Dua minggu sebelumnya.
Charles berjalan masuk ke dalam ruang kerja William dengan sangat tergesa-gesa. Ia baru saja mendapat telepon dari Dimitri, Kepala Pelayan di Manor milik keluarga Hunter. "William! Dimitri baru saja menghubungiku."
William segera mengangkat wajahnya dari laporan keuangan yang sedang ia baca. "Ada masalah apa?"
"Ayahmu," jawab Charles.
William menghela nafas panjang. "Ada apa dengan Pak Tua itu?"
"Pagi ini dia meminta Kuasa Hukum keluarga kalian untuk datang ke manor miliknya," terang Charles.
William mengerutkan keningnya. "Apa yang mau dia lakukan dengan menghubungi Kuasa hukumnya? Apa dia sudah mau mewariskan seluruh hartanya padaku?"
Charles menggelengkan kepalanya. "Dimitri bilang dia punya rencana lain."
William serta merta menegakkan tubuhnya. "Apa maksudnya dia punya rencana lain? Dia tidak mau menjadikanku sebagai pewarisnya?"
Charles hanya bisa mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu rencana yang dimaksud Dimitri. Dia tidak memberikan informasi dengan detail."
William segera menutup laporan keuangan jaringan hotel milik keluarganya yang berada di Manhattan. Ia melemparkan laporan itu ke meja kerjanya sambil mendengus pelan. "Aku akan menemuinya. Cepat siapkan semuanya."
"Maksudmu, kau akan kembali ke Paris?" tanya Charles.
William berdecak sambil menatap Charles. "Memangnya di mana lagi aku bisa menemuinya selain di Paris? Cepat!"
Charles menganggukkan kepalanya dan segera pergi meninggalkan ruang kerja William. Sambil berjalan keluar, ia menghubungi Pilot yang biasa menerbangkan jet pribadi milik William agar mempersiapkan penerbangan mereka ke Paris.
Begitu Charles meninggalkan ruang kerjanya, William menggebrak mejanya sambil merutuki ayahnya. "Sial! Apa yang sedang direncanakan orang tua itu? Aku tidak akan membiarkan apa yang menjadi hakku jatuh ke tangan orang lain."
Di saat William sedang kesal dengan informasi yang baru saja diberikan oleh Charles, ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya, William segera menjawab panggilan tersebut dengan sedikit ketus. "Siapa ini?"
Suara tawa genit seorang wanita langsung menyapa William. "Kau tidak melupakan janjimu padaku kan, Willy?"
William mengerutkan keningnya. "Siapa kau?"
"Baru satu hari aku meninggalkanmu dan kau sudah melupakanku," jawab wanita yang menghubungi William.
"Aku sedang tidak mood berurusan dengan wanita. Ada urusan lain yang harus aku urus. Jangan hubungi aku lagi," ucap William tajam. Ia kemudian segera mematikan sambungan telepon tersebut. Setelah itu, ia memblokir nomor wanita yang baru saja menghubunginya.
"Kenapa para wanita selalu muncul di saat yang tidak tepat?" gerutu William.
Pesawat telepon yang ada di meja William tiba-tiba berbunyi. Ia segera menekan tombol jawab dan Charles langsung berbicara padanya. "Kita berangkat satu jam lagi."
"Baiklah. Katakan pada Jake untuk menungguku di lobi. Aku akan kembali ke penthouse untuk mengambil pasporku," pinta William.
"Oke." Charles mematikan panggilan teleponnya dengan William.
William menghela nafas panjang dan segera bangkit berdiri dari kursinya. Ia lalu mengancingkan jasnya dan berjalan pergi meninggalkan ruang kerjanya.
----
Pukul 11 PM.
Pesawat jet yang membawa William akhirnya tiba di Paris. Begitu turun dari pesawatnya, William segera menuju mobil Rolls-Royce Phantom berwarna hitam yang sudah menunggunya.
"Selamat malam, Monsieur," sapa Supir yang membukakan pintu untuk William.
William mengangguk pelan dan segera masuk ke dalam mobil. Ia menghela nafas panjang dan langsung menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Begitu Charles masuk ke dalam mobilnya, Supir yang menjemput mereka segera menutup pintu mobil.
Supir itu lalu segera kembali ke mobil dan mereka pun pergi meninggalkan bandara tempat pesawat pribadi William mendarat. Selama perjalanan menuju manor milik keluarganya, William memperhatikan kelap-kelip lampu jalanan kota Paris sambil memikirkan apa yang sedang direncanakan oleh ayahnya. Ia tiba-tiba bertanya pada Supir yang menjemputnya.
"Hei! Apa Pak Tua itu punya wanita simpanan lain?" tanya William pada Supir yang menjemputnya.
Supir itu melirik William sebentar dari kaca spionnya. "Aku tidak tahu soal itu, Monsieur."
"Apa kau tidak pernah melihatnya bersama wanita?" William kembali bertanya.
"Tidak, Monsieur. Terakhir kali aku mengantarnya bersama seorang wanita sekitar enam bulan yang lalu. Setelah itu, aku tidak pernah melihatnya bersama wanita lagi," jawab Supir yang mengantar William.
Charles yang menyadari kekesalan pada raut wajah William. Selama ini William tidak pernah suka pulang ke Paris meskipun kota Paris adalah kota kelahirannya. Ia lebih suka tinggal di Manhattan dan mengurus jaringan hotel milik keluarganya yang ada di kota tersebut.
William akhirnya kembali terdiam sambil menatap jalanan yang dilewati mobilnya. Paris. Kota yang sering dikatakan sebagai kota penuh cinta. Namun bagi William, Paris adalah kota yang membuatnya sakit hati. Kota ini adalah saksi bisu dimana William ditinggalkan dua wanita yang sangat ia cintai.
----
Setelah perjalanan selama satu jam, William akhirnya tiba di manor milik keluarga Hunter. Kepala pelayan keluarganya sudah berdiri di depan manor tersebut dan langsung menyambut William.
"Kau terlihat lebih kurus, Monsieur," ujar Dimitri.
William hanya mendesah pelan menanggapi ucapan Dimitri. Ia kemudian segera bertanya padanya. "Apa Pak Tua itu sudah tidur?"
Dimitri menggelengkan kepalanya. "Dia masih ada di ruang kerjanya. Sepertinya dia memang sengaja menunggumu."
William mengerutkan keningnya.
Dimitri tertawa pelan. "Dia tahu semua yang kau lakukan. Termasuk kepulanganmu yang mendadak ini."
"Tentu saja dia tahu segalanya," sindir William. Ia kemudian melangkah masuk ke dalam manor milik keluarganya.
Sementara William masuk ke dalam manor milik keluarganya, Dimitri mengalihkan perhatiannya pada Charles yang sedang membawa barang-barang milik William. "Kau sudah memberitahunya soal surat wasiat itu?"
Charles menganggukkan kepalanya. "Dia tidak mungkin ada di sini kalau dia tidak tahu soal surat wasiat itu."
"Bagus kalau begitu," ujar Dimitri.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau memberitahuku soal itu? Apa Monsieur Alexander tidak akan marah padamu jika dia tahu kau membocorkan tentang wasiat itu padaku?" tanya Charles.
"Aku sudah mengurus William sejak dia kecil. Aku tahu semua yang dia lalui dan aku tidak ingin dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya lagi," jawab Dimitri.
"Sepertinya kau sangat menyayangi William," sahut Charles.
Dimitri tersenyum simpul menanggapi ucapan Charles. "Cepat masuk dan bawa barang-barang William ke kamarnya."
Charles menganggukkan kepalanya dan ia segera berjalan menyusul Dimitri yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam manor milik keluarga Hunter.
----
Alexander Philip Hunter, Ayah William, perlahan menegakkan kepalanya setelah ia mendengar bunyi pintu ruang kerjanya yang dibanting dengan cukup keras. Ia berdecak pelan ketika melihat William sudah berdiri di dalam ruang kerjanya dan sedang melangkah ke arahnya.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba pulang?" tanya Alexander.
William berjalan ke arah meja kerja ayahnya sambil menatap tajam ke arahnya. "Tidak perlu berbasa-basi. Kau pasti tahu kenapa aku ada di sini."
Alexander mengerutkan keningnya.
William berdiri di hadapan ayahnya dan melanjutkan kembali ucapannya. "Apa yang sedang kau rencanakan? Aku akui hubungan kita memang tidak baik. Tapi itu bukan alasan untuk menyingkirkanku sebagai pewaris keluarga Hunter."
Alexander langsung tertawa pelan setelah mendengar ucapan William. "Sejujurnya, aku bisa saja menyingkirkanmu sebagai pewaris keluarga Hunter. Tapi, karena kau sudah datang, aku rasa kita bisa membahasnya."
William sudah mengepalkan tangannya setelah mendengar ucapan ayahnya. Namun ia mencoba untuk tetap tenang dan menghela nafas panjang. "Baiklah. Sepertinya kita memang harus membicarakan soal itu."
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.