Chereads / When Love Knocks The Billionaire's Heart / Chapter 40 - Heavy Breath 4

Chapter 40 - Heavy Breath 4

William mengintip ke kamar Esmee dan melihatnya sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memegang sebuah map berwarna merah.

"Apa itu surat kepemilikan restoran ini? Apa akhirnya dia akan menyerah dan menjual tempat ini?" gumam William di dalam hatinya.

William tersenyum simpul ketika memikirkan bahwa Esmee mungkin akan segera menjual restorannya. Dengan begitu ia akan pergi dari Riquewihr dan segera kembali ke Manhattan.

Namun apa yang dipikirkan William mendadak hilang dari pikirannya ketika ia melihat Esmee menyeka matanya. Kening William berkerut. "Apa dia sedang menangis?"

Tidak lama kemudian, William melihat Esmee memeluk map berwarna merah yang sedang dia pegang. Esmee nampak tersedu-sedu sambil memeluk map tersebut.

"Tidak, William. Jangan berbuat apapun. Biarkan dia menangis dan akhirnya memutuskan untuk menjual restoran ini," ujar William pada dirinya sendiri.

William menggelengkan kepalanya dan akhirnya memutuskan untuk turun ke restoran. Ia duduk di salah satu bangku restoran sambil sesekali menatap ke arah tangga. William lalu kembali berbicara pada dirinya sendiri. "Esmee pasti bisa mengatasinya. Dia hanya akan menangis sebentar, lalu setelah itu dia akan ceria kembali. Kau tidak perlu khawatir dengannya."

William menghela nafas panjang lalu memilih untuk keluar meninggalkan restoran. Ia berjalan-jalan di sekitar restoran agar tidak terlalu memikirkan Esmee yang sedang menangis di kamarnya.

"Ah, sial! Kenapa aku terus memikirkannya?" gerutu William. Ia berhenti di tengah jalan menuju toko bahan makanan milik Anne. Ia berniat untuk membeli roti dari toko roti yang berada tidak jauh dari toko milik Anne.

William memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun baru beberapa langkah William berjalan, ia tiba-tiba berbalik dan berjalan kembali menuju restoran D'Amelie.

"Esmee!" teriak William ketika ia akhirnya tiba di restoran D'Amelie.

Esmee tidak menyahutinya. William akhirnya memutuskan untuk naik kembali ke kamar Esmee. Setibanya di kamar Esmee, William melihat Esmee masih duduk di tepi tempat tidurnya sambil memeluk map merahnya.

William menghela nafas panjang. Kali ini ia berjalan menghampiri Esmee dan ikut duduk di tepi tempat tidur. Esmee langsung menyeka wajahnya begitu William duduk di sampingnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya William.

Esmee menoleh pada William sambil memaksakan senyum di wajahnya. "Apa aku terlihat baik-baik saja?"

"Tidak," jawab William.

Esmee tertawa pelan. "Seharusnya aku tidak langsung mengajukan protes pada Anne. Sekarang aku yang menanggung akibatnya sendiri."

Esmee menghela nafas panjang. Ia kembali menatap map merah yang ada di tangannya. "Haruskah aku menjual restoran ini?"

"Ya! Kau harus menjual restoran ini secepatnya!" teriak William di dalam kepalanya.

"Kau bilang kau tidak akan melepaskan restoran ini sampai kapanpun," ucap William pada Esmee.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan? Sedikit lagi dia akan menjual restorannya," ucap suara yang ada di dalam kepala William.

Esmee terdiam sambil mengangkat bahunya. "Entahlah. Aku tidak punya cukup uang untuk membayar Anne. Ditambah aku harus mengeluarkan uang untuk memperbaiki lemari pendingin. Rasanya aku ingin menghilang."

William merangkul Esmee dan menepuk-nepuk bahunya. "Pasti ada jalan keluar yang lain."

Suara di dalam kepalanya semakin meneriaki William. "Bodoh, bodoh, bodoh. Kau sangat bodoh. Harusnya kau membujuknya untuk segera menjual restorannya."

"Anne pasti tidak akan mau mengizinkan aku untuk berhutang lagi di tokonya. Aku sudah merusak kepercayaannya. Bodohnya aku. Harusnya aku berpikir dua kali sebelum protes padanya." Esmee mengoceh tanpa mengalihkan perhatiannya pada William.

"Tenanglah, Esmee. Aku yakin kau pasti punya jalan keluarnya," ujar William.

"Aku tidak bisa mengandalkan orang lain untuk membantuku mengatasi kesulitan yang aku alami. Aku tidak punya siapapun," sahut Esmee.

"Kau bisa mengandalkanku," timpal William.

Kericuhan semakin terjadi di dalam kepala William. Seolah seseorang baru saja menjatuhkan bom nuklir tepat di atas kepalanya. Semuanya menjadi berantakan dan tidak karuan.

"Tentu saja, Esmee bisa mengandalkan pria yang merencanakan semua kekacauan ini. Lelucon macam apa ini?" ucap suara di dalam kepala William dengan sinis.

Esmee menatap William sembari tersenyum simpul. "Kenapa kau selalu ada di saat aku mengalami hal buruk seperti ini? Aku malu karena kau harus melihatku seperti ini."

"Jangan bertindak apa-apa, you fool!" teriak suara di dalam kepala William.

William menghela nafas panjang dan akhirnya suara-suara yang ada di dalam kepalanya menghilang. "Kau tidak perlu malu. Kalau kau mau, aku juga bisa merahasiakan ini dari yang lain."

Esmee menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Aku akan menghubungi Sven. Sepertinya dia kenal seseorang yang bisa memperbaiki kulkas tua seperti milikku. Semoga saja aku bisa mendapatkan diskon."

"Bagaimana dengan ganti rugi kepada Anne?" tanya William.

"Mungkin aku akan membicarakan hal ini pada Pierre. Aku akan meminta pinjaman darinya dan membayar pinjaman itu dengan memotong gajiku," jawab Esmee.

"Kau yakin mau melakukan itu?" William kembali bertanya pada Esmee.

Esmee mengangguk dengan yakin. "Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar yang aku miliki saat ini. Kau mengingatkanku bahwa aku tidak boleh menjual restoran ini sampai kapanpun."

William terbengong-bengong setelah mendengar apa yang dikatakan Esmee. Ia kemudian mencoba untuk tersenyum menanggapi ucapan Esmee.

"Baguslah kalau begitu," ujar William dengan senyum yang sedikit dipaksakan sambil melirik map merah yang sedang dipegang oleh Esmee.

Esmee menghela nafas panjang dan bangkit dari tempat tidurnya. Ia kemudian berjalan ke arah lemari kayu yang ada di kamarnya. Esmee memasukkan kembali map merah berisi dokumen kepemilikan restoran ke dalam lemarinya. Setelah itu Esmee kembali menghampiri William.

Suara di dalam kepala William kembali. "Lihat, semuanya karena kebodohanmu. Dia tidak jadi menjual restorannya."

"Apa kau lapar?" tanya Esmee pada William.

William terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Esmee dan balik bertanya pada Esmee. "Kau lapar?"

"Nafsu makanku hilang. Tapi aku perlu makan agar aku bisa melalui ini semua. Aku mungkin akan memanfaatkan sisa bahan yang ada di dapur untuk membuat makanan untukku," jawab Esmee.

William langsung berdiri dari tempat tidur Esmee. "Tidak. Makanan itu sudah tidak layak untuk dimakan. Jangan memaksakan dirimu dengan memakan makanan yang sudah tidak layak. Lebih baik aku membelikanmu makanan."

Tanpa menunggu persetujuan dari Esmee, William segera menarik tangan Esmee dan pergi meninggalkan kamarnya. Esmee terkejut dengan apa yang dilakukan William, akan tetapi ia tidak melawannya. Ia membiarkan William membawanya pergi dari restoran.

Setelah berjalan cukup jauh dari restoran D'Amelie, William menghentikan langkahnya dan mulai bertanya pada Esmee. "Apa makanan kesukaanmu?"

"Aku menyukai hampir semua makanan," jawab Esmee.

"Pasti ada makanan yang sangat kau sukai. Mungkin makanan yang biasa kau makan saat harimu sedang buruk seperti hari ini," sahut William.

Esmee bergumam sambil memikirkan makanan yang mungkin bisa memperbaiki moodnya. "Macaron dan secangkir kopi, mungkin."

"Baiklah. Kita akan makan macaron sambil menikmati kopi," ujar William.

Esmee tersenyum simpul pada William sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalau udara dingin karena ia tidak mengenakan jaketnya. Melihat Esmee yang nampak kedinginan, William segera melepaskan jaketnya.

"Tidak perlu protes," ucap William ketika memakaikan jaketnya pada Esmee.

Setelah memakaikan jaketnya pada Esmee, William merangkul Esmee dan mereka kembali berjalan bersama di jalanan batu desa Riquewihr.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. You could share your thought in the comment section and don't forget to give your support through votes and reviews. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.