Chapter 6 - Booby Trap 2

Esmee menghela nafas panjang setelah ia menutup restorannya lebih awal. Marie dan pekerjanya yang lain sudah ia perbolehkan untuk pulang. Kini, hanya tersisa dirinya di dalam restoran tersebut. Esmee duduk di tengah restorannya sambil memperhatikan suasana di dalam restorannya.

Sudut-sudut di dalam restorannya mengingatkannya pada kenangan masa kecilnya dan masa-masa remajanya yang banyak ia habiskan di restoran tersebut. Di saat remaja seumurannya sedang bermain atau berkumpul bersama-sama, Esmee lebih memilih untuk membantu ibunya di restoran. Ia sangat senang mempelajari resep masakan turun temurun yang disajikan di restoran tersebut.

Tanpa sadar Esmee terisak ketika ia mengingat semua kenangan itu. Ia kemudian menyeka air mata yang ada di sudut matanya dan segera berbalik menuju kamarnya. Hari ini ia berencana untuk mencari kerja paruh waktu untuk membantu menopang keuangannya.

Ketika Esmee berbalik, ia tidak sengaja menabrak William yang berdiri di belakangnya. Ia pun segera mendongakkan kepalanya dan menatap William. "Kau belum pulang?"

"Aku baru saja selesai membersihkan sisa-sisa makanan di dapur," jawab William.

Esmee menganggukkan kepalanya. "Aku pikir kau sudah pulang bersama yang lain."

"Aku hendak pulang ketika melihatmu duduk sendirian di sini," sahut William.

William kemudian memperhatikan mata Esmee yang kemerahan. "Kau habis mengupas bawang sampai matamu merah seperti itu?"

Esmee tertawa pelan menanggapi ucapan William. "Untuk apa aku mengupas bawang kalau ada kau yang bisa melakukannya. Pulang dan beristirahatlah selagi kita tutup lebih awal."

William menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu aku pulang."

Esmee mengangguk pelan dan William segera berjalan pergi meninggalkan restoran. Esmee menunggu sampai William benar-benar pergi sebelum ia melangkah ke tangga menuju tempat tinggalnya yang ada di atas restoran tersebut. Begitu William sudah menjauh, Esmee segera naik ke tempat tinggalnya.

----

Setelah beberapa langkah meninggalkan restoran, William kembali berbalik menuju restoran. Ia menyelinap ke belakang restoran dan masuk melalui pintu belakang yang tadi sengaja tidak ia kunci setelah ia membuang semua sisa makanan yang ada di dapur.

William mengintip ke bagian dalam restoran melalui jendela kecil yang biasa digunakan untuk mengambil catatan pesanan makanan. Ketika ia sedang mengintip ke dalam restoran, tiba-tiba saja terdengar suara langkah dari tangga yang ada di sisi sebelah kiri meja bar.

Sontak William segera menundukkan kepalanya. Begitu ia mendengar bunyi bel yang menggantung di atas pintu restoran, ia kembali menegakkan kepalanya. William melihat siluet Esmee yang pergi meninggalkan restoran.

"Akhirnya dia pergi. Sekarang aku bisa menyelidiki apa yang dia sembunyikan di tempat ini," ujar William.

William kemudian segera keluar dari dapur dan berjalan ke arah tangga menuju bagian atas restoran. Ia memandang sebentar ke arah tangga tersebut lalu naik ke atasnya. Begitu tiba di ujung tangga, William tertegun melihat ruangan yang ada di atas restoran tersebut.

"Jadi gadis itu juga tinggal di tempat ini?" gumam William.

Ia kemudian memperhatikan ruang atas restoran yang dijadikan sebagai tempat tinggal oleh Esmee. Sebuah tempat tidur dengan bingkai dari besi mengisi sudut ruangan tersebut. Satu set meja makan dengan dua buah kursi kayu berwarna putih, tempat untuk mencuci tangan, serta sebuah lemari kayu tua yang sudah terlihat lapuk dan sebuah rak buku yang terlihat sesak oleh buku-buku milik Esmee.

William berjalan mendekat ke meja kayu yang diapit oleh dua buah kursi. Di atas meja itu ada laptop milik Esmee, buku tulis serta beberapa selembaran berbahasa Perancis. William mengambil salah satu selembaran itu dan membacanya. Ia berdecak pelan ketika membaca selembaran yang ada di tangannya.

"Ternyata dia berusaha untuk bekerja sampingan. Kalau kau tidak keras kepala, kau tidak harus bersusah payah seperti ini," ujar William.

Ia lalu duduk di kursi yang ada di dekat meja tersebut dan menatap sebentar ke laptop milik Esmee. "Pasti ada sesuatu di sini."

William kemudian membuka laptop Esmee dan menyalakannya. Ia berdecak pelan ketika laptop itu memintanya untuk memasukkan kata sandi sebelum ia bisa mengoperasikannya. William mengetukkan jari telunjuknya sambil memikirkan kemungkinan kata sandi yang digunakan oleh Esmee.

Ia memperhatikan barang-barang yang ada di atas meja tersebut. Matanya kemudian tertuju pada bingkai foto yang ada di sebelah laptop milik Esmee. William mengambilnya dan menatap foto tersebut. Setelah itu, ia membaliknya dan membuka bagian belakang bingkai tersebut.

Mata William menyipit begitu ia melihat sebuah tanggal yang ada di balik foto tersebut. "Apa mungkin ini kata sandinya?"

William menghela nafas panjang lalu mulai memasukkan deretan angka yang ia lihat di balik foto milik Esmee untuk membuka sandi laptop milik Esmee. Wajahnya berbinar begitu kunci laptop Esmee terbuka. William buru-buru merapikan bingkai foto milik Esmee dan meletakkannya kembali ke sebelah laptop.

Setelah itu, ia membuka satu per satu file yang ada di dalam laptop milik Esmee untuk mencari informasi penting yang berkaitan dengan restoran D'Amelie yang mungkin belum ia ketahui.

----

Esmee merapatkan mantel yang ia kenakan ketika ia berjalan pulang dari café tempatnya melamar untuk bekerja paruh waktu. Udara dingin yang sedikit menusuk membuatnya terpaksa berjalan cepat menuju restorannya.

"Ini belum sampai di penghujung musim gugur tapi suhunya sudah sedingin ini," gumam Esmee sambil terus berjalan menuju restorannya.

Begitu ia tiba di depan restorannya, Esmee segera membuka pintu restorannya dan buru-buru masuk ke dalamnya. Ia lalu mengunci kembali restorannya dan berjalan cepat menuju bagian atas restorannya.

"Akhirnya aku bisa beristirahat." Esmee segera melepaskan mantelnya dan menyampirkannya pada gantungan yang ada di tembok. Setelah itu, ia segera ke tempat tidurnya dan membaringkan badannya.

Baru sebentar Esmee merebahkan dirinya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia pun segera menjawabnya. "Bonjour."

"Esmee, sepertinya besok kau tidak bisa mengambil bahan baku untuk restoranmu di tempatku," ujar Anne, wanita pemilik toko bahan makanan tempat Esmee biasa membeli bahan-bahan untuk restorannya.

Esmee langsung mengerutkan keningnya. "Ada apa, Anne? Kenapa kau tiba-tiba melarangku berbelanja di tokomu?"

"Maafkan aku, Esmee. Tapi setelah kuhitung, tunggakanmu di tokoku sudah cukup besar. Kau bisa kembali berbelanja di tokoku setelah kau melunasi semua tunggakanmu. Aku juga perlu uang untuk mengelola tokoku," jawab Anne.

Esmee menghela nafas panjang sambil memijat pangkal hidungnya. "Apa aku boleh mencicilnya? Aku akan membayarnya separuh terlebih dahulu. Asalkan aku bisa tetap membeli bahan baku untuk restoranku."

"Bagaimana dengan separuhnya lagi?" tanya Anne.

"Aku akan melunasinya secepatnya," jawab Esmee.

"Kalau begitu, aku beri kau kesempatan untuk melunasi sisanya sebelum tanggal tiga puluh. Dengan catatan pembelanjaanmu setelah ini harus kau bayar tunai."

Esmee kembali menghela nafas panjang. "Baiklah. Terima kasih sudah berbaik hati, Anne."

"Aku tunggu pembayaranmu."

Esmee segera meletakkan kembali ponselnya di meja nakas yang ada di sebelah tempat tidurnya. Setelah itu, ia kembali berdiri dari tempat tidurnya dan melangkah ke laptopnya. Esmee membuka laptopnya dan mengecek sisa uang yang ada di dalam tabungannya. Ia lalu mendesah pelan. "Ini uang simpananku yang terakhir."

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.