William membanting pintu rumahnya ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah. Charles yang sedang membuka laporan yang baru saja ia terima dari Elaine langsung terkesiap dan mengalihkan perhatiannya pada William.
"Slow down, Dude!" seru Charles.
William mendengus pelan sambil menatap Charles. Ia melewatinya begitu saja dan langsung masuk ke kamarnya. Charles mengernyitkan keningnya. "Tidak biasanya dia seperti itu? Apa karena sudah beberapa hari tidak berhubungan dengan wanita, dia jadi seperti itu?"
Charles kemudian berteriak pada William. "Kau mau mencari udara segar? Aku bisa menemanimu."
"Tidak perlu," sahut William dari dalam kamar.
"Kau ingin ditemani wanita?" Charles kembali berteriak pada William.
Kali ini William membuka pintu kamarnya. "Kalau aku mau, aku bisa mencarinya sendiri."
William kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya.
Charles melemparkan pulpen yang ada di tangannya ke arah pintu kamar William sambil mendengus pelan. Setelah itu ia kembali mengalihkan perhatiannya pada layar monitor laptopnya. Charles kembali membaca laporan yang dikirimkan Elaine terkait jaringan hotel milik keluarga William di Manhattan.
Tidak lama setelah William masuk ke kamarnya. Ia kembali keluar dan langsung menghampiri Charles. "Kau sedang membaca apa?"
"Elaine baru saja mengirimkan laporan," jawab Charles.
"Berikan padaku. Aku perlu sesuatu untuk dibaca," ujar William.
Charles segera memberikan laptopnya pada William. Seketika wajah William berubah serius begitu ia membaca laporan yang dikirimkan oleh Elaine, Manager hotel dari jaringan hotel milik keluarga William yang ada di Manhattan.
"Kau yakin tidak ada sesuatu yang terjadi?" tanya Charles sambil memperhatikan raut wajah William.
William mengganggukkan kepalanya.
"Tapi kau kelihatannya sedang kesal," timpal Charles.
"Tidak," sahut William tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop milik Charles.
"You sure?"
"Definitely."
Charles tidak percaya begitu saja pada jawaban yang diberikan William. Ia sudah mengenal William sejak mereka menempuh pendidikan di Universitas Columbia. Keduanya berteman baik setelah William bergabung dalam klub debat di universitas tersebut. Charles kembali memperhatikan William.
"Kau tidak terlihat baik-baik saja, Will. Kau lupa kita sudah berteman cukup lama. Aku cukup mengenalmu, William," ujar Charles.
William berdecak pelan. "Kau belum mengenalku sepenuhnya, Charl."
"Aku bahkan tahu ukuran celana dalammu, Willy," sahut Charles.
Perlahan William melirik Charles. Ia kemudian mendesis pelan. "Dasar pria mesum."
"Katakan saja. Apa yang menganggumu? Kau tahu, rahasiamu aman bersamaku," ujar Charles.
William menghela nafas panjang sambil menutup laptop milik Charles. "Kau membuatku tidak bisa berkonsentrasi."
Charles terkekeh. "Kau tidak ingin pergi ke klub? Ada banyak klub menarik di sekitar sini."
William bergumam sambil memikirkan tawaran yang diberikan Charles. Ia kemudian menoleh pada Charles dan tersenyum lebar. "Sepertinya itu bukan ide yang buruk."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi." Charles segera berdiri dari tempat duduknya. Ia melangkah ke kamarnya untuk mengambil mantelnya.
Begitu pula dengan William. Ia mengambil mantel dan juga syal miliknya. Sembari berjalan keluar dari kamarnya, William melilitkan syal berwarna coklat tua di lehernya. Selanjutnya ia dan Charles berjalan bersama keluar dari rumah tinggal mereka.
----
"Apa kau tidak lelah, Esmee?" tanya Pierre.
Esmee menggelengkan kepalanya. "Aku harus melakukannya. Dengan begini aku bisa mempertahankan restoranku."
Seperti biasanya, Esmee mengisi shift terakhir di klub dan membantu Pierre sebagai Asisten Juru Masak. Pierre memperhatikan Esmee. "Jangan memaksakan diri. Kalau kau lelah, kau bisa beristirahat."
Esmee mengalihkan perhatiannya dari potongan asparagus yang sedang ia bersihkan dan menatap Pierre. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
Pierre menganggukkan kepalanya. "Aku lihat beban kerjamu di dapur tadi sangat berat. Sekarang kau bekerja paruh waktu. Kau harus memperhatikan kesehatanmu."
Esmee menganggukkan kepalanya. "Aku akan mengingatnya."
Pierre kemudian menepuk bahu Esmee. "Kalau kau lelah, kau bisa langsung bilang padaku. Aku bisa memulangkanmu lebih awal."
"Tidak perlu. Lagipula kau juga tadi membantuku di restoran. Bantuanmu itu cukup membuat pekerjaanku sedikit lebih ringan," ujar Esmee.
Pierre berdecak pelan. "Itu bukan apa-apa. Kau memang wanita yang luar biasa."
Esmee tertawa pelan. "Apa itu pujian?"
"Kau wanita paling luar biasa yang pernah aku temui. Dan, ya. Itu pujian untukmu," jawab Pierre.
Esmee menoleh pada Pierre dan kembali tersenyum. "Kata-katamu itu membuatku semakin bersemangat."
Pierre sekali lagi menepuk bahu Esmee. "Kalau begitu, bekerjalah dengan baik. Masih banyak yang harus kita layani."
Esmee menganggukkan kepalanya. Ia kembali membersihkan potongan asparagus yang akan digunakan untuk bahan baku membuat sup. Sementara itu, Pierre sibuk memeriksa anak buahnya yang lain. Sesekali ia melirik Esmee sambil tersenyum simpul.
----
William meneguk cognac yang baru saja dituangkan bartender ke dalam gelas miliknya. Sambil menikmati minumannya, William memperhatikan suasana di dalam klub tempat dirinya berada saat ini. Charles mengatakan bahwa klub yang mereka datangi adalah klub tempat Esmee bekerja setelah restoran tutup.
"Tinggalkan saja botolnya," ujar William pada Bartender yang hendak membawa botol cognac yang baru saja ia tuangkan.
Bartender itu menganggukkan kepalanya. Ia pun meninggalkan sebotol cognac untuk William. Setelah itu ia melayani tamu-tamu yang lain. Beberapa wanita melirik William dan segera dibalas William dengan mengangkat gelas minumannya. Wanita-wanita itu tersenyum malu-malu sementara William kembali menikmati minumannya.
Salah satu dari wanita itu menghampiri William dan segera duduk di sebelahnya. "Apa kau tidak keberatan aku duduk di sini?"
William tersenyum. "Silahkan."
Wanita itu balas tersenyum, ia hendak mengambil botol cognac milik William sebelum tangan William menahannya. "Maaf, malam ini aku sedang tidak ingin berbagi minuman."
Wanita yang menghampiri William tersenyum kecut lalu pergi meninggalkan William. Charles yang sedang berbincang dengan beberapa orang di klub melihat apa yang baru saja dilakukan William sambil mengerutkan dahinya. Ia pun lantas segera menghampiri William.
"Kau baru saja menolak gadis itu?" tanya Charles setengah tidak percaya.
William mengangkat bahunya. "Aku sedang tidak ingin diganggu wanita."
Kening Charles berkerut semakin dalam. "Mengerikan."
"Lakukan saja apa yang mau kau lakukan. Aku hanya ingin minum di sini," ujar William.
"Jangan buat masalah," ujar Charles sebelum ia meninggalkan William.
William mengangguk pelan dan Charles pun kembali berbaur dengan pengunjung klub yang lain. Sementara William menikmati minumannya, ia terus melihat jam tangannya sambil menghela nafas panjang.
----
Esmee memijat lehernya setelah akhirnya semua pekerjaannya di dapur klub selesai. Pierre yang melihat Esmee sedang memijat lehernya langsung menghampirinya. Tanpa basa-basi, Pierre memijat bahu Esmee.
Esmee terkesiap dan refleks maju selangkah ketika tangan Pierre menyentuh bahunya. Ia kemudian berbalik dan menatap Pierre.
"Oh, maaf. Sepertinya aku membuatmu tidak nyaman. Aku hanya bermaksud membantumu," ujar Pierre.
Esmee tersenyum kikuk pada Pierre. "Sepertinya aku harus pulang sekarang."
Pierre menganggukkan kepalanya. "Hati-hati di jalan."
"Bye." Esmee kemudian segera berjalan menuju lokernya. Ia buru-buru mengeluarkan mantelnya setelah itu ia berjalan pergi meninggalkan dapur klub.
Pierre hanya bisa menghela nafas panjang ketika melihat Esmee berjalan terburu-buru meninggalkan dapur.
----
"Jadi kau juga bekerja di sini?"
Esmee terkesiap begitu mendengar suara seseorang yang berbicara dengannya ketika ia sedang mengambil sepedanya. Ia segera berbalik dan terkejut melihat William sudah berdiri di belakangnya. "William?"
Esmee menutupi seragam dapur yang ia kenakan dengan mantelnya ketika William menatapnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
William mengangkat bahunya. "Entahlah. Tadinya aku hanya ingin minum. Tapi, aku tidak mengira aku akan menemukanmu di sini. Kau juga bekerja di sini?"
Esmee menunduk sambil menggigit bibirnya. Ia tidak menyangka akan terpergok oleh William. "Aku—"
William menghela nafas panjang dan mendekati Esmee. Ia tidak banyak bicara dan hanya berdiri di hadapan Esmee sambil menatapnya. William tiba-tiba melepaskan syal yang ia kenakan dan mengenakannya pada Esmee. "Sebentar lagi musim dingin, kau harus menjaga kesehatanmu."
Esmee diam membeku setelah William memasangkan syal di lehernya. Ia bahkan tidak sanggup mengangkat kepalanya untuk menatap William. Ia baru bisa menatap William ketika pria itu berjalan menjauh darinya.
Esmee menatap punggung William yang menjauh darinya sambil memegang syal milik William. Setelah beberapa saat, ia kembali beralih pada sepedanya dan segera pergi meninggalkan klub.
****
Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.