Asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit, api dengan cepat melalap gudang senjata dan anggur yang sudah siap dikirim ke Amerika. Hanya dalam hitungan menit, heroin, senjata api dan gudang anggur yang nilainya sangat fantastis perlahan-lahan berubah menjadi abu.
"Bodoh kalian! Cepat padamkan apinya, jangan biarkan api merambat ke bangunan yang lainnya!" Julian berteriak memerintah anak buahnya dari atas balkon supaya anak buahnya bergerak cepat sambil sesekali meremas rambut ikalnya, sebagai pelampiasan amarahnya Julian juga memukul dinding kuat-kuat hingga bergetar sampai ia sendiri tak menyadari kalau tangannya kini sedang terluka dan sedikit berdarah.
Setengah berlari, Julian bergerak menuruni tangga menuju ke gudang miliknya yang masih terbakar dengan asap yang masih mengepul. Semua anak buahnya terlihat sangat sibuk bekerja sama untuk memadamkan api, sedangkan Julian bisanya hanya marah-marah dan memerintah saja tanpa mau ikut membantu anak buahnya.
"Cepat padamkan apinya, bodoh!! Sana! Sebelah sana!!" Julian menunjuk ke sisi gudang anggur yang ternyata apinya semakin membesar.
"Aakkkhh!! Berengsek kau, Evan! Aku pasti akan membunuhmu!" Julian berteriak kencang sambil menjambak rambutnya dan menatap nanar ke arah gudang-gudangnya dan juga ke arah kelima kontainer yang sudah hangus terbakar.
Beberapa jam kemudian ....
"Bagaimana? Apakah ada barang-barang yang sekiranya masih bisa diselamatkan?" tanya Julian penuh harap kepada anak buahnya yang baru saja selesai mengecek gudang setelah api benar-benar sudah padam.
Namun, pertanyaan dari Julian hanya ditanggapi gelengan kepala oleh anak buahnya yang membuat tubuhnya semakin terasa lemas.
"Tidak ada satu pun senjata atau pun barang yang selamat, semuanya sudah terbakar menjadi abu, Bos," lapor sang anak buah.
"Ya sudah kalau begitu, pergilah!" Julian mengusir anak buahnya, setelah anak buahnya benar-benar pergi Julian kembali duduk termenung menatap birunya air kolam renang.
Julian tak menyangka kalau Evan bisa membalasnya dengan sangat telak. Kerugian yang harus ditanggung Julian tak main-main, lebih dari 150 juta US dollar. Kepala pimpinan klan Zeus itu terasa sangat sakit hingga tidak mampu untuk berpikir jernih.
Felix–paman Julian langsung datang ke mansion keponakannya setelah mengetahui tentang insiden pengeboman yang dilakukan oleh Evan. Fellix berjalan menyusuri lorong panjang yang mengarah ke kolam renang, ia tahu betul spot favorit Julian saat berada di dalam mansion
Di tepi kolam renang berukuran luas itu, Julian terlihat duduk menyendiri. Julian tampak memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit dan berdenyut, Fellix menghela napas panjang, dengan berat hati ia harus memberitahu Julian tentang ancaman dari pimpinan klan Capone.
Rupanya, rumor tentang pengeboman 5 kontainer yang berisi obat-obatan terlarang dan senjata itu telah sampai ke telinga pimpinan klan Capone. Tapi ... bagaimana bisa kabar itu langsung tersebar? Padahal peristiwa itu baru saja terjadi, dan siapakah yang telah berani menyebarkan isu tersebut?
Evan! Evan lah menyuruh Peter untuk menyampaikan isu tersebut kepada pimpinan klan Capone untuk memperkeruh keadaan. Ini juga salah satu trik Evan untuk menghancurkan bisnis Julian, dan ternyata rencana Evan sukses besar untuk membuat musuh bebuyutannya itu kelabakan dan pusing tujuh keliling.
"Julian, ada kabar buruk untuk kita. Kita harus segera mengirimkan barang pengganti ke Amerika, atau pimpinan klan Capone akan berbalik menyerang kita karena barang yang mereka pesan tak kunjung tiba," ujar Felix yang tiba-tiba datang dan membuyarkan lamunan Julian.
"Kita harus mencari barang-barang pengganti itu kemana, Paman? Paman tahu sendiri 'kan kalau si berengsek Evan sudah menghancurkan semuanya?!" nada suara Julian meninggi, jelas sekali terdengar kalau ia sedang marah besar namun ia menahan diri untuk tidak berbicara kasar kepada Felix.
"Julian, Paman tahu kalau kamu sedang marah dan bingung. Tapi untuk saat ini, kita harus segera mencari barang-barang pengganti itu secepatnya. Atau kamu bisa membujuk pimpinan klan Camora untuk menjual persediaan heroin dan senjata mereka kepadamu, dengan begitu kamu bisa mendapatkan barang yang sama dengan jumlah yang sama pula," usul Fellix.
"Apa paman sedang bercanda?! Pimpinan klan Camora itu sangat licik! Dia pasti akan menjual dengan harga yang sangat tinggi kepadaku, kerugian yang aku tanggung pasti berlipat-lipat, Paman." Julian mendengkus kesal.
"Tenanglah, Julian! Paman pasti akan membantumu, yang terpenting sekarang temuilah pimpinan Camora dan mulailah bernegosiasi."
Untuk sejenak, Julian terlihat sedang berpikir kalau ucapan sang paman ada ternyata ada benarnya juga. Klan Capone terkenal sangat kejam dan tak kenal ampun, akan sangat berbahaya kalau ia sampai membuat marah pimpinan grup Capone.
"Baik, Paman. Julian mengerti maksud paman, besok aku akan coba untuk bernegosiasi dengan Alfonso. Jadi, paman handle dulu pimpinan klan Capone dan akan lebih bagus lagi kalau paman bisa mengulur waktu sedikit lebih lama," ucap Julian seraya memijat kepalanya dan menghembuskan napas dengan kasar.
****
Semilir angin lembut bercampur rintik hujan di sore hari membelai lembut wajah Evan, terasa sangat sejuk hingga membuat mata Evan sedikit terpejam. Evan tak menghiraukan kemejanya yang perlahan-lahan basah oleh guyuran hujan
Entah berapa juta kali Evan terus mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau raga Rhea telah sirna dari semesta, di atas tempat tidur gantung hammock yang tergantung diantara 2 pohon EK berukuran besar yang tumbuh di taman mansion Evan.
Di situlah biasanya Rhea dan Evan menghabiskan waktu berdua, bercanda dan tertawa. Namun, kini yang terdengar hanyalah racauan Evan yang sedang tertidur pulas dan memimpikan Rhea.
Peter berdiri terpaku di tempatnya dan menatap penuh kesedihan ke arah Evan, hatinya terasa sangat sakit melihat sahabat sekaligus pimpinannya itu masih sangat terpukul setelah kepergian Rhea.
Sebenarnya kedatangan Peter hanya ingin melapor tentang rencana Julian, tapi berhubung Evan sedang beristirahat, Peter akhirnya mengurungkan niatnya dan tidak ingin mengganggu Evan. Peter langsung berbalik arah, dan akan mencoba berbicara kepada Evan di malam hari.
"Apa ada yang ingin kau bicarakan denganku, Peter?" meski mata Evan masih terpejam, ia bisa merasakan kehadiran Peter yang diam-diam sedang mengawasinya dari jarak beberapa meter jauhnya.
Langkah Peter seketika terhenti, ia pun segera berbalik lalu berjalan menghampiri Evan yang kini kelopak matanya sudah terbuka sempurna, akan tetapi netranya sedang menerawang jauh ke langit yang masih berselimut awan hitam pekat
" Maafkan aku karena telah mengganggu tidurmu, aku hanya ingin melaporkan tentang Julian, dia–"
"Aku tahu! Julian pasti sedang mendekati pimpinan klan Camora, bukan?" seolah tahu apa yang Peter ingin sampaikan makanya Evan memotong perkataan sahabatnya dengan cepat.
Peter mengangguk pelan, membenarkan ucapan Evan. "Lalu ... apa yang akan kamu lakukan?"
"Tidak ada! Apa kamu pikir Alfonso mau menjual heroin dan senjata dengan harga murah kepada Julian?! Tidak! Alfonso pasti akan menjual barang-barangnya dengan harga 3x lipat, dan Julian pasti akan tercekik karena harus mengeluarkan dana yang sangat fantastis. Cepat atau lambat, keuangan keluarga Zeus pasti akan oleng dengan cepat."
"Jadi ... inilah alasannya kamu tidak langsung membunuh Julian dengan mudah? Karena kamu ingin menyiksa Julian pelan-pelan? Karena kamu ingin membuat bangkrut klan Zeus dan di saat Julian sudah tidak berdaya, kamu akan menyerangnya?" Peter mencoba menerka rencana yang sudah tergambar dengan jelas di otak Evan.
Wajah Evan terlihat datar tanpa ekspresi, namun pada akhirnya Evan menganggukkan kepalanya dan untuk pertama kalinya, Peter berhasil membaca pikiran Evan, karena sebelumnya ia tidak pernah berhasil membaca pikiran sang pimpinan.
"Lalu ... kapan kamu akan mengurus para bajingan yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Rhea?" tanya Peter cepat.
"Malam ini! Aku tidak ingin membuang waktu lagi untuk menghabisi para bajingan itu," ucap Evan. "Cepatlah beristirahat, Peter. Karena untuk beberapa waktu lamanya, kamu tidak akan pernah bisa tidur di malam hari. Sampai misi balas dendam untuk kematian Rhea benar-benar tuntas," imbuhnya lagi.
"Tidak masalah! Rhea sudah aku anggap sebagai saudariku, jadi sudah sewajarnya kalau aku bisa berpartisipasi dalam misi balas dendam ini," ucap Peter. "Evan, apa kamu sudah menemukan sebuah petunjuk yang kamu ambil dari ruangan dokter itu?" tanya Peter penasaran.
Evan tiba-tiba ingat, kalau ia sudah mengambil sampah kertas di ruangan dokter itu, untung saja Peter datang dan mengingatkannya. Kalau tidak, pasti ia akan membuang sampah itu yang kemungkinan besar ada petunjuk di dalamnya.
"Belum, ayo ikut aku," ajak Evan.
Peter mengangguk pelan dan mengikuti langkah Evan dari belakang, kini mereka sedang berjalan menuju ke ruang kerja Evan.
Evan langsung menyambar plastik sampah berisi kertas-kertas yang sudah diremas menjadi bola-bola kecil. Sampah itu lalu dituang ke atas meja, bahkan ada beberapa bola kertas yang langsung menggelinding dan jatuh ke bawah meja.
Namun jari jemari Peter dengan sigap mengambil bola-bola kertas yang menggelinding dan jatuh ke lantai, mereka pun mulai membuka satu per satu bola-bola kertas itu dan membaca tulisan yang sudah tidak berbentuk itu dengan teliti.
Tiba-tiba saja mata Peter terpaku kepada secarik kertas kucel yang dipegangnya, dahinya mengernyit, pria itu tampaknya sedang berpikir keras.
"Evan! Coba lihat ini," Peter menyodorkan kertas kucel yang sedari tadi dipegangnya kepada Evan.
Evan segera mengambil secarik kertas dari tangan Peter, dengan susah payah Evan mencoba membaca tulisan yang sudah hampir tak berbentuk itu.
"Apa ini? Penerima donor kornea mata dan jantung kepada pasien yang bernama Iris?! Lalu ... apanya yang aneh, Peter?" tanya Evan dengan dahi yang mengernyit
"Coba lihat tanggalnya baik-baik, Evan! Dan coba lihat ini," Peter kembali menyodorkan secarik kertas kepada Evan yang langsung disambar oleh pria bertubuh kekar itu.
"Di kertas itu tertulis kalau pada tanggal itu, belum ada satu pun pendonor yang cocok untuk Iris. Dan di hari itu juga, Iris tiba-tiba di operasi setelah mendapatkan donor kornea mata dan jantung dari orang yang tak dicantumkan identitasnya. Bukankah itu hari dimana Rhea dibunuh? Dan dokter itu juga terlibat, bukan? Evan, apa jangan-jangan ....?" Peter menggantung perkataannya dan mengarahkan Evan untuk berspekulasi tentang keterkaitan Iris, sang dokter dan juga kematian Rhea.
"Iris adalah penerima donor kornea dan jantung Rhea?!"
To be continued.