Dua Tahun Lalu.
Ji Soo tidak tahu berapa lama dia sudah menangis. Rasanya terlalu lama, hingga air mata itu kering dan menyisakan rasa perih pada pelupuk matanya.
Rumah duka yang tadinya ramai karena kunjungan beberapa kerabat, dengan cepat menjadi sepi dan hanya tersisa Ji Soo yang sedang duduk sambil memeluk sebuah pigura foto.
Foto seorang pria yang usianya sudah memasuki tujuh puluhan. Pria yang selama ini membesarkan Ji Soo, dan satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Hk... hk... hk... kakek... kenapa kau pergi meninggalkanku? Sungguh ... aku ingin ikut bersamamu saja. Aku sudah tidak memiliki siapapun. Bagaimana caranya agar aku mati?" ucapnya bersedih.
Namun Ji Soo tidak memiliki keberanian untuk mengakhiri hidupnya dengan usia yang masih terlalu muda. Dia baru saja lulus sekolah di usia delapan belas tahun, dan bukan berasal dari keluarga kaya raya.
Kakeknya yang bernama Oh Jae Pyo. Dia hanyalah seorang pedagang ikan yang sering berjualan di pasar. Ji Soo seringkali membantu kakeknya berjualan, tapi semenjak meninggalnya Oh Jae Pyo, dia harus bisa meneruskan usaha dagang dari milik kakeknya.
Hari sudah terlalu malam saat Ji Soo baru saja tiba di tepi pelabuhan. Tempat dimana dia akan membeli ikan segar yang akan dia jual pada pagi harinya.
Ji Soo sempat memeriksa ponselnya yang sudah banyak memiliki retakan. Dia baru saja membaca pesan dari seseorang yang terus mencarinya.
"Itu Ara!" ucap Ji Soo dan segera memasukkan ponselnya. Dia yakin Ara akan marah jika tahu Ji Soo baru saja membaca pesan darinya.
"Oi... Ji Soo!!" teriak seorang wanita yang usianya sekitar empat puluhan, dan dia bernama Ara.
"Bibi Ara!" seru Ji Soo, bergegas menghampiri Ara yang melambaikan tangannya di tengah kerumunan pedagang ikan.
"Hhh ... kenapa kau datang terlambat sekali? Aku tidak bisa menyisakan banyak bagian untukmu. Tapi ... setidaknya ini cukup untuk kau berjualan besok pagi," kata Ara sambil menunjuk ke arah bak hitam yang berisikan banyak ikan segar yang besar.
"Terimakasih, Bibi. Maaf karena sudah merepotkanmu. Tadi... aku menunggu pendaftaran untuk ujian masuk Universitas," kata Ji Soo sedikit menundukkan wajahnya, dia tahu jika Ara akan menampilkan mimik wajah tak suka.
"Ahh, kau masih bersikeras untuk melanjutkan sekolahmu? Apa kau lupa jika kau akan butuh uang banyak?" cibir Ara sambil dia mengambil ember besar yang ia letakkan di atas troli besar.
"Aku tahu, Bibi. Justru karena itu aku harus bekerja keras, aku yakin aku bisa mengumpulkan uang dan melanjutkan sekolah," Ji Soo mengeluarkan tali pengait dari tas hitam yang ia bawa sedari tadi.
Tali pengait itu ia kaitkan pada sisi bak penampung ikan, dan setelahnya dia bisa menyeret bak tersebut dengan mudah, sambil terus berbicara dengan Ara.
"Boleh aku memberikan saran padamu?"
"Apa, bibi?"
"Kenapa kau tidak menerima tawaran kerja dari Pimpinan Gim. Dia pria kaya raya, dan punya banyak uang. Bukankah dia pernah menyatakan perasaan suka padamu?" Goda Ara sambil terkekeh.
"Astaga, Bibi Ara? Kenapa kau masih membahas masalah yang sudah lama itu? Dia sudah memiliki kekasih dan lebih cantik dariku, bahkan yang aku dengar gadis itu berasal dari keluarga tersohor. Tidak sepertiku," kata Ji Soo sambil mendorong trolinya.
"Sayang sekali, seandainya saja kau menerimanya waktu itu. Dia orang yang baik, kau bisa hidup nyaman tanpa khawatir. Aku yakin arwah Oh Jae Pyo akan tenang jika melihat cucuknya tidak menderita," ucap Ara sambil mendorong terus trolinya.
"Bibi..!! Umur kami berdua terpaut jauh. Dia memang baik, tapi aku tidak mencintainya," tolak Ji Soo dengan segera.
"Kau hanya berbeda tujuh tahun darinya. Apalah artinya umur, yang terpenting kau bisa hidup tenang dan bahagia," Ara terus saja memberikan nasihat.
Tapi Ji Soo tetap bersikeras dengan pendapatnya, dia tidak ingin bergantung hidup dengan orang lain. Meskipun dia hanya penjual ikan kecil, tapi Ji Soo tidak akan tergugah begitu saja untuk menerima tawaran dari Gim Ho Bin.
Gim Ho Bin, pria berusia dua puluh lima tahun itu adalah seorang yang terkenal kaya raya, seseorang yang mendapatkan keberuntungan karena meneruskan bisnis keluarganya. Dia merupakan pimpinan dari semua perkumpulan pedagang untuk di desa kecil yang bernama Desa Yang.
Hari sudah mulai sore dan gelap dan aktifitas di pasar juga sudah terlihat sepi. Ji Soo mulai merapikan beberapa peralatannya, dan ia sendiri sudah tampak lelah.
"Wah… semua ikanmu habis terjual," kata Ara yang lebih dulu selesai merapikan barang dagangan.
"Ya, Bibi Ara. Untung saja besok aku libur," Ji Soo menyeka bulir keringat yang berada pada keningnya dengan handuk kecil putih yang ia sematkan pada lehernya.
"Baguslah. Oh ya, ada acara nanti malam. Kau harus datang. Pimpinan Gim mengundang semua para pedagang, sepertinya dia sudah memenangkan sesuatu dan melakukan perayaan yang besar," Ara terlihat bersemangat saat mengajak Ji Soo.
"Oh..??"
"Kenapa kau hanya berkata Oh, apa itu?" Ara mengernyit.
"Anak muda kau harus datang. Setidaknya hargai ajakannya, dia dan keluarganya sudah banyak berjasa pada desa ini. Ingat kau harus datang, atau aku tidak akan mau membantumu lagi," ancam Ara sambil berlalu.
Ji Soo tidak berani membantah Ara, dia hanya menatap punggung Ara yang perlahan menghilang begitu saja.
"Fuh… semoga situasinya tidak canggung nanti," gumam Ji Soo dengan pikiran yang mengingatkannya beberapa bulan lalu.
Tepatnya dua bulan sebelum Oh Jae Pyo meninggal dunia. Saat itu Ji Soo baru selesai membantu kakeknya, dan bersiap untuk pulang. Tapi Gim Ho Bin menariknya pada sisi jalan yang sepi, dan menyatakan perasaannya pada Ji Soo yang segera menolak pernyataan cinta.
"Hhh… kenapa aku terlalu percaya diri sih? Kekasihnya pasti lebih cantik," ucap Ji Soo kesal pada dirinya sendiri.
Saat itu Ji Soo sedang membungkuk karena merapikan barang dagangannya, dan saat dia menegakkan wajahnya dia terkejut karena ada seorang pria yang berdiri diam dan menatapnya dengan tatapan yang begitu lekat.
Ji Soo teperanjat dan hampir saja berteriak. "Oh… Tuan… kau sungguh mengejutkanku," ucap Ji Soo sambil mengelus dadanya.
Pria itu begitu tampan, dia memiliki sisi rahang yang tegas dan sorot mata yang tajam. Rambut hitam legam itu tampak indah berkilau saat diterpa cahaya senja sore hari. Sepasang mata hitam yang berkesan dingin dan tak ramah, membuat sosok tampannya menjadi berkesan misterius.
Pria yang tidak dikenal Ji Soo itu memiliki postur tubuh yang tinggi, bahkan Ji Soo harus sedikit mendongak untuk melihat wajahnya. Pria itu mengenakan balutan jas hitam, dan entah mengapa seperti ada aura berbahaya yang terpancar darinya.
"Ternyata kau ada disini?" kata pria tersebut dengan suara berat yang sangat khas.
"Maaf, apa yang kau bilang tadi?" Ji Soo merasa jika dia bisa saja salah mendengar.
"Uhmm… apa kau sedang mencari ikan? Sayang sekali, semua barang daganganku sudah habis, mungkin ada pedagang lain yang masih berjualan," Ji Soo memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tapi hal aneh terjadi saat dia sadar jika tidak ada siapapun selain dirinya saat itu. "Ke… kemana semua orang?" tanya Ji Soo heran dan bersamaan dia pun merasa takut.
Seketika Ji Soo melangkah mundur dengan ketakutan, dia menubruk beberapa barang tanpa sengaja, dan tangannya mulai mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membela diri.
Pria tampan yang ada dihadapannya tampak tidak takut dan terus saja mendekat ke arah Ji Soo.
"Mau apa kau?!" tanya Ji Soo dengan tangannya yang masih meraba sesuatu pada permukaan meja.
"Ah, ini dia!" pikir Ji Soo dan sudah menemukan sebilah pisau iris besar dan ia arahkan pada pria yang ada dihadapannya.
"Jangan berani mendekatiku!" kata Ji Soo mengancam.
Pria itu hanya terkekeh dan tidak takut dengan ancaman Ji Soo. Dia justru semakin mendekat dan Ji Soo sudah mengangkat tinggi pisau.
"Aku sudah memperingatkanmu! Kau akan menyesalinya!" Ji Soo sudah siap mengarahkan pisau itu pada pria asing yang tidak dikenal.
Tapi… anehnya, dia merasa tidak bisa menggerakkan semua angota tubuhnya. Pisau yang sudah berada dekat dengan wajah pria itu hanya diam saja. Tangan Ji Soo seperti dikendalikan sesuatu, hingga dia tidak bisa melukai sedikitpun pria tersebut.
"Sudah lama aku mencarimu," ucap pria itu sambil mengusap pipi Ji Soo.
"Akhirnya aku bisa menemukanmu, dan… kau masih seperti dulu," katanya dengan tatapan sudah berubah menjadi lembut.
"Ini belum waktunya. Ya… aku tahu, tapi aku tidak bisa menahan diri," Pria itu memegangi leher Ji Soo dan mengusapnya dengan perlahan.
Ji Soo membelalak, dia sungguh ketakutan dengan pria yang sudah menyentuhnya. "Apa yang ingin dia lakukan padaku?" pikir Ji Soo panik.
Pria itu menarik baju yang dikenakan Ji Soo, membuat pundak Ji Soo terbuka dan terlihat.
"Kau milikku! Selamanya kau milikku," katanya dengan tatapan yang seram.
"Apa maksudnya? Apa yang ingin dia lakukan padaku?" Ji Soo semakin ketakutan, tapi pria itu semakin mendekap ke arah pundaknya.
Pundak kanan Ji Soo menjadi sasaran empuk, sehingga pria itu sudah mengigit pundaknya dengan kuat. Rasa sakit yang begitu nyata, hingga Ji Soo ingin berteriak tapi suaranya hanya bisa tertahan di tenggorokan.
"Aargghh… apa maksudnya ini?! Si... siapa kau? Le... lepaskan aku! Ini sakit!" batin Ji Soo dengan kalut saat pria itu tidak melepaskan gigitannya.