hitam besar untuk ia kenakan. Dia bergegas keluar dari dalam rumah, dan berniat untuk pergi ke tempat perdagangan ikan.

Sebuah sepeda milik kakeknya yang sangat tua, menjadi alat transportasi satu-satunya yang dimiliki oleh Ji Soo. Sepeda tua itu bahkan mengeluarkan bunyi aneh saat Ji Soo mulai mengayuh pedalnya.

Orang-orang sekitar mulai memperhatikan gerak gerik Ji Soo yang aneh di pagi hari. Tapi, Ji Soo tidak peduli jika banyak orang yang memperhatikannya dengan heran.

Ji Soo terus mengayuh sepedanya dengan kencang, meskipun jalan yang ia lalui tidaklah mulus, berbelok-belok dengan permukaan yang tak rata.

Seperti biasa pelabuhan tampak ramai di pagi hari tersebut, sudah banyak para penjual ikan dan pembeli yang berkerumun. Namun ada hal lain yang harus Ji Soo pastikan, dia bergerak kearah tempat yang biasa ia gunakan untuk berjualan.

Lagi-lagi Ji Soo harus dikejutkan dengan kondisi dagangannya yang terlalu rapi. Tidak ada bekas potongan ikan ataupun pisau iris yang tergeletak. Padahal kemarin dia tidak sempat merapikan karena bertemu dengan sosok pria misterius itu.

"Siapa yang merapikan tempatku?" tanya Ji Soo yang bingung.

Tumpukan kotak penyimpan es sudah tersusun rapi, dan Ji Soo tidak bisa mencari pentunjuk dengan apa yang terjadi dengannya.

"Disini kau rupanya, huh!" Ara baru saja muncul dengan sepasang mata yang galak.

"Bibi Ara?"

Ara kesal dan memukul Ji Soo dengan handuk kecil yang ia sematkan di lehernya. Dia membuat cambuk handuk dan mengarah pada bahu Ji Soo.

"Bibi! Kenapa kau memukulku?" Ji Soo berusaha menghindari pukulan handuk Ara, tapi wanita tua itu masih bersemangat untuk terus menyiksa Ji Soo.

"Kenapa kau masih bertanya! Apa yang kau lakukan semalam sampai-sampai kau datang sesiang ini! Untung saja aku sudah menyisakan bagianku untukmu, jika tidak apa yang akan kau jual dengan datang sesiang ini!" ucap Ara mulai menasihati.

"Aku bisa menjelaskan ini. Kemarin itu…"

"Kemarin apa! Aku datang pagi sekali dan melihat tempatmu sangat berantakan! Oh… Ji Soo, apa kau ini sungguh wanita? Kenapa kau tidak bisa merapikan tempat daganganmu sendiri," protes Ara sambil di memukul dadanya sendiri karena kesal dengan sikap Ji Soo.

"Aa… apa… jadi… Bibi yang merapikan semua barang daganganku?" tanya Ji Soo terbata-bata.

"Kau pikir ada orang lain yang akan merapikan barang daganganmu! Ah… sudahlah, sungguh lelah karena terus memarahimu. Apa kau ingin aku cepat mati, ya?" kata Ara kesal dan melewati Ji Soo yang segera membalikkan tubuhnya.

"Maafkan aku, Bibi," Ji Soo membungkuk hormat meskipun Ara tidak menoleh kearahnya.

"Lebih baik kau pulang saja. Hari ini pasar akan tutup lebih awal. Kau ingat dengan Pimpinan Gim, kan? Kau tidak lupa dengan apa yang aku katakan kemarin?" Ara memicingkan matanya, melihat sinis pada Ji Soo.

"Uhmm… mengenai apa, Bibi?" Ji Soo sungguh lupa dan tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataan Ara barusan.

"Kau ini! Ada perayaan nanti malam di Restoran terkenal Keluarga Bong," Ara mengambil sesuatu dari bawah meja, pisau iris daging yang besar dan tajam.

"Ya, aku ingat. Tapi… untuk apa aku datang?"

Ara segera meletakkan pisau iris kearah meja kayu, dia mengayunkan dengan kuat dan cepat, sehinga Ji Soo melihat ada bahaya yang ingin diperlihatkan oleh Ara.

"Kau masih ingin membantah? Setelah aku merapikan semua barang daganganmu?" ucap Ara dengan galak.

Ji Soo menjawab pertanyaan Ara dengan gelengan kepala yang lemah dan perlahan.

"Baguslah! Lebih baik kau pulang saja dan bersiap-siap untuk acara nanti malam," kata Ara sambil mengambil pisau daging yang tertancap pada talenan kayu yang besar.

Ji Soo sudah membalikkan tubuhnya sambil dia menggerutu, "Kenapa sih dia selalu galak!"

"Hey, Ji Soo!" Panggil Ara.

"Cih! Apa dia mendengar perkataanku barusan?" Ji Soo berdecak kesal.

Sebelum Ara kembali meluapkan emosinya, Ji Soo sudah membalikkan tubuhnya sambil memasang senyuman lebar.

"Ada apa, Bibi Ara?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku? Apa yang kau lakukan semalam?" tanya Ara, dengan mimik wajah serius.

"Aku… aku…" Ji Soo bingung harus berkata apa.

"Hey, aku tahu kau seorang gadis muda. Tapi jika kau berkencan dengan pria asing yang tidak kau kenal, itu sangat berbahaya untukmu," Ara kembali memberikan nasihat.

"Tunggu! Kenapa kau bisa berkata seperti itu?" tanya Ji Soo heran.

"Ada yang melihat kau bersama dengan seorang pria semalam," kata Ara yang lebih heran dengan pertanyaan Ji Soo barusan.