Charles menatap William yang sedang membuka laptopnya dan membaca rincian keuangan restoran D'Amelie. Wajah William terlihat sangat serius ketika sedang melihat pembukuan yang Esmee buat untuk restorannya itu.
"Apa ada sesuatu yang menarik?" tanya Charles.
William tidak menggubris pertanyaan yang diajukan Charles dan terus melihat pembukuan restoran D'Amelie. Charles akhirnya hanya bisa menghela nafas panjang dan duduk di sofa sambil menyalakan televisi.
"Jangan bilang, kau berpikir untuk menyelamatkan restoran itu setelah melihat pemiliknya yang cantik," sindir Charles.
Tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop, William melemparkan pulpen yang ada di dekatnya ke arah Charles. "Jaga ucapanmu."
Charles terkekeh mendengar ucapan William. "Lantas apa yang membuatmu tertarik melihat pembukuan restoran itu?"
William menyandarkan badannya pada sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. "Gadis ini sebenarnya cukup pintar. Tapi sayangnya, dia tidak pandai mengelola restorannya sendiri. Terutama masalah Pegawai. Ada beberapa mantan pegawainya yang pergi dan meninggalkan hutang padanya."
"Lantas, apa yang mau kau lakukan?" tanya Charles.
"Mungkin aku bisa sedikit memberinya pelajaran tentang bagaimana mengelola bisnis yang baik," jawab William.
Charles langsung menatap William dengan tatapan setengah tidak percaya. "Aku tidak salah dengar? Kau ingin mengajarinya mengelola bisnis? Kau lupa dengan tujuan awalmu ke tempat itu?"
William segera mengalihkan perhatiannya ke arah Charles. Ia menyunggingkan separuh senyumnya. "Aku belum menyelesaikan kalimatku."
"Apa lagi yang kau rencanakan?" Charles kembali bertanya pada William.
"Kita tidak bisa menjalankan rencana seperti hari ini terus menerus. Kita harus sedikit merubah strategi untuk menghancurkan restoran itu," jawab William.
"Lakukan saja apa yang sudah kau rencanakan sebelum kita berangkat ke sini. Itu akan menghemat waktu ketimbang membuat rencana baru," sahut Charles.
"Semakin banyak pelanggan yang datang, akan semakin banyak pula yang protes jika restoran tidak memberikan pelayanan yang baik. Itu akan membuatnya semakin kebingungan. Kalau hanya satu orang yang protes seperti hari ini, mereka bisa langsung menutup mulutnya dengan memberikan potongan harga," terang William.
Charles akhirnya mengerti apa yang direncakan oleh William. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Besok kau datang ke restoran. Ambil beberapa foto di dalam restoran dan berikan ulasan yang baik untuk restoran itu di situs-situs perjalanan," ujar William.
Charles menganggukkan kepalanya. "Itu mudah sekali."
"Jangan lupa, bayar beberapa orang untuk ikut memberikan ulasan sama sepertimu. Kita berikan sedikit nafas buatan untuk restoran itu sebelum akhirnya mereka benar-benar hancur dan menjual tempat itu dengan sukarela. Mengerti?"
"Aku mengerti," jawab Charles.
"Bagus kalau mengerti," sahut William. Ia kemudian menutup laptonya dan meregangkan tubuhnya. Setelah itu William berdiri dari tempat duduknya.
William kemudian kembali berbicara pada Charles. "Apa semua baik-baik saja di Manhattan?"
Charles menganggukkan kepalanya. "Elaine melakukan tugasnya dengan baik sejauh ini."
"Bagus kalau begitu." William sekali lagi meregangkan tubuhnya. Ia kemudian berjalan ke kamarnya sementara Charles masih berada di ruang keluarga sambil menghubungi seseorang.
----
Keesokan paginya, hari masih sedikit berkabut ketika William keluar dari tempat tinggal sementaranya di desa Riquewihr. Ia segera melangkah menuju restoran. William sengaja keluar lebih pagi agar ia bisa kembali berpapasan dengan Esmee yang baru saja pulang berbelanja kebutuhan untuk restoran.
William merapatkan jaketnya dan berjalan sambil bersedekap. Sepanjang jalan ia memperhatikan beberapa penduduk asli Riquewihr yang sudah memulai paginya. Mereka menyapa William yang lewat di depan mereka dengan tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya. Hal itu membuat William mau tak mau ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Sepertinya suasana hatimu sedang baik."
William segera menoleh ketika ia mendengar suara wanita yang berbicara di sebelahnya. "Sejak kapan kau ada di sebelahku?"
Esmee menatap William sambil tersenyum lebar. "Baru saja."
William berdecak pelan. Ia kemudian memperhatikan barang belanjaan milik Esmee. "Biar aku bawakan."
"Tidak perlu. Ini tidak terlalu berat. Aku hanya berbelanja sedikit bahan makanan," ujar Esmee.
"Wajahmu terlihat bengkak," ujar William.
"Jangan katakan itu secara langsung di depan wanita. Kau bisa membuatnya mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar," timpal Esmee yang langsung disusul oleh tawa ringan.
"Berarti kau akan mengurung diri setelah aku mengatakan bahwa wajahmu bengkak?" tanya William.
Esmee menatap William sebentar lalu mengalihkan perhatiannya lagi pada jalanan yang ada di depannya. "Bagaimana aku bisa mengurung diri kalau aku harus bekerja seharian di restoran? Biarkan saja wajahku membengkak. Lagipula tidak akan ada yang terlalu memperhatikannya."
William dan Esmee tiba-tiba terdiam. Mereka berjalan beriringan namun tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Esmee terus berjalan tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ia tidak menyadari ada seorang Pesepeda yang nampak kehilangan keseimbangan karena jalanan berbatu yang licin.
Pesepeda itu hampir menabrak Esmee, namun William sudah lebih dulu menarik Esmee ke dalam pelukannya sehingga Pesepeda itu tidak menabrak Esmee.
"Kenapa kau tidak memperhatikan langkahmu?" seru William setelah ia berhasil menyelamatkan Esmee dari Pesepeda yang hampir menabraknya.
Esmee terdiam dan nampak gugup. Ia benar-benar terkejut ketika William menariknya. Ia tidak menyadari ada Pesepeda yang hampir menabraknya.
"Maafkan aku," ujar Esmee.
William menyadari ekspresi Esmee yang nampak masih sangat terkejut. Ia memegang kedua Pundak Esmee dan menatapnya. "Hei, tenanglah. Tidak ada yang terjadi."
Esmee sedikit mendongakkan kepalanya dan menatap kedua mata William. Dengan cepat Esmee menghapus air mata yang hampir membanjiri wajahnya. Ia segera menundukkan kepalanya dan berbalik lalu melanjutkan langkahnya.
William segera menyusul Esmee. Ia merebut kantung belanja yang dibawa Esmee dan langsung membawanya. "Biar aku yang membawanya. Kau sepertinya sedang tidak baik-baik saja."
Esmee terdiam. Entah apa yang tadi ia pikirkan sampai ia tidak melihat Pesepeda yang hampir menabraknya. Untung saja William dengan sigap menariknya. Jika William tidak menariknya, mungkin ia akan terluka dan itu akan membuat keadaannya semakin sulit lagi jika ia sampai tidak bekerja.
"Terima kasih banyak, William," ujar Esmee.
"Apa kau terluka?" tanya William.
Esmee menggelengkan kepalanya. "Kau sudah menyelamatkanku."
"Kau baik-baik saja? Kelihatannya kau sangat terkejut tadi."
Esmee terdiam sebentar sebelum menyahuti ucapan William. Namun kemudian ia menoleh pada William dan tersenyum simpul sambil menganggukkan kepalanya. "Aku baik-baik saja."
"Sungguh?"
Esmee menganggukkan kepalanya. "Aku sudah baik-baik saja sekarang."
"Baguslah kalau begitu," sahut William.
"Bagaimana kalau aku mentraktirmu sarapan?" tanya Esmee.
"Daripada mentraktirku sarapan, bagaimana kalau kau yang membuatnya sendiri? Aku penasaran dengan masakan Juru Masak D'Amelie," ujar William.
Esmee memikirkannya sejenak permintaan William. "Baiklah. Kedengarannya itu bukan ide yang buruk."
William tertawa pelan melihat Esmee yang nampaknya sudah kembali ceria. Keduanya lalu kembali melanjutkan langkah mereka menuju restoran D'Amelie. Namun kali ini Esmee sibuk mengajak bicara William dengan melemparkan lelucon yang membuat kening William berkerut.
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.