Pierre sedang berdiri di depan pintu masuk klub miliknya ketika ia melihat Esmee yang datang bersama William. Begitu William memarkirkan motornya, Pierre segera masuk ke dalam klubnya.
Sementara itu, William menatap tajam ke arah Pierre yang tiba-tiba berjalan masuk ke dalam klubnya. William baru bisa mengalihkan perhatiannya dari pintu masuk klub ketika Esmee menepuk lengannya ketika hendak mengembalikan helmnya.
"Apa yang sedang kau perhatikan?" tanya Esmee.
William langsung menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memperhatikan apapun."
"Apa kau juga berpikir untuk bekerja di sini? Aku mungkin bisa bantu berbicara dengan Pierre," ujar Esmee.
William kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Uang dari gaji yang diberikan D'Amelie sudah cukup untukku."
"Kau sedang menyindirku?" sahut Esmee.
William melirik Esmee sambil menghela nafas panjang. "Apa kita harus membahasnya sekarang? Kau harus segera masuk kerja, kan? Jam berapa aku harus menjemputmu?"
"Sama seperti waktu ketika kita tidak sengaja bertemu di sini. Sekitar jam dua pagi," jawab Esmee.
"Baiklah. Aku akan menjemputmu nanti," ujar William.
"Kau yakin mau menjemputku?"
"Kau pikir aku akan membiarkanmu berjalan kaki seorang diri di pagi-pagi buta seperti itu?" William balik bertanya pada Esmee.
Esmee mengangkat bahunya. "Ya sudah kalau begitu. Aku masuk dulu. Terima kasih tumpangannya."
William menganggukkan kepalanya. Esmee tersenyum simpul pada William. Setelah itu ia berpaling dan berjalan masuk menuju klub milik Pierre. William tidak langsung beranjak pergi, ia memperhatikan Esmee sampai gadis itu masuk ke dalam klub. Begitu Esmee sudah masuk ke dalam klub, William segera pergi meninggalkan klub.
----
"Apa kalian berdua berkencan?" tanya Pierre begitu Esmee melangkah masuk ke dalam klub.
"Astaga. Kau mengagetkanku, Pierre," sahut Esmee.
"Tidak biasanya William mengantarmu. Apa kalian berdua berkencan?" Pierre kembali bertanya pada Esmee.
Esmee langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak. William hanya menawarkan diri untuk mengantarku."
"Apa itu bagian dari pekerjaannya?"
Esmee menggelengkan kepalanya. "Kenapa kau sepertinya sangat memperhatikan hal itu? Apa ada masalah kalau dia mengantarku?"
Pierre menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak. Tidak ada masalah dengan itu. Hanya saja—"
"Ada apa?" tanya Esmee.
Pierre menatap Esmee sembari menghela nafas panjang. "Sebaiknya kau tidak bersikap terlalu baik padanya. Kau baru saja mengenalnya. Dan dia itu bawahanmu."
"Aku juga baru mengenalmu. Dan kau atasanku. Apa aku juga harus menjaga jarak denganmu?" Esmee kembali menyahuti ucapan Pierre.
"Oke, baiklah. Aku tidak akan membahas soal kedekatanmu dengan William," sahut Pierre pasrah. Ucapannya berhasil diputar balik oleh Esmee hingga ia tidak tahu harus berkata apa lagi agar Esmee bisa menjaga jarak dengan William.
Esmee tertawa pelan ketika melihat ekspresi wajah Pierre. "Apa aku bisa bekerja sekarang?"
Pierre langsung menganggukkan kepalanya.
"Hubunganku dengan William tidak lebih seperti hubunganku denganmu. Kami hanya rekan kerja," ujar Esmee sebelum ia meninggalkan Pierre.
Pierre menanggapi ucapan Esmee dengan tersenyum simpul. "Sudah waktunya bekerja. Kau sudah tidak masuk selama dua hari. Dan sekarang saatnya kau bekerja keras."
"Yes, Boss." Esmee tersenyum lebar pada Pierre. Setelah itu ia segera berjalan menuju dapur klub tempatnya bekerja.
Pierre hanya bisa menghela nafas panjang sembari tertawa pelan ketika melihat Esmee berjalan menuju dapur. "Dia benar-benar gadis yang menarik. Aku harus memilikinya."
----
William meregangkan tubuhnya ketika alarm ponselnya berbunyi. Ia yang sedang membaca laporan tentang hotelnya di Manhattan kemudian segera mematikan alarm tersebut. Setelah itu, William merapikan meja yang ada di ruang TV dan segera berdiri dari tempat duduknya.
Charles yang menemani William di ruang TV mengerjap-ngerjapkan matanya ketika melihat William kembali mengenakan mantelnya. "Kau mau ke mana? Memangnya ini sudah pagi?"
"Aku harus menjemput Esmee di klub," jawab William sambil lalu.
Charles terdiam selama beberapa detik setelah ia mendengar jawaban yang diberikan William. Begitu otaknya berhasil memproses ucapan William, seketika Charles terlonjak dari tempat duduknya.
Rasa kantuk yang menggelayut di matanya mendadak hilang dan Charles segera berlari menyusul William ke pintu depan. Charles hendak mengkonfirmasi ulang ucapan William, akan tetapi William sudah lebih dulu pergi meninggalkan rumah mereka dengan menggunakan sepeda motornya.
"Aku tidak bermimpi ketika dia bilang mau menjemput Esmee, kan?" gumam Charles pada dirinya sendiri. Ia kemudian menepuk pipinya sendiri untuk memastikan ia sedang bermimpi atau tidak.
Setelah yakin bahwa kata-kata yang baru saja ia dengar dari mulut William bukanlah sebuah mimpi, Charles kembali menutup pintu rumahnya. Sambil berjalan masuk, Charles kembali berbicara pada dirinya sendiri. "Dia seperti bukan William yang ku kenal."
----
Esmee berdiri di depan pintu masuk klub sambil menunggu William datang menjemputnya. Ia merapatkan kedua tangan di depan dadanya untuk menghalau udara dingin yang terasa semakin menusuk.
"Kau menunggu siapa?" tanya Pierre yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
Esmee menoleh sekilas pada Pierre. "Aku menunggu William. Dia bilang, dia akan menjemputku."
"Kau yakin dia akan benar-benar menjemputmu? Ini sudah dini hari. Mungkin dia sudah tertidur sekarang," ujar Pierre.
Esmee memilih untuk tidak menanggapi ucapan Pierre dan lebih memilih untuk semakin merapatkan kedua tangan di depan dadanya.
"Biar aku saja yang mengantarmu pulang," lanjut Pierre. Ia kemudian kembali berjalan menuju pintu masuk klubnya. Belum sempat Pierre membuka pintu klubnya, tiba-tiba Esmee berbicara padanya.
"Tidak perlu, Pierre. William sudah datang," ujar Esmee. Senyum di wajah Esmee mengembang ketika ia melihat William sedang mengendarai sepeda motornya dan menuju ke arahnya.
Pierre terdiam di dekat pintu masuk klubnya. Ia menatap William yang semakin mendekat. Begitu William berhenti di dekat Esmee, Pierre mendengus pelan sembari masuk ke dalam klubnya.
William berdecak pelan ketika ia melihat Pierre masuk ke dalam klubnya dengan wajah masam. Ia kemudian segera memberikan helm yang ia bawa pada Esmee.
Esmee segera mengenakan helm tersebut. Ia lalu naik ke atas boncengan. "Ayo, cepat. Udaranya sudah semakin dingin."
Tanpa banyak berbasa-basi, William kembali mengendarai motornya dan pergi meninggalkan klub tempat Esmee bekerja paruh waktu. "Kau tidak menunggu lama, kan?"
"Tidak," jawab Esmee cepat.
"Kau bisa merapatkan tubuhmu kalau kau kedinginan," ujar William. Ia menyadari posisi duduk Esmee yang sedikit berjarak dengannya. Seakan Esmee memang sengaja membuat jarak agar tubuh mereka tidak bersentuhan.
"Tidak. Tidak apa-apa," sahut Esmee.
William tiba-tiba melepaskan salah satu tangannya dari stang motor. Ia lalu mengulurkan tangannya ke belakang dan menarik tangan Esmee ke depan. Hal itu membuat Esmee tertarik dan mau tak mau mendekat kepada William.
William kembali melakukan hal yang sama dengan tangan Esmee yang lain. Hingga akhirnya kedua tangan Esmee memegang tubuhnya. Wajah Esmee memerah ketika pipinya mengenai punggung William yang terasa hangat.
Suhu tubuh pria pada umumnya memang lebih panas daripada suhu tubuh wanita. Hal inilah yang membuat William kini seperti sebuah pemanas alami bagi Esmee yang sedikit kedinginan.
"Tetap seperti ini sampai kita tiba di restoran," ujar William.
Esmee mengangguk pelan di balik punggung William. Diam-diam ia menikmati kehangatan yang ia rasakan dari panas tubuh William. Dan tanpa sadar ia semakin merapatkan tubuhnya pada tubuh William.
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.