"CEPAT KATAKAN, KAMU SIAPA? DAN ADA HUBUNGAN APA ANTARA KAMU DENGAN JULIAN!!"
Tubuh Iris gemetar hebat, kedua tangannya reflek terangkat, mata Iris membulat sempurna dan menatap wajah Evan penuh ketakutan. Seketika itu juga tangan Evan gemetaran ketika netra-nya bertatapan dengan netra Iris.
"Julian? Apakah yang dimaksud itu adalah Julian kakakku? Lebih baik, aku tidak usah berkata apa-apa. Aku tidak mau memperkeruh suasana, lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja," ucap Iris di dalam hati.
Evan selalu teringat dengan Rhea setiap kali menatap netra Iris, hatinya seketika luluh dan tak tega untuk menyakiti Iris, wajah Rhea selalu terbayang saat ia melihat Iris. Seakan-akan Rhea masih hidup, namun di dalam raga yang berbeda. Yakni di dalam raga Iris.
Di dalam diri Evan ada semacam perasaan aneh yang selalu berperang setiap kali ia melihat Iris, namun yang pasti perasaan benci lah yang terlalu mendominasi hatinya. Apalagi saat ia melihat Iris yang sedang dikejar oleh anak buah Julian, rasanya ia ingin menembak mati semua orang yang mempunyai hubungan dengan Julian, tanpa terkecuali.
Peter yang sedari tadi hanya memperhatikan dari dalam mobil, kini mulai bertindak. Pria berdagu terbelah yang selalu berpikiran bijaksana itu selalu menjadi penengah saat Evan sedang berkonflik dengan siapa saja, dan untungnya Peter adalah orang yang netral, ia pasti akan membela, jika orang itu tidak melakukan kesalahan.
"Evan!! Apa yang kamu lakukan?! Rileks, Evan! Jangan seperti ini, bisa saja gadis ini hanya kebetulan saja menjadi sasaran kejahatan anak buah Julian, jangan terlalu gegabah." Peter mencoba menasehati sang pimpinan dengan menyingkirkan pistol Evan, namun Evan bergeming.
"Ayolah Evan, biarkan gadis ini pergi. lagi pula kita masih ada urusan yang lebih penting dari pada mengurusi gadis ini," ucap Peter seraya memegangi pistol Evan.
Evan kini berpaling menatap wajah teduh Peter lekat-lekat, pikirannya yang sempat kalut akhirnya bisa tersadar kembali. Evan menghembuskan napas kasar lalu ia memasukkan kembali pistolnya ke dalam kantong jasnya, dan Peter kini bisa bernapas lega.
Kedua tangan Evan kini bergerak mengukung tubuh Iris yang masih bersandar pada badan mobil. "Kali ini kamu beruntung karena ada Peter yang menolongmu, tapi lain kali aku pasti akan benar-benar menembak kepalamu jika aku tahu kamu ada hubungan dengan Julian. Pergi jauh-jauh dariku jika kamu masih ingin hidup."
Evan mencengkeram pergelangan tangan Iris lalu ia menarik gadis itu dengan kasar supaya menjauh dari mobilnya,
"Hey! Tidak bisakah kamu bersikap lembut kepada seorang perempuan?! Tadi kamu menodongku dengan pistol tanpa alasan yang jelas, dan sekarang kamu menarik tanganku dengan kasar. Dasar pria pemarah dan aneh," protes Iris dengan wajah yang ditekuk.
"Apa kamu bilang?!" Evan langsung menatap tajam ke arah Iris yang membuat gadis itu terlihat terkejut dan bergidik ngeri.
"Ti–tidak, aku tidak bilang apa-apa. Aku pergi dulu, ada urusan yang harus aku selesaikan. Hehehe," kekeh Iris sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu ia pun berjalan pergi meninggalkan Evan yang masih menatap Iris.
"Sudahlah Evan, kita juga harus pergi," ujar Peter seraya menepuk bahu Evan pelan.
Evan dan Peter kemudian masuk ke dalam mobil, seperti biasa Peter yang selalu mengemudikan mobil. Mobil pun berjalan melewati Iris yang sedang berjalan searah dengan mobil Evan, langkah kaki Iris terhenti sembari menatap mobil Evan yang bergerak semakin menjauhinya.
"Dasar pria jahat dan aneh! Pasti pacar atau siapapun wanita yang dekat denganmu sangat menderita karena sifat pemarahmu, dasar laki-laki berhati dingin dan kejam," gerutu Iris sambil mengepalkan tangan dan bergerak meninju ke udara.
"Tapi anehnya, meskipun pria selalu memperlakukanku dengan kasar. Kenapa jantungku selalu berdebar kencang setiap kali aku bertemu dan berada di dekat pria itu?"
Telapak tangan Iris bergerak memegang dada sebelah kirinya, seolah mencoba menenangkan degup jantung yang kini masih bergejolak. "Hei kamu pemilik jantungku, apa kamu bisa mendengar suaraku? Kenapa kamu selalu tidak tenang setiap kali berdekatan dengan pria itu? Apakah kamu ada hubungannya dengan pria kasar dan kejam itu? Aku harap tidak, karena aku sangat yakin, orang sebaik kamu yang mau mendonorkan jantung dan kornea mata untukku. Tidak akan akan pernah mempunyai hubungan dengan pria kasar yang bernama Evan tadi."
Iris menghela napas panjang dan menatap jalanan beraspal yang tadi dilalui mobil Evan dengan tatapan sayu dan sendu. Dan kaki Iris kembali melangkah pergi.
Awalnya ia ingin melihat parade di jalanan kota Roma, namun niatnya urung karena anak buah sang kakak mengejarnya hingga ia terpaksa menyusup ke dalam mobil Evan. Tak disangka, nasibnya begitu apes karena pria itu malah menodongnya dengan pistol.
Meskipun Iris adalah adik Julian yang notabene nya adalah pimpinan mafia yang kejam, namun ia berbeda. Sifat Iris yang lembut dan feminim sangat jauh berbeda jika disandingkan dengan sang kakak, dan Iris selalu diperlakukan bagai seorang putri di keluarganya.
Setelah berjalan kaki sekitar 1 km barulah Iris sampai di halte bus, tak menunggu lama. Gadis yang selalu memakai baju berwarna putih itu langsung masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti tepat di depannya.
"Maafkan aku kak Julian, hari ini aku mau puas-puasin untuk berjalan-jalan di kota. Semoga aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan si pria kasar, angkuh dan galak itu," ucap Iris penuh harap sambil membuka jendela kaca dan menghirup udara segar.
****
"Peter! Kenapa kamu tadi menghentikanku untuk menginterogasi gadis tadi?!"
"Aku menghentikanmu karena aku tidak ingin melihatmu melukai gadis yang tidak bersalah," jawab Peter sambil terus melihat ke jalanan.
"Evan, jangan terlalu dibutakan oleh perasaan benci dan dendam sehingga kamu melukai orang yang tidak bersalah. Aku akan selalu berada di pihakmu dan aku akan membantumu untuk membalaskan dendammu sampai benar-benar tuntas, tapi aku tidak ingin kamu menyakiti orang yang tidak bersalah. Hanya itu saja yang aku inginkan," imbuh Peter.
Evan menghembuskan napas kasar. "Entahlah, firasatku mengatakan bahwa gadis tadi memiliki hubungan dengan Julian. Dan kamu tahu betul kalau firasatku tidak pernah meleset," ucap Evan sambil terus memandang ke jendela.
Peter terdiam setelah mendengarkan perkataan Evan, kini ia hanya fokus menyetir dan melihat lurus ke depan.
35 menit kemudian ...
Mobil Evan kini sudah berada di depan sebuah rumah mewah yang dijaga oleh banyak pengawal yang dipersenjatai oleh pistol. Rumah mewah itu ternyata adalah rumah salah satu pimpinan kartel obat-obatan terlarang yang terkenal sangat kejam.
Para penjaga itu langsung bergerak mendekati mobil Evan dan langsung melakukan inspeksi tamu. Melihat kedatangan Evan, para penjaga langsung membiarkan kedua pria itu untuk masuk ke dalam, karena rupanya Evan telah diundang oleh sang pimpinan kartel obat-obatan terlarang.
"Evan, untuk apa kita datang kemari? Apa kamu sudah sangat depresi dan bosan hidup? " tanya Peter sembari menyetir mobil dengan kecepatan pelan
"Untuk bernegosiasi," jawab Evan enteng.
"Bernegosiasi?! Aku pikir kamu sudah tidak waras, bukankah kamu tahu sendiri lebih baik berbicara dengan singa dari pada harus bernegosiasi dengan Matteo," ucap Peter seraya menghela napas panjang.
"Kalau Matteo adalah singa, maka aku adalah nenek moyang singa."
"Dan aku hanyalah seekor anak harimau yang terjebak diantara kawanan singa beserta nenek moyang singa," timpal Peter pasrah.
Rumah pimpinan kartel Obat-obatan terlarang itu sangat luas, begitu memasuki pintu gerbang. Di sepanjang kanan dan kiri jalan terdapat pohon-pohon cemara yang tertata dan berjajar rapi, sehingga terlihat seperti sedang melewati hutan mini.
Rumah mewah yang terlihat teduh dan sangat nyaman itu berbanding terbalik dengan sang pemilik rumah yang terbilang sangat gahar.
Mobil yang dikemudikan Peter berhenti tepat di depan rumah mewah milik Matteo–kartel obat-obatan terlarang yang terkenal dengan kekejamannya, Matteo tak segan-segan menguliti, memutilasi targetnya atau pun anak buahnya yang berani membongkar rahasianya setelah ditangkap polisi.
Bukan hanya itu saja Matteo bahkan menyebar potongan tubuh korbannya di sepanjang jalan, dulu Evan dan Matteo adalah rekan bisnis. Namun karena permintaan Rhea, Evan meninggalkan bisnis obat-obatan terlarang dan lebih memilih untuk berbisnis yang lain.
Di Amerika, Evan mempunyai resor dan kasino di terbesar di Las Vegas, Amerika Serikat. Selain itu ia juga berbisnis properti dan juga memiliki banyak klub malam elit yang tersebar di berbagai negara termasuk Dubai.
"Kamu memang mencari mati, Evan," lirih Peter, namun Evan hanya menoleh ke arah Peter sambil tersenyum simpul.
"Selamat datang, Evan. Terima kasih sudah mau memenuhi undanganku untuk datang ke rumahku," sambut Matteo dengan kedua tangan yang terbuka lebar.
Matteo menyambut kedatangan Evan dengan sangat baik, lelaki berusia hampir 30 tahun tersebut mempersilahkan Evan masuk ke dalam rumahnya, namun ditolak oleh Evan yang lebih memilih duduk di teras luar yang menghadap ke sebuah taman yang rumputnya terlihat sangat hijau dan segar.
Hanya Evan dan Matteo yang duduk saling berhadapan, sedangkan Peter lebih memilih untuk berdiri sambil mengamati suasana dan berjaga-jaga. Karena berhadapan dengan kartel narkoba yang terkenal sangat kejam dan licik itu situasinya bisa sangat tidak terduga, bisa-bisa nyawa langsung melayang sia-sia kalau mereka lengah.
"Cepat katakan, apa tujuanmu mengundangku datang untuk datang ke sini?" tanya Evan langsung tanpa basa-basi.
"Rileks, Evan. Kenapa kamu terburu-buru? Bukankah kamu baru saja datang ke sini?! Kenapa kamu tidak menikmati segelas anggur dulu, baru kita berbicara ke inti masalahnya," ucap Matteo seraya memberi isyarat kepada pelayannya untuk mengambilkan sebotol anggur berharga fantastis dan menuangkannya ke dalam gelas wine yang hanya diperuntukkan untuk Evan dan Matteo.
"Bukankah kamu adalah tipe orang yang tidak suka membuang-buang waktu, Matteo?! Jadi, cepat katakan apa maumu," desak Evan dan menatap dingin ke arah Matteo.
"Aku hanya ingin menawarkan kerja sama yang bisa membuat kita saling untung," ucap Matteo.
"Kerja sama apa yang kamu maksud?" tanya Evan dengan muka datar tanpa ekspresi seperti tidak tertarik dengan tawaran dari Matteo.
"Kalau kamu ingin menawarkan kerja sama untuk berbisnis obat-obatan terlarang, aku tidak tertarik. Karena aku sudah lama meninggalkan bisnis itu," imbuh Evan, menolak tawaran Matteo begitu saja.
"Bukankah kamu ingin balas dendam kepada Julian karena telah membunuh calon istrimu? Aku bisa membantumu untuk membalaskan dendammu, dengan kekuasaan yang kita berdua miliki. Kita tidak akan terkalahkan, Evan."
"Imbalan apa yang kamu inginkan dariku?" tanya Evan seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang terbuat dari kayu.
"Kamu!"
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin kamu menikahi adikku perempuanku, dengan begitu kita akan mempunyai hubungan persaudaraan dan kita tidak akan pernah saling menaruh rasa curiga. Kita akan menjadi klan yang tidak akan pernah terkalahkan, Evan. Bagaimana? Apa kamu setuju?"
Evan terdiam sejenak, ia tampak sedang msnimbang-nimbang penawaran dari Matteo.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku sangat mencintai Rhea, dan aku tidak akan pernah bisa mencintai atau menikahi gadis lain selain Rhea," tolak Evan dengan tegas, wajah Matteo berubah merah padam karena mendapat penolakan dari Evan.
Matteo langsung mengeluarkan pistol dari dalam saku jasnya dan langsung menodong Evan, Peter juga bereaksi cepat dengan mengambil pistol dari saku jasnya dan menodongkannya ke arah Matteo untuk melindungi Evan.
Situasi berubah sangat tegang karena semua anak buah Matteo menodongkan pistol ke arah Evan dan Peter. Akan tetapi wajah Evan terlihat sangat tenang, ia tak merasa takut ataupun gentar sedikit pun.
"Berani-beraninya kamu menolak tawaranku, Evan! Pantang bagi Matteo untuk mendapat penolakan," ucap Matteo penuh kemarahan.
Evan tersenyum sinis. "Kalau kamu sudah tahu akan mendapatkan penolakan dariku, kenapa kamu masih berani menawarkan kerja sama kepadaku?! Cepat katakan kepadaku, apa maumu?"
To be continued.