"Aku pulang! Jangan lupa kunci pintumu, Esmee!" seru Marie sebelum ia pergi meninggalkan restoran setelah jam operasional restoran berakhir.
"Tenang saja. Kalian hati-hati di jalan," sahut Esmee pada Marie dan satu orang Pramusaji yang bekerja di restorannya.
Keduanya tersenyum simpul pada Esmee lalu mereka pergi meninggalkan restoran D'Amelie. Setelah keduanya pergi, Esmee kembali ke dapur untuk memeriksa apakah ia sudah mematikan semua kompor dan gas.
"Kenapa kau masih di sini?" tanya Esmee ketika ia melihat William masih berada di dapur.
William sedang terduduk di kursi kecil yang ada di dapur sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. "Sepertinya hari ini restoran sedikit lebih ramai daripada kemarin."
Esmee menghela nafas panjang sambil menganggukkan kepalanya. "Tadinya aku berpikir untuk menutup restoran lebih awal. Tapi menjelang makan malam, banyak orang yang datang."
Esmee kemudian menatap William. "Kau lelah?"
"Sedikit," jawab William.
"Beristirahat sebentar sebelum pulang. Kalau kau mau, kau boleh mengambil bir dingin yang ada di kulkas," ujar Esmee.
"Bukankah itu untuk dijual?"
"Aku akan memasukkannya ke dalam tagihanmu nanti. Semuanya akan aku hitung sebelum tanggal gajian. Kau akan membayarnya dengan gajimu nanti," jawab Esmee.
William tertawa pelan. "Baiklah kalau begitu. Aku rasa aku perlu sesuatu yang menyegarkan."
William lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari dapur. Esmee hanya tertawa pelan melihat William yang keluar dari dapur. Ia kemudian memeriksa kompor yang ada di dapur dan juga pintu belakang untuk memastikan tidak ada hewan pengerat yang menyelinap masuk ke dalam restoran.
Setelah memastikan semuanya, Esmee segera keluar dari dapur. Esmee langsung berjalan ke tangga untuk naik ke kamarnya yang ada di lantai atas.
William yang duduk seorang diri di dalam restoran hanya terdiam ketika melihat Esmee naik ke lantai atas. Ia lalu meneguk sebotol bir dingin yang baru saja ia ambil dan kembali terdiam sambil memperhatikan suasana di dalam restoran.
Ia merasa hidupnya berjalan sedikit melambat setelah dua hari tiba di Riquewihr. Tidak ada rapat dadakan, pertemuan dengan rekan bisnis, wanita-wanita yang menempel bagaikan semut padanya, serta tidak ada hingar bingar pesta seperti di Manhattan. Suasana tenang di Riquewihr membuat William sedikit merasa asing.
Di saat William sedang terdiam sambil menikmati sebotol bir, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia pun segera menjawabnya. William langsung menghela nafas panjang begitu ia mendengar suara ayahnya di seberang telepon.
"Aku baru dua hari berada di sini, dan kau sudah menghubungiku. Kau tidak pernah menghubungiku secepat ini Pak Tua," ujar William.
"Apa kau sudah membuat pemilik restoran itu menjual restorannya?" tanya Alexander.
William kembali menghela nafas panjang. "Begitu aku mendapatkannya aku pasti akan langsung menghubungimu."
William kemudian segera mematikan sambungan telponnya dengan ayahnya. Ia mendengus pelan dan kembali meneguk bir miliknya. Setelah bir miliknya habis, William segera berdiri dari tempat duduknya. Ia melangkah ke tangga.
"Esmee! Aku pulang!" teriak William dari dasar tangga.
"Ya! Hati-hati di jalan, William!" sahut Esmee dari atas.
William berdecak pelan dan segera melangkah meninggalkan restoran. Ia juga meninggalkan selembar uang pecahan lima euro dilaci kasir.
----
Tidak lama setelah William pergi meninggalkan restorannya, Esmee segera turun dari kamarnya dan pergi meninggalkan restorannya. Ia akan memulai kerja paruh waktu di sebuah klub yang ada di pusat Riquewihr.
Dengan terburu-buru, Esmee mengeluarkan sepedanya yang ia simpan di belakang restorannya. Setelah itu ia mengayuh sepeda tersebut untuk segera sampai di klub tersebut. Esmee tidak mau mengawali hari pertamanya dengan kesan yang buruk karena ia terlambat datang.
----
"Kelihatannya kau sangat sibuk, Willy," goda Charles begitu William sampai di rumah sementara mereka.
William menghela nafas panjang dan langsung menjatuhkan dirinya di sofa. "Apa kau tidak punya sesuatu untuk dimakan? Kenapa setiap kali aku datang kau hanya sedang menonton televisi? Aku tidak membayarmu untuk duduk di depan televisi seperti seorang Nyonya tua."
Charles tertawa mendengar apa yang dikatakan William dan langsung menanggapinya. "Kau seperti Pria tua yang sedang mengeluh kepada istrinya setelah seharian bekerja."
William langsung melirik ke arah Charles. "Aku janji, aku akan memotong gajimu setelah aku selesai melakukan tugasku di sini."
"Jangan lakukan itu," sahut Charles sambil mengerjap-ngerjapkanya matanya ke arah William. Ia juga menarik-narik lengan kemeja yang dikenakan William seperti seorang gadis yang sedang merajuk.
"Hentikan," sergah William.
"Aku tidak akan menghentikannya sampai kau berjanji tidak akan memotong gajiku," timpal Charles.
William menarik lengannya. Namun Charles kembali menariknya kembali. "Hentikan, Charl."
"Tidak," sahut Charles.
William berdecak pelan. "Bagaimana tugasmu tadi? apa kau sudah melakukan yang aku perintahkan?"
Charles seketika melepaskan lengan William. Ia kemudian beralih pada laptop yang ada di meja di hadapan mereka. Ia mengambil laptop tersebut dan memperlihatkan ulasan yang sudah ia buat bersama dengan orang-orang bayaran mereka.
"Lihat. Aku selalu melakukan tugasku dengan baik," ujar Charles bangga.
"Besok lakukan kembali seperti hari ini," pinta William.
"Tidak masalah. Aku juga dengan senang hati akan datang kembali ke restoran itu," timpal Charles.
William menatap Charles dengan tatapan penuh curiga. "Sepertinya aku melewatkan sesuatu."
Charles terkekeh. Matanya berbinar-binar sambil menatap William.
"Jangan menatapku dengan tatapan mesummu itu," ujar William.
"Siapa nama Pelayan wanita yang berambut keriting?" tanya Charles.
Kening William berkerut begitu ia mendengar pertanyaan Charles. "Maksudmu Marie?"
Wajah Charles seketika berbinar-binar. "Jadi namanya Marie?"
William mengangguk pelan. Ia terus memperhatikan raut wajah Charles yang berbinar-binar. "Kau menyukainya?"
Charles cengar-cengir pada William. "Kau sendiri? Apa tidak ada wanita yang menarik perhatianmu di restoran itu?"
"Aku terlalu sibuk mengupas dan memotong sayuran," sahut William. Ia berdecak pelan sembari bangkit berdiri dan segera berjalan ke arah kamarnya.
"Bukankah pemiliknya juga cantik? Kau bersamanya seharian di dapur? Kau tidak tertarik padanya?" teriak Charles sementara William menutup pintu kamarnya.
Charles tertawa pelan ketika William membanting pintu kamarnya dengan sangat kencang. Sementara itu, William mendesah pelan di balik pintu kamarnya. Ia segera melepaskan kemeja hitam yang ia kenakan dan melemparkannya ke keranjang yang ada di dekat pintu.
Setelah itu, William membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia meringkuk sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Rasa letih yang ia rasakan membuatnya tanpa sadar memejamkan matanya dan segera terlelap dalam tidurnya.
----
Esmee melihat jam di pergelangan tangannya setelah ia menyeka keringat yang membasahi keningnya. Pukul 02.00 AM. Pekerjaannya sebagai Asisten Juru masak di klub baru saja selesai. Ia segera merapikan barang-barangnya dan bersiap pergi meninggalkan klub tersebut.
"Kerja bagus, Esmee," ujar Pierre, Juru masak di klub tempat Esmee bekerja paruh waktu."
"Terima kasih, Pierre," sahut Esmee.
"Kapan-kapan aku mampir ke restoranmu."
"Tentu saja. Aku akan memasak hidangan spesial untukmu."
"Kalau begitu, sampai jumpa besok malam. Hati-hati di jalan."
Esmee menganggukkan kepalanya sembari tersenyum simpul. Ia kemudian berjalan ke pintu belakang dapur klub tersebut. Pierre tersenyum sambil menatap Esmee yang keluar lewat pintu belakang.
"Gadis yang sangat menarik," gumam Pierre.
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.