"Saat hatimu sedang patah, maka bersujudlah, luruhkan semua sakitmu pada Maha pembolak-balik hati manusia .... "
"Amaliya .... " teriak Oma dan Papa Amaliya berbarengan.
Eliza terperanjat melihat keributan ditengah keluarga sahabatnya.
"Liya, Oma melakukan ini demi kamu, Amaliya ...." ujar Oma dengan terisak.
Eliza pun menyusul Amaliya.
"Mihran, tunggu. Sayang, tolong dengerin a—"
"Jadi selama ini kamu bohongin aku? Kamu tahu sendiri kan, selama ini aku nggak pernah mau menerima bantuan apapun dari keluarga kamu! Pantas saja Papa kamu selalu aja ngeremehin aku. Ternyata ini penyebabnya!" hardik Mihran yang emosi. Ia pun langsung menghidupkan mobilnya.
"Mihran, Mihran, Sayang ...."
Amaliya yang berusaha mengetuk pintu jendela tetap tidak digubrisnya. Alhasil, Mihran langsung pergi.
Eliza pun mendekati Amaliya yang sudah berderai air mata. Saat berbalik, Amaliya pun melihat sahabatnya itu justru memohon bantuannya.
"Eliza, tolong aku, tolong kamu kejar Mihran. Kamu tahu kan, gimana Mihran? Tolong aku, El ...." Amaliya terus memohon, matanya pun sembab karena tidak berhenti menangis.
"Tapi, Liya .... " Eliza pun diambang keraguan.
Eliza akhirnya mengangguk. Ia bergegas berlari mengejar Mihran yang sedang keluar mobil untuk membuka pintu gerbang.
Pintu gerbang pun terbuka. Mihran kembali ke dalam mobilnya dan saat bersamaan, Eliza menghadang kepergian lelaki yang sangat dicintainya itu.
"Mihran .... " panggil Eliza yang berdiri di depan mobil agar Mihran segera keluar.
Mihran pun akhirnya keluar dari mobilnya.
"Mihran, aku mau ikut. Selama ini, setiap ada masalah, kamu selalu temanin aku, please, kali ini ijinin aku temanin kamu ya," bujuk Eliza. Mihran pun mengangguk dan memintanya segera masuk ke dalam mobil.
Mobil Mihran pun melaju kencang meninggalkan rumah mewahnya itu.
Amaliya hanya bisa menangis dan menyesali kebohongannya.
"Maafin aku, Mihran. Aku minta maaf .... " lirih Amaliya dalam tangisnya.
Beberapa saat Amaliya akhirnya sadar, jika Eliza membawa koper saat keluar tadi.
"Eliza bawa koper, mau ke mana? Apa karena dia mendengar pertengkaran keluargaku?" gumam Amaliya.
****
Tepi Pantai 22.30
Eliza dan Mihran duduk ditepi pantai. Eliza pun membuat api unggun, menemani sang sahabat yang sedang terpuruk akan masalahnya dengan Amaliya.
"Selama aku nikah sama Amaliya, aku tuh selalu dianggap remeh sama keluarganya.Terutama sama Papanya. Aku tuh dianggap nggak layak jadi suaminya karena aku berasal dari keluarga yang miskin," ungkap Mihran. Pandangannya lurus ke arah laut, mencoba menikmati segarnya angin laut.
Rumah Amaliya
Amaliya di dalam kamarnya sedang gelisah. Ia menanti kabar dari Mihran maupun Eliza.
"Duh, mudah-mudahan Eliza bisa menjelaskan sama Mihran. Kenapa nggak ada kabar ya sampai sekarang?" gumam Amaliya.
"Aku telepon Mihran aja deh." Amaliya pun mengambil gawainya dan memanggil nomor Mihran.
Lokasi Mihran dan Eliza
Mihran pun mengambil benda pipih miliknya yang tergeletak dipasir. Terlihat sebuah nama memanggil. Amaliya. Mihran yang masih kesal pun enggan merespon panggilan itu. Ia pun berusaha mematikan tetapi karena tidak fokus, ia justru mengangkat panggilan Amaliya itu.
"Nggak ada keluarga yang sempurna di dunia ini. Dan kamu tuh beruntung memiliki Amaliya. Dan menurut aku tuh, Amaliya nyaris sempurna."
"Aku pikir Amaliya itu tipikal istri yang menghormati suami tapi ternyata ... justru dia yang membuat suaminya tidak dihargai dikeluarganya."
"Mihran, nggak ada manusia yang luput dari kesalahan. Kita itu manusia. Kita itu tempatnya salah dan dosa. Begitupun Amaliya, begitupun kita. Jika kamu tidak bisa memaafkan kesalahan Amaliya sekarang, coba kamu bayangkan, gimana kalau suatu hari, Amaliya tahu, kesalahan yang kita lakukan itu jauh lebih besar, Mihran."
Mihran pun mengenggam tangan Eliza, "Kamu benar. Aku akan maafkan Amaliya. Tapi aku juga mohon sama kamu, lupain kejadian saat itu. Itu kesalahan kita sesaat dan kita harus mengubur kesalahan itu selamanya."
Eliza hanya bisa menangis. Cintanya memang tidak pernah berbalas. Air matanya pun luruh. Mihran menyeka air mata yang mengalir deras di wajah lembut sang sahabat.
[Sayang, Sayang ....]
Amaliya diujung telepon terus memanggil nama Mihran. Tetapi, Mihran tidak menyadari.
[Hallo, hallo, ini gimana sih?]
Akhirnya panggilan itupun terputus.
"Ini gimana sih?" gerutu Amaliya.
"Suaranya kok kresek-kresek. Ini sinyal aku atau sinyal Mihran sih?!" pikir Amaliya.
****
Amaliya masih saja gelisah menanti kabar dari Mihran dan Eliza yang tak kunjung pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 01.45.
"Mihran ke mana sih? Diteleponin nggak aktif lagi?" gerutu Amaliya.
Tidak lama, terdengar mobil Mihran memasuki rumah. Mihran pun langsung masuk dengan langkah gontai dan wajah yang masih kesal.
"Alhamdulillah. Sayang, akhirnya kamu pulang juga," ujar Amaliya memeluk erat Mihran. Mihran masih bersikap dingin.
"Aku tuh khawatir banget tau nggak? Aku minta maaf ya. Kamu udah maafin aku kan?!" ujar Amaliya memohon.
Mihran hanya melirik ke arah Eliza yang berdiri disampingnya, ia mengangguk ke arah Amaliya dan langsung bergegas masuk ke dalam kamar.
------
"Saat cinta itu sudah hilang tetapi kamu memilih bertahan untuk tetap berusaha mencintainya, maka itulah cinta sejati .... "
Mihran hanya melirik ke arah Eliza yang berdiri disampingnya, ia mengangguk ke arah Amaliya dan langsung bergegas masuk ke dalam kamar.
"Eliza, makasih ya, kamu udah buat Mihran mau pulang," kata Amaliya mengenggam tangan sahabatnya itu. Eliza pun mengangguk.
"El, tadi kamu mau pergi ya? Eliza, aku nggak mau kamu pergi. Aku mohon, kamu bantuin aku lagi biar Mihran kembali seperti biasa lagi sama aku. Kamu mau kan? Karena kamu sahabat Mihran yang paling ngertiin dia banget. Please, El,aku mohon .... " bujuk Amaliya.
Eliza pun mengangguk, "Iya."
Amaliya pun memeluk erat Eliza erat sebagai ucapan terima kasih.
****
Esok hari, di kantor Mihran
Mihran terpaku. Ia kembali mengingat perkataan Oma Siska saat membongkar rahasia yang tersimpan selama ini. Amaliya, wanita yang sangat dicintainya ternyata sudah membohonginya. Harga dirinya sebagai lelaki dan seorang suami sudah terinjak-injak.
"Sampai kapan Papa bisa menerima aku? Padahal segala cara telah kulakukan agar bisa berdamai dengannya?" gumam Mihran yang duduk dikursi meja kantornya.
Tiba-tiba gawainya berdering. Sebuah nama memanggil.
"Amaliya ...." lirih Mihran.
"Kamu semakin membuat aku diinjak-injak sama Papa kamu," gumam Mihran. Ia pun kembali meletakkan benda pipih itu dimeja.
Amaliya yang merasa bersalah karena telah membohongi suaminya, kembali terus dan terus menghubungi Mihran. Mihran tetap bergeming.
Rumah Amaliya
"Mihran nggak mau angkat telepon aku," ucap Amaliya yang sedang ngobrol santai di meja taman belakang rumahnya.
"Jangan mikir macam-macam dulu. Mungkin dia lagi meeting," ujar Eliza berusaha menenangkan sahabatnya itu.
"Nggak, El. Mihran pasti masih kesal banget sama aku. Dia itu walau lagi meeting, kalau aku telepon pasti diangkat. Please, kamu teleponin dia buat aku ya?" pinta Amaliya setengah memohon.
"Kamu tuh ada-ada aja. Kamu aja nggak diangkat, lebih-lebih aku ya nggak akan diangkatlah," ujar Eliza menghindari permintaan Amaliya.
"Siapa tahu kamu diangkat. Ayo, please, kamu bantuin aku ya?!" ujar Amaliya memaksa.
"Kamu telepon dia ya? Ayo, Ayo!" Amaliya terus saja mendesak. Membuat Eliza semakin serba salah.
"Aku mesti gimana? Amaliya maksa banget."
Amaliya yang terus mendesak membuat Eliza tak punya pilihan lain. Eliza pun bangkit dari tempat duduknya dan menghubungi nomor Mihran. Berharap jika Mihran tidak merespon panggilannya.
"Jangan sampai Mihran angkat teleponnya. Amaliya pasti akan curiga," gumam Eliza.
Kantor Mihran
"Eliza?" gumam Mihran saat melihat gawainya dan terlihat nama Eliza, bukan Amaliya yang memanggil.
[Eliza, hallo?!] jawab Mihran.
"Aduh, pakai diangkat lagi?!" gumam Eliza kesal.
[Hallo, El]
Sesaat Eliza terdiam, Mihran terus saja memanggil namanya.
[Hai, Mihran] jawab Eliza terbata.
"Tuh, kan. Dia pasti masih kesal sama aku. Telepon kamu diangkat, masak aku nggak?!" gerutu Amaliya sedih.
[Ada apa, El, kok telepon aku?] tanya Mihran heran.
"Jangan sampai Mihran ngomong macam-macam di sini. Takutnya Amaliya dengar," batin Eliza. Amaliya pun bangkit dari tempat duduknya mendekati Eliza.
"Kamu bilang sama dia, ajak ketemuan makan malam di restoran biasa kita kumpul, aku mau kasih dia kejutan," bisik Amaliya membuat Eliza panik.
"Kamu yang benar aja sih? Masak aku ngajak dia makan malam?!" gerutu Eliza.
"Ayo, dong! Kamu kan janji mau bantuin aku, please," ujar Amaliya yang kembali memohon.
[Hallo, Mihran, nanti malam bisa nggak makan malam di restoran Zhavier jam 7 malam, ada yang mau aku omongin?!]
Eliza pun terpaksa mengikuti kemauan Amaliya. Ia juga merasa bersalah karena telah mengkhianatinya.
Mihran pun melirik ke arah jam tangannya.
"Ayo, Mihran, tolak, tolak," batin Eliza.
[Ok, nanti kita ketemu jam 7 malam]
Telepon pun terputus.
"Gimana, El?" tanya Amaliya.
"Ok, dia mau," jawab Eliza yang berusaha tersenyum.
"Makasih ya, Eliza," ujar Amaliya memeluk sahabatnya itu erat.
Eliza pun memaksakan dirinya tersenyum.
"Nanti malam kamu bantuin aku ya buat acara surprisenya. Mihran pasti kaget, bukan kamu yang datang tapi aku," ujar Amaliya tertawa.
"Kenapa sih aku mesti terjebak terlalu dalam, ke dalam rumah tangga mereka?"
****
Restoran Zhavier pukul 19.00
Mihran pun memarkirkan kendaraannya di pelataran parkir Restoran Zhavier yang luas itu. Mihran pun bergegas masuk ke dalam restoran.
Di sudut lain, Eliza menunggu, ia bahagia sekaligus bersedih saat dua sahabatnya itu bisa kembali mesra dan berbaikan.
"Sebentar lagi mereka akan berbaikan dan kembali mesra. Sedangkan aku, hanya akan selalu jadi penonton kemesraan mereka. Kok, aku jadi sedih?!" gumam Eliza.
"Harusnya aku nggak boleh sedih. Aku harusnya bahagia buat mereka. Karena mereka berdua adalah sahabatku."
Mihran kini berhenti sejenak di depan pintu restoran. Hatinya bergetar hebat kembali mengingat perkataan Eliza saat bicara berdua ditepi pantai malam itu.
"Nggak seharusnya aku datang ke sini dan dinner sama Eliza. Aku ini kan suaminya Amaliya. Aku harus kembali ke dia," gumam Mihran. Ia pun memutar arah dan kembali masuk ke dalam mobilnya.
"Mihran pergi? Dia kan tahunya aku yang undang dia. Tetap saja, aku hanya akan jadi orang luar," gumam Eliza.
****
Amaliya terduduk disebuah meja di sudut restoran Zhavier itu. Ia masih setia menunggu Mihran. Hatinya cemas karena Mihran tak juga kunjung hadir. Sesekali ia melihat ke arah jam pemberian Mihran yang dipakai ditangan kanannya.
Eliza pun masuk, menghampiri Amaliya yang masih setia menunggu Mihran. Ia tidak tahu jika Mihran sempat datang tetapi kembali pulang.
"Mihran nggak muncul. Percuma deh aku nyiapin dinner surprise kayak gini.Mihran pasti masih kesal banget sama aku, makanya dia nggak mau ketemu sama aku, " ucap Amaliya lirih.
"Li, kamu lupa? Kan yang ngajakin Mihran ke sini kan aku? Jadi kalau dia nggak jadi datang bukan karena dia nggak mau ketemu sama kamu tetapi dia nggak mau ketemu sama aku?!" ucap Eliza berusaha kembali menenangkan Amaliya.
Sesaat Amaliya berpikir. Ia pun tersenyum.
"Kamu benar," ucap Amaliya tersenyum.
"Ketemu sama aku tuh nggak penting. Aku yakin, Mihran pasti lebih memilih pulang ke rumah untuk ketemu sama kamu. Karena bagi dia, kamu yang terpenting buat dia," kata Eliza membuat Amaliya tersenyum bahagia.
"Sekarang kamu jangan sedih. Kamu pulang ke rumah dan kamu siapin surprise di rumah," ujar Eliza.
"Kamu yakin?" tanya Amaliya memastikan.
Eliza mengangguk, "Iya."
"Makasih ya, Eliza, bye," pamit Amaliya. Ia pun bergegas kembali ke rumahnya.
"Tragis banget sih hidup aku. Menyiapkan surprise dinner buat seorang istri yang suaminya aku cintai." Eliza pun menghela nafas panjang.
****
Di dalam perjalanan, Mihran kembali gamang. Ia jadi kasihan, jika tak datang dam membuat Eliza menunggu di restoran Zhavier itu.
"Kasihan juga Eliza kalau aku nggak datang. Padahal aku udah berjanji sama dia untuk tetap bersahabat."
Mihran pun kembali memutar arah mobilnya, kembali ke restoran Zhavier dan menemui Eliza.
Eliza yang masih duduk dimeja tempat ia dan Amaliya duduk, dikagetkan dengan kedatangan Mihran.
"Ada apa sih? Kamu mikirin sesuatu ya?" tanya Mihran yang melihat wajah kaget Eliza.
"Bukannya kita udah komitmen jadi sahabat dan kembali ke kehidupan masing-masing?" ujar Mihran menatap nanar Eliza.
"Ini bukan buat aku, Mihran. Aku bantuin Amaliya buatin surprise dinner ini buat kamu. Kamu lihat kan, betapa cintanya istri kamu ke kamu?Mendingan kamu sekarang pulang ke rumah. Kamu kembali ke Amaliya. Tolong, kamu berhenti bersikap kayak anak kecil ngambeg kayak begini. Kamu dan Amaliya itu ditakdirkan untuk bersama." Eliza pun bangkit meninggalkan Mihran yang masih terdiam dimeja itu.
bersambung ....