Chereads / BALAS DENDAM ISTRI KEDUA / Chapter 16 - KEJUJURAN

Chapter 16 - KEJUJURAN

"Malik!"

Amaliya datang dan langsung melayangkan sebuah tamparan pada adik lelaki satu-satunya itu. Ia murka ketika Arman menuduh suaminya yang telah menghamili Eliza. Bagi Amaliya tidak mungkin jika suami dan sahabatnya itu mengkhianatinya.

"Malik, beraninya kamu fitnah suamiku. Kamu keterlaluan," pekik Amaliya geram.

"Kak, dengarkan aku dulu," sahut Malik.

"Kak ...."

"Keluar kamu!" usir Amaliya yang tidak terima jika Mihran dituduh menghamili sang sahabat.

"Kak, tolong buka mata Kakak. Jangan jadi buta dan tuli, Kak. Semua keluarga kita juga tahu siapa Mihran sebenarnya," seru Malik.

"Kalian itu tidak tahu apa-apa tentang suamiku. Aku yang paling tahu siapa Mihran!," bentak Amaliya.

"Aku nyesal udah belain Kakak," sahut Malik. Malik pun akhirnya memilih pergi meninggalkan kediaman sang Kakak.

------

Mihran pun masuk ke dalam rumah. Amaliya pun menyusulnya dan mencoba menjelaskan pada Mihran.

"Sayang, Malik itu cinta banget sama Eliza. Jadi dia itu mencari orang yang disalahkan atas kehamilan Eliza," ujar Amaliya. Tanpa disadarinya, jika suaminya sendirilah yang menanam benih pada rahim sang sahabat.

"Malik itu benar. Aku adalah laki-laki pengecut. Tidak mau mengakui kesalahanku sendiri," batin Mihran.

Mihran pun berbalik arah. Ketika ia hendak jujur tentang semuanya tiba-tiba bayangan Eliza yang menentangnya pun hadir di pelupuk matanya.

"Mihran jangan. Jangan kamu ceritakan semuanya pada Amaliya. Dia tidak akan sanggup menerima kenyataan ini. Dia pasti akan membenciku dan kamu dalam sekejap akan kehilangan anak dan istri kamu," ungkap Eliza.

"Apa kamu mau hal itu terjadi?" sambung Eliza.

Amaliya membuyarkan lamunannya. Istrinya itu yakin jika semua yang dikatakan Malik hanyalah sebatas sebuah fitnahan belaka.

"Sayang, walaupun seluruh dunia menentang kamu, aku akan tetap membela kamu," ujar Amaliya tersenyum.

"Kamu adalah suamiku. Imam di keluarga ini. Biar semua meninggalkan aku. Biar keluargaku meninggalkan aku. Selama kamu ada di sampingku, semua akan baik-baik saja," ucap Amaliya memandang Mihran dengan penuh cinta.

Rasa bersalah di hati Mihran pun semakin menghimpitnya. Ketulusan cinta Amaliya rasanya tidak pantas dibalas sebuah pengkhianatan.

"Istirahat yuk."

Amaliya pun menggandeng mesra suaminya untuk masuk ke dalam kamarnya. Di atas ranjang, putri kecil mereka ternyata sudah terlelap tidur. Amaliya pun tertidur sambil memeluk erat putri kesayangannya.

"Jika aku mengakui dosaku, maka kemungkinan besar aku akan kehilangan mereka. Apa aku sanggup? Apapun yang terjadi, aku harus mengakui semua dosaku pada Amaliya. Karena akan lebih meyakinkan jika dia tahu dari orang lain. Tapi, aku harus mencari waktu yang tepat. Agar guncangan gempa atas pengakuanku tidak menghancurkan hidupnya. Amaliya, maafkan aku ...." lirih Mihran menahan tangisnya.

Namun, airmata itu tidak terbendung. Di sebuah kursi di kamar mereka, Mihran menatap anak dan istri yang sangat dicintainya itu dengan penuh penyesalan.

------

Siang itu Eliza kembali memeriksakan kandungannya. Menemui dokter Mira karena rasa mual yang begitu menyiksanya.

"Dok, kenapa ya masa ngidam saya belum selesai," tanya Eliza.

"Justru di masa seperti ini, sebaiknya Ibu minta apa saja. Besok kalau ke sini lagi, tolong dibawa suaminya ya," jawab dokter Mira.

"Baik, dok."

Setelah selesai, Eliza pun keluar di antar seorang perawat. Perawat itupun tidak lain Amaliya yang siang itu di antar oleh Mihran. Gandengan mesra Mihran dan Amaliya membuat Eliza merasa cemburu dibenaknya. Wajahnya pun syok tidak menyangka jika mereka kembali dipertemukan.

"Eliza," sapa Amaliya ramah. Ia pun memeluk sahabat yang sudah dirindukannya. Amaliya pun mempertanyakan alasannya kenapa Eliza kini menghindarinya.

"Kamu kenapa sih nggak pernah angkat telepon aku?" tanya Amaliya.

Eliza pun melirik ke arah Mihran yang wajahnya begitu tegang. Namun, Eliza tetap berusaha ramah pada Amaliya.

"Iya, aku nggak sempat cek handphone. Lagi ribet banget. Kalian ngapain di sini?" selidik Eliza.

"Iya, kami mau program anak lagi," jawab Amaliya tersenyum.

"Iya kan, Sayang?" celetuk Amaliya tersenyum melirik ke arah Mihran. Mihran pun hanya tersenyum tanpa mengeluarkan sebuah kata pun.

"Ada yang mau aku omongin sama kamu. Yuk, ikut aku," ajak Amaliya. Ia pun membawa Eliza menjauh dari Mihran.

Di taman belakang rumah sakit, Amaliya dan Eliza berbicara. Eliza pun merasa Amaliya akan mempertanyakan kejelasan tentang kehamilannya.

"Aku sudah tahu tentang kehamilan kamu. Tapi, yang aku nggak tahu, siapa Ayah dari anak itu?" ucap Amaliya dengan sorot mata tajam. Eliza sesaat terdiam. Tidak tahu harus berbicara apa.

"Sayang, ke sini deh," panggil Amaliya.

Mihran pun dari jauh terlihat oleh Amaliya. Mihran akhirnya mendekati kedua sahabatnya. Duduk bersama, bersampingan di kursi taman berwarna biru itu.

"Ngapain kamu ajak Mihran ke sini?" tegur Eliza.

"Loh, kenapa? Mihran kan sahabat kamu juga. Kamu ingat nggak, dulu itu kita selalu bertiga. Menghadapi masalah apapun selalu bertiga. Aku di sini sama Mihran di sini untuk selalu mendukung kamu, apapun itu. Jadi tolong bilang sama aku, Eliza. Siapa Ayah dari anak ini?" tanya Amaliya kembali.

Eliza membisu. Wajah Mihran nampak semakin tegang. Amaliya terus menekan Eliza agar mengakui semuanya.

"Apa ini anaknya Dygta?" tanya Amaliya.

"Eliza, aku minta maaf kalau terlalu memaksa kamu atau menghakimi kamu," terang Amaliya.

"Bukannya aku mau ikut campur masalah kamu, tapi aku hanya nggak mau ada laki-laki yang menyakiti kamu," ujar Amaliya menahan tangisnya.

"Jadi tolong sebut siapa namanya?" tekan Amaliya.

"Kalau dia nggak mau tanggungjawab, aku akan kejar dia sampai ke ujung dunia sekalipun sampai dia mengaku dan bertanggungjawab," tegas Amaliya.

Eliza tetap menolak. Ia sudah mengkhianati sahabatnya. Jika jujur, itu akan semakin menyakiti hatinya.

"Maaf, Amaliya. Aku enggak bisa menyebutkan namanya," jawab Eliza menggeleng. Mihran yang duduk sedikit menjauh pun menoleh ke arah Eliza dengan mata yang berbinar.

"Tapi kenapa?" desak Amaliya.

Wajah Eliza dan Mihran semakin tegang. Keduanya semakin tersudut dan terpojok atas rasa bersalah yang menghimpitnya.

"Aku sudah menganggap kamu itu adikku. Aku bukan mau menghakimi kamu. Aku hanya laki-laki pengecut itu bertanggungjawab," dalih Amaliya.

Eliza tetap menggelengkan kepalanya. Ia tetap dengan keputusannya jika Amaliya tidak harus mengetahui semuanya. Hingga akhirnya, Mihran mengungkapkan semuanya.

"Aku!" celetuk Mihran membuat Eliza dan Amaliya seketika menoleh ke arahnya dengan wajah syok.

"Akulah Ayah dari anak yang dikandung Eliza," jawab Mihran tegas. Mihran merasa sudah waktunya ia jujur tentang dosanya.

Amaliya tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap itu hanyalah sebuah candaan agar Eliza tidak tegang. Amaliya tidak mempercayai pengakuan suaminya.

Malik yang sejak tadi sudah mengikuti Eliza pun akhirnya menemukan wanita yang dicintainya itu sedang duduk bersama Kakak dan suaminya. Malik tahu, Mihran pasti mengungkapkan semuanya.

"Bercanda kamu tuh lucu banget sih sayang. Iya kan, Eliza?" kata Amaliya tertawa.

Namun, Amaliya akhirnya terdiam karena bingung melihat wajah-wajah kedua sahabatnya. Eliza dan Mihran hanya diam tertunduk malu.

"Apa-apaan ini. Kok kalian diam aja?" tegur Amaliya yang mulai cemas dan mempertanyakan sikap suami dan sahabatnya.

"Eliza, tolong jawab aku dengan jujur. Apa benar yang Mihran bilang tadi?" cecar Amaliya. Eliza hanya menggeleng. Matanya tidak lagi dapat menahan bulir bening itu.

"Jawab aku, Eliza," bentak Amaliya.

Eliza yang sudah terpojok akhirnya mengakui semua kebenaran yang meluluhlantakkan persahabatan itu.

"Mihran adalah Ayah dari anakku," jawab Eliza terbata. Airmatanya pun terus mengalir membasahi pipinya.

Amaliya pun syok. Napasnya tidak beraturan. Malik yang memperhatikan dari kejauhan pun syok ternyata kecurigaannya selama ini benar.

"Kamu tega melakukan ini sama aku, Mihran. Selama ini aku selalu membela kamu. Aku yang membela kamu saat kamu dihina. Saat kamu diremehkan. Bahkan aku melawan keluargaku karena menjelekkan kamu, karena aku tidak pernah percaya!" pekik Amaliya terisak.

"Ternyata kamu busuk. Sama seperti yang mereka bilang dan kamu. Kamu sahabat aku, Eliza. Aku sudah menganggap kamu seperti adik aku sendiri," teriak histeris Amaliya. Tangisnya pun pecah.

Eliza hanya menangis. Mihran pun diam membisu dengan tekanan Amaliya atas pengakuannya.

"Kamu tega mengambil suami sahabat kamu sendiri. Binatang saja tidak akan menggigit orang yang sudah memberinya makan dan merawatnya dengan penuh kasih sayang," bentak Amaliya menangis.

"Kamu ternyata lebih buruk daripada itu," pekik Amaliya.

Rasa kecewanya terlalu dalam pada suami dan sahabatnya. Amaliya memilih pergi, meninggalkan Mihran dan Eliza yang menangis. Eliza dan Mihran pun langsung mengejarnya.

Eliza pun menarik tangan Mihran. Ia marah besar dan menyalahkan Mihran atas semuanya. Kejujuran Mihran justru membuat persahabatannya berantakan.

"Kamu lihat sekarang. Karena sikap sok pahlawan kamu, orang yang kita sayangi seperti ini. Ini yang kamu bilang keputusan yang lebih baik," pekik Eliza memukuli Mihran melampiaskan semua kemarahannya.

"Dan kamu. Kamu akan segera kehilangan segalanya ...." bentak Eliza. Eliza pun mengejar sahabatnya kembali.

Amaliya yang sudah berada di parkiran rumah sakit pun akhirnya berhasil dikejar Eliza. Ia pun bersimpuh, berlutut memohon maaf pada sahabat yang sudah dikhianatinya.

"Amaliya, lakukan apa saja sama aku. Bahkan aku pun tidak pantas meminta maaf sama kamu. Aku ini perempuan yang hina," rintih Eliza menangis.

Mihran yang masih berada di taman belakang rumah sakit pun kini merasakan luapan amarah Malik yang merasa jika Mihran telah menyakiti dua wanita yang begitu disayanginya.

"Udah puas?" hardik Malik.

"Sekarang lu udah puas? Lu udah jadi biang keladi semuanya. Lu udah hancurkan dia wanita yang gue sayangi. Kak Amaliya dan Eliza," pekik Malik dengan sorot penuh amarah dan kebencian pada kakak iparnya itu.

"Dasar ...."

Saat Malik hendak memberikan pukulan pada Mihran, ia pun menepisnya.

"Saya tahu, saya sudah melakukan kesalahan yang fatal. Saya akan bayar ini semua. Saya akan tanggungjawab untuk menyelesaikan semua masalah ini," pekik Mihran. Mihran pun langsung meninggalkan Malik begitu saja.

"Gue nggak akan membiarkan lu menghancurkan Kak Amaliya dan Eliza. Gue akan balas semua ini," gumam Malik.

Eliza masih bersimpuh. Amaliya tetap diam. Tidak bereaksi apapun. Hanya airmata yang jatuh membasahi pipinya.

"Ini semua memang salah aku, Amaliya. Ini bukan salah Mihran. Sejak SMA, aku mencintai Mihran. Tapi, dia tidak pernah sekalipun berpaling dari kamu. Aku mohon, Amaliya. Jangan kamu hancurkan rumah tangga kamu dengan Mihran ...." rintih Eliza yang terus menangis.

"Kamu boleh benci aku. Kamu boleh maki aku. Ini semua salah aku, Amaliya," ujar Eliza.

Amaliya pun menepis tangan Eliza yang sejak tadi memegangi kakinya agar tidak beranjak pergi meninggalkannya.

"Jangan sok jadi pahlawan untuk orang yang kamu cintai. Kalau laki-laki itu nggak berbuat. Ini kesalahan kalian berdua. Ini dosa kalian berdua," teriak Amaliya.

"Aku muak sama kalian. Mulai sekarang, pergi kalian dari hidup aku," bentak Amaliya. Amaliya pun langsung berlari meninggalkan Eliza.

-------

Amaliya pun sampai di rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam kamar dan menangis meluapkan semua rasa kecewanya. Hidupnya seketika hancur mendengar pengakuan Mihran dan Eliza yang telah tega mengkhianatinya.

Amaliya pun. mengambil sebuah bingkai foto persahabatannya. Fotonya bersama Mihran dan Eliza. Persahabatan itu seketika hancur berantakan.

"Kamu bilang, Mihran. Di saat aku percaya sama kamu sepenuh hati aku. Ini balasan kamu buat aku," rintih Amaliya.

Rasa kecewanya begitu dalam. Hatinya terluka atas pengkhianatan Mihran dan Eliza. Orang yang begitu dipercaya dan disayanginya sepenuh hati.

Amaliya pun mengamuk. Ia membanting semua barang yang ada di dekatnya. Tangisnya pun semakin histeris. Hingga kedua asisten rumah tangganya pun mendengar dan mencoba menguping dari balik pintu kamar.

"Ibu kenapa ya? Jadi penasaran deh," celetuk Ani pada Tarjo.

"Kasihan Bu Amaliya," ucap Ani.

Ani dan Tarjo pun kaget ketika tanpa disadarinya Mihran sudah ada di belakangnya. Mihran pun meminta kedua asisten rumah tangganya itu pergi sesaat sebelum ia masuk ke dalam kamar.

Mihran pun kaget ketika melihat Amaliya sedang memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam sebuah koper besar.

"Ngapain kamu ke sini. Pergi!" bentak Amaliya saat melihat Mihran ada di hadapannya.

Mihran pun bersimpuh di hadapannya. Ia memohon ampun atas semua dosa pengkhianatannya.

"Aku minta maaf, Amaliya. Aku salah. Aku khilaf. Tapi, seperti yang kamu katakan. Siapapun Ayah dari anak itu, dia harus tanggungjawab. Aku harus menanggung ini semua. Aku harus bertanggungjawab atas anak itu," ujar Mihran terisak.

"Apapun konsekuensinya aku harus siap," seru Mihran.

"Dan terpaksa konsekuensinya berpisah dari aku," tegas Amaliya. Mihran pun menatap nanar Amaliya.

"Untuk itu, aku meminta izin pada kamu untuk menikahi Eliza secara resmi," ungkap Mihran.

"Sekarang keputusannya ada di kamu. mengijinkan atau menolak aku menikahi Eliza," ujar Mihran.

Tangis Amaliya kembali pecah. Mengapa kini ia yang harus menanggung semua dosa yang telah dilakukan suami dan sahabatnya.

Amaliya seketika tertawa sambil menangis.

"Kalian yang berbuat dosa terus semua keputusan ada di aku. Kalau aku mau jahat, aku tidak akan mengijinkan kamu menikahi dia. Tapi, kalau aku terima, aku yang akan hancur sendiri," ujar Amaliya menangis.

"Kamu itu enggak kehilangan apapun Mihran. Tapi aku? Aku kehilangan cinta. Aku kehilangan kepercayaan. Aku kehilangan sahabat dan aku kehilangan suami," hardik Amaliya.

"Dan yang paling penting, aku kehilangan harga diri aku sebagai perempuan," ujar Amaliya.

"Baru kali ini aku melihat kamu sebagai manusia yang paling menjijikkan di dunia ini. Pergi kamu dari sini. Pergi ...." bentak Amaliya.

Amaliya pun mendorong koper besar berisi seluruh barang Mihran. Menariknya paksa keluar tanpa memberinya kesempatan lagi untuk berbicara.

"Pergi kamu dari sini, pergi!" teriak Amaliya. Setelah mendepak Mihran keluar, ia pun langsung membanting pintunya dengan keras.

Di balik pintu, Amaliya menangis histeris. Hatinya begitu terluka. Harga dirinya terinjak-injak. Berpisah dari Mihran menjadi jalan yang akhirnya ia pilih.

Mihran masih tidak beranjak pergi. Terduduk lemah di luar pintu. Menyesali semua perbuatannya. Sebuah kejujuran yang ia ungkapkan harus dibayar dengan kehilangan istri yang begitu dicintainya.

Pintu pun terketuk. Amaliya yang mengira Mihran yang masih berusaha membujuknya pun membuka pintu dengan penuh amarah.

"Mau ngapain lagi kamu ....." ucap Amaliya. Ia pun terkejut ketika Omanya dan Alia yang ada dihadapannya, bukan Mihran.

"Amaliya, kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?" tanya Oma yang panik.

bersambung ....