"Amaliya, kamu kenapa?" tanya Oma Siska.
Dengan mata sembabnya Amaliya pun memalingkan wajahnya dan mencoba menghindari pertanyaan Oma Siska. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengurung diri.
"Bunda kenapa nangis?" tanya Alia.
"Maaf, Bunda nggak tahu kalau Alia dan Oma yang datang," jawab Amaliya.
Amaliya tidak ingin permasalahannya dengan Mihran diketahui keluarganya, terlebih Alia. Dia masih terlalu kecil untuk dilibatkan. Oma pun akhirnya menenangkan Alia yang ketakutan.
Di dalam kamarnya Eliza menangis. Ia terpuruk dengan kehancuran persahabatannya. Persahabatan yang sudah dibangunnya belasan tahun bersama Amaliya. Kini hancur karena kejujuran Mihran.
"Kamu benar, Amaliya. Aku lebih buruk dari binatang. Aku enggak pantas ada di kehidupan kamu. Andai saja aku bisa menebus semua sakit hatimu, aku akan lakukan apapun ...." lirih Eliza dalam tangisnya.
------
Alia menemui Bundanya di dalam kamar. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Bunda disakiti sama om jahat itu lagi?" tanya Alia. Sejak peristiwa Dygta yang datang ke rumah menyakiti Amaliya, rasa traumanya belum hilang.
"Biar Alia bilang sama Om Malik atau panggil polisi biar dia ditangkap," ucap Alia polos. Amaliya hanya menggeleng. Ia mencoba menyeka airmatanya.
"Jadi siapa yang menyakiti Bunda? Biar Alia marahin," celetuk Alia.
"Bunda lagi sedih aja. Ada permasalahan di pekerjaan Bunda," dalih Amaliya.
"Bunda yang sabar ya. Oma buyut bilang, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan kita," seru Alia.
"Kata Oma Buyut, kalau kita bisa melewati ujian dari Allah, kita akan naik kelas. Alia juga gitu, mau naik kelas harus melewati ujian dulu," ujar Alia. Amaliya hanya memeluk putri kecilnya itu dengan terisak.
Tarjo dan Ani diinterogasi Oma Siska di ruang belakang. Oma yakin jika terjadi sesuatu antara Amaliya dan Mihran.
"Kalian berdua pasti tahu, apa yang sedang terjadi," ujar Oma Siska.
Tarjo dan Ani saling pandang. Walau sempat ragu, akhirnya Ani memulai pembicaraan.
"Tadi itu Nyonya pulang sudah nangis. Terus marahin foto Bapak yang ada di ruang tamu," ujar Ani.
"Terus Ibu bilang, kita lihat saja Mihran apa yang akan terjadi. Terus Ibu masuk kamar jerit-jeritan," lanjut Ani.
"Terus setelah itu, apa yang terjadi?" cecar Oma Siska.
"Terus Bapak datang dan diusir sama Nyonya, langsung dibanting pintunya," celetuk Tarjo.
-------
Permasalahan yang terjadi antara Mihran dan Amaliya membuat Mihran kacau. Pekerjaannya mulai terbengkalai. Siang itu, Mihran di ruang kerjanya diingatkan kembali oleh asistennya jika klien sudah menunggunya di ruang meeting.
"Pak Mihran, sudah ditunggu di ruang meeting," ucap sang asisten.
"Oke."
Mihran pun akhirnya bangkit dan berjalan menuju ruang meeting. Pada akhirnya, ia harus bekerja professional apapun yang terjadi dengan hidupnya saat ini.
Mihran pun akhirnya melakukan presentasi. Namun, ditengah presentasi, bayangan Amaliya ketika mengetahui perselingkuhan itupun kembali terngiang dan mengacaukan semuanya. Mihran pun memilih menenangkan diri dan menyerahkan semuanya pada seorang stafnya.
Di kamarnya Amaliya masih terus menangis. Ia menemani Alia yang sudah terbaring di atas ranjang. Oma Siska pun akhirnya masuk dan mencoba mencari tahu dari cucu kesayangannya.
"Amaliya, Oma mau bicara sama kamu," sapa Oma Siska.
Oma Siska akhirnya mengajak Amaliya keluar dan berbicara di ruang tamu rumahnya.
"Liya, Mihran melakukan apa?" tegur Oma.
Amaliya masih diam membisu. Airmatanya terus mengalir, mengisyaratkan luka hati yang begitu dalam sedang ia rasakan.
"Kamu kok nangis? Enggak mungkin nggak ada apa-apa," pekik Oma Siska.
"Seumur pernikahan kamu, kamu itu enggak pernah bertengkar. Apalagi sampai menangis sehebat ini, Amaliya," cecar Oma yang khawatir dengan keadaan sang cucu.
"Ayo, jawab Oma! Mihran udah buat apa sama kamu? Dia sudah mengecewakan kamu?" tekan Oma. Amaliya masih diam membisu.
"Siapa yang bilang aku berantem sama Mihran? Ani? Tarjo?" gerutu Amaliya.
"Itu enggak penting. Kamu itu cucu kesayangan Oma. Ayo, cerita sama Oma," bujuk Oma yang menahan tangisnya.
"Oma, please. A-aku enggak mau membahas soal itu," ujar Amaliya. Ia pun. berlari masuk ke kamarnya dan mengunci pintu kamarnya.
"Amaliya ...."
-------
Oma Siska kembali ke rumahnya. Bersamaan Malik pun kembali ke rumahnya dengan wajah sendu. Matanya pun berbinar, sedang menahan tangisnya.
"Kamu ini kenapa? Sejak jemput Oma di rumah Amaliya, wajahmu ...." tegur Oma.
"Kita disakiti orang yang sama, Oma. Mihran menghamili Eliza," ucap Malik membuat Oma syok. Papa dan Mamanya pun datang.
"Di mana Mihran sekarang?" tanya Taher dengan wajah murkanya. Ia tidak terima jika anak perempuannya tersakiti.
Papa Amaliya itu berang. Sang istri yang mencoba mencegahnya pun tidak diindahkan. Tiba-tiba Oma Siska yang syok pun jatuh pingsan.
"Oma ...." teriak Malik.
Mengetahui sang Ibu jatuh pingsan, Taher pun kembali masuk ke dalam rumahnya. Bersama Malik, ia pun menggotong Oma Siska ke dalam kamarnya.
-------
Mihran masih berada di ruang kantornya. Ia sedang memikirkan bagaimana nasib rumah tangganya dengan Amaliya. Apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki semuanya.
"Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki hubunganku dengan Amaliya," batin Mihran.
Tiba-tiba ponsel Mihran berdering keras. Ternyata Alia yang mencoba menghubunginya karena belum juga pulang ke rumah.
[Ayah di mana? Kok belum pulang sih?]
[Ayah masih di kantor. Belum bisa pulang, masih banyak pekerjaan.]
[Memangnya enggak bisa ditinggal ya? Kasihan Bunda daritadi nangis terus. Kalau Ayah peluk Bunda, pasti Bunda langsung tersenyum kayak biasanya.]
"Kasihan kamu, Amaliya. Maafkan aku. Maafkan Ayah, Alia karena udah buat kamu sedih," gumam Mihran.
[Alia, Ayah kan masih ada pekerjaan. Alia temani Bunda dulu ya.]
[Emangnya pekerjaan Ayah lebih penting dari Bunda ya?]
[Alia, kamu harus tahu. Tidak ada yang lebih penting daripada Bunda dan Alia. Alia, boleh Ayah minta tolong?]
[Apa, Yah?]
[Ayah jujur ya. Ayah sedang di luar kota, belum bisa pulang. Selama Ayah enggak ada, Ayah minta tolong banget. Alia temani Bunda terus ya. Hibur Bunda. Jangan sampai Bunda nangis terus ya. Nanti Alia kirimi foto Bunda ya. Ayah kangen banget sama Bunda.]
Mihran mencoba menahan tangisnya. Rasa bersalah karena telah menyakiti wanita setulus Amaliya semakin menghimpitnya.
[Siap Ayah!]
[Ayah cepat kerjain tugasnya ya. Biar bisa cepat pulang. I love you ....]
[Iya, Sayang. I love you too ....]
Mihran pun mematikan ponselnya dan tangisnya pun pecah.
------
Rumah Oma Siska
Papa Taher pun murka mengetahui jika menantunya itu telah menghamili sahabat istrinya sendiri dan membuat sang Ibu jatuh pingsan.
"Awas kamu Mihran. Kamu sudah menyakiti Amaliya dan membuat Ibu pingsan," geram Pak Taher.
"Pa, sudah. Jangan ngamuk-ngamuk terus. Lebih baik sekarang cek, udah sampai mana dokternya Ibu," tegur Bu Arumi. Pak Taher pun akhirnya keluar dari kamar Oma Siska.
Oma Siska tidak lama akhirnya sadar. Ibu Arumi, menantu Nyonya Siska yang begitu telaten merawat pun turut bahagia.
"Alhamdulillah, Ibu akhirnya sadar. Aku buatkan teh hangat dulu ya, Bu," ujar Mama Amaliya itu.
Oma Siska pun menangis. Ternyata apa yang dikhawatirkan dulu itu benar terjadi. Namun, rasa cinta Amaliya telah membutakan mata hatinya.
"Kenapa kamu tidak mau mendengar apa kata Oma, Amaliya ...." gumam Oma Siska.
"Akhirnya terjadi begini ...." lirih Oma.
Rumah Amaliya
Alia terus membujuk Bundanya agar mau makan. Namun, Amaliya tetap bungkam. Tidak bereaksi apapun saat Alia hendak menyuapinya.
"Ayo, dong Bunda makan. Daritadi Bunda kan belum makan sama sekali," bujuk Alia.
"Nanti sakit loh," celetuk Alia.
"Bunda belum lapar, Sayang," sahut Amaliya dengan matanya yang bengkak karena terlalu lama menangis.
Setelah berulangkali Alia berusaha, akhirnya ia berhasil membuat sang Bunda mau makan, walau hanya sesuap. Alia pun langsung memeluk sang Bunda begitu eratnya.
"Ya Allah, apakah masih ada kesempatan buat kami berkumpul bertiga seperti dulu? Ataukah keluarga kami memang sudah hancur ...." batin Amaliya.
--------
Mihran pun mencoba kembali datang ke rumahnya. Berharap dapat bertemu dengan Amaliya dan membujuknya untuk mau memperbaiki hubungannya yang sudah retak.
"Amaliya, buka pintunya. Aku tahu, kamu ada di dalam rumah," gumam Mihran memanggil sang istri.
Mihran akhirnya berhasil masuk. Ia membawa kunci rumahnya. Setelah berhasil masuk, ia pun memanggil kembali Amaliya berulangkali.
"Amaliya, kamu di mana?" panggil Mihran.
Amaliya pun keluar dari kamarnya. Menatap Mihran dengan penuh kebencian.
"Aku sudah bilang sama kamu, jangan pernah datang ke sini lagi," hardik Amaliya.
"Kalau kamu datang ke sini cuma untuk ambil barang-barang kamu, semua barang kamu sudah Tarjo taruh di gudang. Setelah kamu ambil, silakan kamu pergi dari sini," bentak Amaliya.
"Aku datang ke sini cuma mau menyelesaikan masalah kita. Itu saja," sahut Mihran halus.
Mihran yang alergi dengan kucing pun mulai menciumnya. Amaliya memang sudah menaruh kucing di ruang tamunya agar Mihran tidak pernah bisa kembali ke rumah menemuinya.
"Sejak kapan kamu pelihara kucing?" tanya Mihran saat melihat seekor anak bulu sedang bersantai di sofa.
"Sejak aku tidak mau melihat wajah kamu lagi. Supaya kamu tidak bisa menemuiku lagi," pekik Amaliya.
"Amaliya sengaja menaruh kucing supaya aku nggak bisa masuk," batin Mihran.
"Udahlah, Mihran. Enggak ada lagi yang perlu kita bicarakan," bentak Amaliya.
Amaliya hendak masuk ke kamarnya,tetapi Mihran terus berupaya berdamai dan membicarakan semua masalahnya. Walau sudah tersiksa dengan alerginya, Mihran tidak perduli.
"Tunggu, Amaliya. Kita tetap harus bicara," cegah Mihran.
Amaliya pun kembali berbalik arah menatap ke arah Mihran dan melihat pria yang masih sah menjadi suaminya itu sedang tersiksa dengan alerginya.
"Aku mau melihat bagaimana perjuangan kamu. Aku tahu kamu tidak akan berani melawan alergi parah kamu itu, karena akibatnya bisa fatal," batin Amaliya menatap sinis Mihran yang nyaris pingsan.
-------
Malik yang sangat mencintai Eliza akhirnya hari itu mencoba menemui Eliza di rumahnya. Saat hendak menuju mobilnya, Eliza pun dikagetkan dengan kedatangan Malik dan sedang berdiri di dekat mobilnya.
"Mau ngapain kamu ke sini?" tegur Eliza.
"El, lupakan Mas Mihran. Kak Amaliya juga tidak akan pernah mengijinkan suaminya menikahi wanita lain," ucap Malik.
"Aku bahagia kok jika Amaliya dan Mihran tetap bersama," jawab Eliza tegas.
"Dan aku akan menelan kepedihan Amaliya. Cuma ini caraku menebus kesalahanku pada Amaliya," batin Eliza.
"Aku mau menikahi kamu," tegas Malik membuat Eliza terkejut.
"Apapun yang terjadi, aku akan bahagiakan kamu. Jadi please, lupakan Mas Mihran," tegas Malik.
"Malik, masih banyak perempuan di luar sana daripada aku yang bisa diterima keluarga kamu," jawab Eliza.
"Percuma kamu ngomong kayak begitu. Aku maunya kamu," cecar Malik.
"Terus setelah semua yang terjadi, kamu pikir Amaliya akan mengijinkan kamu menikahi aku? Enggak mungkin, Malik!" ucap Eliza tegas.
"Jadi lupakan ide gila kamu ini!" pekik Eliza.
Eliza pun akhirnya memilih pergi. Memaksa Malik pergi dan ia pun meluncur dengan mobil putihnya.
"El, Eliza ...."
--------
Mihran masih bertahan. Ia nekat melawan alergi parahnya demi bisa berbicara dengan Amaliya yang tetap mematung di dalam kamarnya.
"Dalam hitungan ketiga, Mihran pasti akan bersin. 1, 2 ...." batin Amaliya.
Wajah Mihran semakin memerah. Matanya pun nanar, pandangannya semakin kosong.
"3 ...."
Seketika Mihran pun berada di titik puncak alerginya. Bersin-bersin. Alergi itu benar-benar menyiksanya.
"Mihran, kamu bisa enggak sih jangan nekat. Kalau kamu nekat, itu bisa membunuh kamu. Lebih baik kamu segera pergi!" teriak Amaliya.
"Enggak. Kita tetap harus bicara!" tegas Mihran yang tidak memperdulikan siksaan alerginya.
Mihran yang sudah semakin lemah akhirnya jatuh pingsan. Amaliya yang panik pun langsung memanggil Tarjo agar menyingkirkan kucing itu dari ruang tamu. Ia pun. langsung membangunkan Mihran.
"Mihran, Mihran, bangun!" teriak Amaliya panik. Ia tahu, bagaimana sang suami yang tersiksa dengan alergi parahnya.
Rumah Oma Siska
Malik yang galau pun terus saja mondar-mandir di ruang tamu. Sambil menggerutu. Ia tetap dengan pilihannya untuk menikahi Eliza.
"Eliza, aku akan tetap menikahi kamu. Walaupun anak yang kamu kandung bukan anakku, aku akan tetap mencintai kamu. Dari dulu, sekarang dan selamanya, aku tetap mencintai kamu, Eliza ...."
Oma Siska yang mendengar perkataan Malik pun langsung murka. Ia memilih kembali ke kamarnya.
Mihran masih pingsan di pangkuan Amaliya. Amaliya terus berusaha membangunkannya, tapi pria itu tetap menutup matanya.
"Mihran, andai kamu tahu. Aku begitu takut kehilangan kamu, Mihran. Tapi ...." batin Amaliya.
Saat tiba-tiba Mihran tersadar, Amaliya langsung memalingkan wajahnya dan menyeka airmatanya. Ia tidak ingin jika suaminya itu mengetahui. Amaliya tidak ingin terlihat lemah di hadapan Mihran.
Mihran yang masih lemah pun berusaha bangun dan kembali duduk di samping Amaliya.
"Sebaiknya kamu cepat minum obat alergi kamu. Biar cepat kembali normal lagi napas kamu," ketus Amaliya.
"Kamu kenapa sih berbuat nekat? Jangan norak deh!" bentak Amaliya seketika.
Mihran pun menarik tangan Amaliya yang hendak pergi meninggalkannya.
"Amaliya, aku rela melakukan apapun buat kamu," ucap Mihran.
"Apapun?" ketus Amaliya.
"Apa kamu bisa mengembalikan kepercayaan kamu ke aku?" tantang Amaliya.
"Amaliya, A-aku ...."
"Enggak bisa, Mihran!" jawab Amaliya ketus.
"Gelas yang sudah pecah, tidak akan kembali utuh. Mau kamu berusaha apapun, tidak akan pernah sama lagi!" jawab Amaliya tegas.
Mihran hanya diam tertunduk lemah saat Amaliya beranjak pergi meninggalkannya. Ia sesaat menoleh kembali ke arah Mihran.
"Kamu pasti masih tahu kan pintu keluarnya berada di mana," ketus Amaliya.
Saat Mihran beranjak keluar, ia bertemu dengan Ani yang pulang bersama Alia. Alia yang sudah merindukan Ayahnya pun langsung memeluknya erat.
"Ayah ...."
"Ayah udah pulang?" tegur Alia.
Mihran pun berlutut di hadapan sang putri. Mencoba memberi pengertian, jika sementara ia harus tinggal terpisah.
"Muka Ayah kenapa merah-merah?" tanya Alia.
"Ini Ayah kena alergi. Tapi, enggak apa-apa kok. Tadi Bunda udah kasih obat," jawab Mihran lembut.
"Ayah mau pergi lagi ya?" tanya Alia menahan tangisnya.
"Iya, Ayah harus pergi dulu ya. Maafkan Ayah ya, Nak," jawab Mihran mengelus rambut putri kesayangannya.
"Enggak boleh!" cegah Alia.
Alia pun memeluk Mihran erat. Meluapkan semua rasanya. Rasa kecewa dan sedihnya.
"Enggak boleh. Ayah di sini saja. Alia masih kangen sama Ayah," rintih Alia. Ia pun akhirnya menangis.
"Ayah juga enggak mau pergi dari sini, Alia. Tapi, Bunda kamu tidak menginginkan Ayah ada di sini," batin Mihran.
Mihran pun melepaskan pelukan Alia. Ia pun meyakinkan sang putri, apapun yang terjadi rasa sayangnya tidak akan pernah berubah.
"Alia sayang. Alia harus ingat ya, Alia kerja buat siapa? Buat Alia sama Bunda. Buat jajannya Alia. Buat sekolahnya Alia. Buat memenuhi semua kebutuhan Alia. Orang tua teman-temannya Alia juga kan harus kerja," ucap Mihran menyeka airmata di wajah Alia.
"Ayah janji. Setelah semua urusan Ayah beres, Ayah pasti akan pulang," ucap Mihran mencium kening sang putri ketika ia pamit pergi.
Alia pun langsung berlari menghampiri Bundanya yang sejak tadi berdiri di depan pintu rumahnya.
Amaliya pun mengajak sang putri masuk. Tangisnya pun berusaha ia tahan agar putrinya itu tidak cemas.
Mihran masih berdiri di teras rumahnya. Tangisnya pun tidak bisa ia elak lagi. Perasaannya bercampur aduk. Menyakiti hati Amaliya dan Alia membuatnya hancur.
"Alia, maafkan Ayah ...."
bersambung ....