Keesokan harinya di restoran D'Amelie, semua berjalan seperti sedia kala. Pengunjung masih banyak yang berdatangan meski suara berisik dari renovasi bangunan yang ada di sekitar restoran cukup mengganggu para pelanggan di restoran tersebut. Di sela-sela kesibukan restoran, Pierre kembali datang ke restoran tersebut.
Marie yang membukakan pintu restoran tersenyum lebar pada Pierre ketika pria itu melangkah masuk ke restoran. "Apa kau akan memasak makan siang untuk kami lagi?"
Pierre tersenyum menanggapi ucapan Marie. "Itu kalau bosmu tidak keberatan. Apa dia sudah sehat?"
"Dia sudah sibuk di dapur sejak tadi pagi. Aku penasaran darimana sumber kekuatannya itu. Setiap kali sakit, dia hanya perlu waktu satu hari untuk memulihkan dirinya," ujar Marie.
"Baguslah kalau dia sudah baik-baik saja," sahut Pierre.
"Kau pasti ingin menemuinya, kan?" tanya Marie.
Pierre menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu aku akan langsung menemuinya."
"Jangan lupa buatkan makan siang untuk kami," seru Marie ketika Pierre melangkah menuju dapur restoran D'Amelie.
Pierre menoleh pada Marie dan tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya. Setelah itu ia membuka pintu dapur dan segera masuk ke dalam.
----
"Psst. William," gumam Sven ketika ia melihat Pierre masuk ke dapur.
William yang sedang membersihkan bawang putih segera mengalihkan perhatiannya pada Sven. "Ada apa?"
"Sainganmu datang lagi," ujar Sven.
William mengerutkan keningnya. Ia kemudian menoleh ke belakangnya. Wajah William berubah masam ketika ia melihat Pierre berdiri di depan pintu dapur. Ia mendengus pelan lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada bawang putih yang sedang ia kupas.
"Apa yang mau dilakukan pria itu di sini?" tanya Sven.
"Sudahlah, biarkan saja. Esmee juga tidak bisa mengusirnya dari sini kalau orang itu sudah ada di sini," jawab William.
Sven kemudian menghela nafas panjang. "Setidaknya dia harus membuat makan siang yang lezat untuk kita semua."
William kembali menghentikan kegiatannya. Ia kemudian menatap Sven. "Kau seperti orang yang tidak punya pendirian, Sven. Kau tadi kesal dengan kedatangannya, sekarang kau malah berharap dia membuat makan siang untuk kita semua."
Sven langsung balas menatap William. "Aku harus mengakui kalau masakannya lezat."
William berdecak pelan dan kembali mengupas bawang putihnya. "Aku jadi tidak bisa mempercayaimu."
Sven tertawa pelan dan kembali menata makanan yang sudah dimasak oleh Esmee. "Tenang saja, aku tetap mendukungmu jika kau menjadi kekasih Esmee. Sepertinya kau pria yang tepat untuk Esmee."
"Jangan terburu-buru menilaiku. Kau baru mengenalku, Sven," sahut William.
"Setidaknya aku tahu kalau kau perhatian dengan Esmee. Itu yang dibutuhkan Esmee sekarang. Aku dan Marie sudah sibuk dengan keluarga kami. Sementara Esmee, tidak ada yang memperhatikannya. Terima kasih kau sudah menjaganya kemarin," ujar Sven.
"Aku tidak melakukan apapun," timpal William. Ia tetap melanjutkan kegiatannya mengupas bawang putih meskipun ucapan Sven sedikit banyak sudah mengganggu konsentrasinya.
----
Pierre menatap sebentar ke arah William dari tempatnya berdiri. Ia berdecak pelan lalu mengalihkan perhatiannya pada Esmee yang sedang membuat hidangan untuk pengunjung restoran. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku sudah baik-baik saja. Nanti malam aku akan kembali bekerja di klub," jawab Esmee.
Pierre terus memperhatikan wajah Esmee yang sedang serius mengaduk sup. "Aku dengar bangunan di sekitar restoran sudah mulai di renovasi?"
Esmee menganggukkan kepalanya. "Ya, mereka memulainya dua hari yang lalu. Aku sempat berkenalan dengan koordinatornya."
Pierre mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apa kau tahu siapa pemilik bangunan itu sekarang?"
"Tentu saja aku tahu. Mereka juga memintaku untuk menjual restoran ini. Tapi aku menolaknya. Aku pasti sudah membuat mereka kesal. Karena mereka sampai menaikkan harga sebanyak tiga kali dan aku tetap menolak menjual restoranku," terang Esmee.
Pierre tertawa pelan sambil melirik ke arah William. "Berarti kau mengetahui tentang keluarga Hunter? Aku dengar merekalah pemilik bangunan-bangunan itu sekarang. "
Esmee langsung menghentikan kegiatannya. Ia kemudian menoleh pada Pierre. "Perusahaan real estate yang memintaku untuk menjual tempat ini. Aku tidak tahu banyak tentang pemilik bangunan-bangunan itu. Lagipula kenapa kau membahas hal ini denganku? Aku tidak mau tahu tentang perusahaan itu. Aku sudah cukup kesulitan mengurus restoranku."
"Maafkan aku. Aku hanya penasaran. Semalam aku tidak sengaja melihat kepala keluarga Hunter makan di restoran yang bekerjasama denganku. Aku hanya berpikir apa yang dia lakukan di sekitar sini," ujar Pierre.
"Sudahlah, meskipun pemiliknya datang langsung padaku dan memohon agar aku menjual restoranku, aku tidak akan pernah menjualnya," sahut Esmee. Ia kemudian kembali mengaduk sup yang sedang ia masak.
Pierre berdecak pelan. Ia kembali menoleh ke arah William. Setelah itu ia kembali berbicara pada Esmee. "Biarkan aku membantumu lagi hari ini."
Esmee tertawa pelan menanggapi ucapan Pierre. Ia lalu menatap Pierre sebentar sambil tersenyum simpul. "Kau sudah tahu di mana lemari penyimpanannya, kan?"
Pierre menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar.
"Kalau begitu kau boleh ambil celemekmu," ujar Esmee.
Pierre tertawa riang sambil menepuk bahu Esmee. Setelah itu ia berjalan ke arah lemari penyimpanan dan segera mengambil celemek dari lemari tersebut. Selesai mengenakan celemeknya, Pierre segera bergabung bersama Esmee untuk memasak hidangan bagi para pelanggan restoran D'Amelie.
----
Jam istirahat restoran D'Amelie, semuanya berkumpul di dapur seperti biasanya. Esmee bersama Wiliam, Sven, Marie serta Pierre dan dua pekerja berkumpul di meja bundar yang ada di dapur. Kali ini William langsung mengambil posisi tempat duduk di sebelah Esmee.
William tidak peduli dengan Pierre yang melirik kesal ke arahnya karena ia mengambil tempat duduknya ketika ia sedang mengeluarkan hidangan makan siang yang sudah ia buat untuk penghuni restoran D'Amelie.
Pierre membuat Risotto sebagai hidangan utama mereka dan Apple strudel untuk hidangan penutup. Tidak banyak yang berbicara ketika sedang menikmati cita rasa Italia dan Jerman dalam masakan yang dibuat oleh Pierre. Semuanya nampak sangat menikmati makanan yang dibuat oleh Pierre.
"Kau ternyata hebat juga. Pantas Sven memuji masakanmu," ujar William pada Pierre yang membuka percakapan di meja makan.
"Aku banyak bepergian dan mempelajari teknik memasak," sahut Pierre.
"Wah, pantas saja. Masakanmu sangat luar biasa," timpal Marie.
"Aku punya klub di sekitar sini. Kalian boleh mampir kalau kalian mau," ujar Pierre.
Esmee tertawa pelan setelah mendengar apa yang dikatakan Pierre. Ia kemudian menatap Pierre. "Kami akan mampir kapan-kapan. Mungkin ketika perayaan hari jadi restoran ini."
"Itu ide yang bagus. Aku akan menyiapkan acaranya untuk kalian. Ngomong-ngomong, berapa umur restoran ini?" tanya Pierre.
Esmee bergumam sambil mengingat-ingat usia restoran milik keluarganya itu. "Kira-kira restoran ini sudah berdiri lebih dari lima puluh tahun. Aku generasi ketiga dari restoran ini."
"Wah, itu hebat sekali. Kau tidak boleh menyerah untuk mempertahankan restoran ini," ujar Pierre.
"Memang itu yang sedang aku lakukan sekarang," sahut Esmee.
Pierre kemudian melirik William. "Kau harus tahu kau berhadapan dengan siapa, Esmee. Pemilik perusahaan yang memintamu menjual tempat ini pasti juga tidak akan tinggal diam."
William menyadari tatapan aneh Pierre ketika menatapnya. Keduanya mendadak bertatap-tatapan dengan sangat intens. Sampai akhirnya Pierre menyeringai sambil mengambil gelas yang ada di hadapannya dan langsung meminum habis air putih yang ada di dalam gelas tersebut.
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.