Di dalam bath up, Mihran merendamkan tubuhnya, menangisi dosa yang telah dilakukannya.
"Kamu ini istri yang sempurna. Sedangkan aku, aku suami yang penuh dengan dosa.Maafin aku, Amaliya. Aku sangat mencintai kamu."
"Tapi, apa yang kamu lakukan kepada aku justru membuktikan kalau aku tidak bisa mencintai kamu sebesar kamu mencintai aku.Aku minta maaf. Aku minta maaf karena udah gagal menjaga komitmen kita."
Tangis Mihran pun pecah ....
------------
Rumah Amaliya
Pagi sekali, Oma Siska pun sudah datang ke rumah cucunya. Oma memang tidak pernah bisa sehari tanpa bertemu cicit kesayangannya yang menggemaskan itu.
Ani pun datang membawakan segelas kopi hangat pesanan Nyonya besar itu.
"Oma, mendadak Tarjo mau mengundurkan diri. Tadi Ani udah coba mau ngomong sama Ibu, tetapi kayaknya lagi sibuk deh jadi nggak sempat ngomong Ibunya udah pergi aja," celetuk Ani, asisten rumah tangga Amaliya yang sekaligus mata-mata sang Oma yang sudah menaruh curiga pada Mihran dan Eliza.
"Ya udah, Ani. Kamu harus segera cari pengganti Tarjo ya," perintah Oma Siska.
"Kalau perlu, sebelum Tarjo pergi, semuanya kamu seleksi dulu. Tetapi, tetap semua keputusannya ada pada saya," timpal Oma Siska.
"Siap, Oma," jawab Ani.
Ani pun langsung kembali ke dapur mengerjakan pekerjaannya yang lain.
Kantor Mihran
Mihran mulai tidak fokus dengan pekerjaannya. Permasalahan kehamilan Eliza sungguh membuatnya terpuruk. Ketakutan akan kehilangan Amaliya, istri yang sangat dicintainya itu, kini semakin kuat membayangi hidupnya.
Terduduk di kursi empuk sebagai Boss, Mihran kembali teringat akan pembicaraannya saat itu bersama sang sahabat sekaligus wanita yang sudah dikencaninya.
Flashback
"Kamu berhak mencintai siapapun dan sama seperti kamu, aku juga berhak memilih siapa wanita yang aku cintai," ujar Mihran meninggalkan Eliza yang menangis saat cintanya ditolak.
Eliza pun mengejar lelaki yang dicintainya sejak SMA itu. Ia memeluk erat Mihran dari belakang dan entah mengapa, Mihran seperti tidak mempunyai kekuatan untuk melepaskan pelukan itu.
Bayangan akan pertemuan Mihran dan Eliza malam itu kembali terbayang. Di bawah derasnya hujan, Eliza memintanya pergi dari kehidupannya selama-lamanya. Ia memilih menanggung semuanya sendiri.
"Dari awal aku yang salah. Semua cinta dan kesetiaan kamu hanya untuk Amaliya. Tetapi, aku ... aku yang nggak pernah bisa melupakan kamu. A-aku yang tidak bisa berhenti mencintai kamu! Aku minta sekarang kamu pergi. Kamu jangan pernah temui aku lagi!"
Bayangan itu terus menghantui Mihran. Rasa sesal hanyalah sia-sia. Nyatanya, kini Eliza tengah mengandung darah dagingnya. Anak yang sejak lama ia mimpikan bersama Amaliya. Namun, semua sirna. Ia justru akan memiliki anak dari Eliza, sahabatnya sekaligus sahabat Amaliya.
Hancur sudah persahabatan yang telah begitu lama terjalin karena kebodohannya dan Eliza.
"Nggak. Aku nggak boleh membiarkan Eliza menanggung semuanya sendiri. Biar gimana pun, semua itu terjadi karena kesalahanku juga," ucap Mihran dalam hatinya.
Tiba-tiba Amaliya masuk membawa beberapa dus barang dibantu satpam kantornya. Entah apa yang dibawanya. Mihran pun menghampiri sang istri yang masih berdiri di depan pintu sambil membiarkan satpam itu membawa semuanya masuk.
"Sayang, kamu bawa apa?" tanya Mihran heran karena begitu banyak bawaan Amaliya.
"Buat karaoke," jawab Amaliya tersenyum.
"Buat apa sih?" tanya Mihran tak bersemangat.
"Sayang, kau perhatiin akhir-akhir ini kamu tuh stres berat deh sama pekerjaan. Jadi, aku pasang di sini," dalih Amaliya.
"Kamu ingat nggak sih? Dulu pas kita pacaran, kita tuh sering banget karaokean, nyanyi-nyanyi lagi favorit kita," celetuk Amaliya yang bergelayut manja pada Mihran.
Mihran pun berusaha tersenyum di depan istrinya. Ia menutupi semua beban yang menghimpitnya saat ini.
"Tetapi, aku nggak bisa karaokean sekarang," dalih Mihran.
"Ya walaupun kita nggak bisa karaokean sekarang, kan nanti bisa. Nah, sekarang kan jam makan siang. Kita makan-makan sekalian kita senang-senang. Biar muka kamu nggak sedih terus," bujuk Amaliya yang berusaha menghibur sang suami.
"Oke," jawab Mihran memeluk erat istrinya. Mihran pun mencium kening Amaliya dengan lembut.
Rasa sesal itu terus menghimpitnya. Membuat ketakutan akan kehilangan Amaliya semakin menghantuinya.
Mihran akhirnya mengikuti keinginan Amaliya. Ia menemani Amaliya untuk karaoke bareng. Bersenda gurau. Semua demi Amaliya. Ini sedikit mengurangi rasa bersalah karena sudah mengkhianati Amaliya dengan sahabat mereka sendiri.
Mihran pun duduk di sofa, memperhatikan Amaliya yang masih asyik berkaraoke ria sambil berdiri di dekat TV.
"Istriku, apapun kamu lakukan untuk membahagiakanku. Di saat aku terpuruk, kamu selalu menemaniku dan mengangkatku dari jurang yang terdalam."
"Saat aku sedih, kamu yang menyeka air mataku. Saat aku lelah, kamu memijatku dan memberikanku semangat. Betapa mulianya hati kamu, Amaliya. Bukannya membalas kebaikan hatimu, tetapi justru melakukan kesalahan yang tidak termaafkan."
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Amaliya yang melihat suaminya sudah duduk di sofa dengan wajah yang sangat murung dan sedih.
Mihran pun memeluk erat Amaliya dan merebahkan kepalanya di dada bidangnya.
"Sayang, tahu nggak? Aku ini bersyukur banget punya istri kayak kamu," ucap Mihran bergetar menahan tangisnya.
"Yang rela melakukan apa saja buat suaminya," lanjut Mihran. Air mata Mihran pun tidak dapat terbendung lagi.
"Maafin aku, Amaliya, karena sudah mengecewakan kamu. Tetapi, biar bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab terhadap Eliza," batin Mihran. Ia pun mencium kening Amaliya.
Mihran pun merubah duduknya.
"A-aku ada urusan sebentar, aku pergi dulu ya," pamit Mihran.
Amaliya pun memegangi wajah suaminya. Menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya.
"Sebagai istri, aku pasti mendoakan kebaikan kamu. Kamu hati-hati ya sayang. I love you," ucap lembut Amaliya. Mihran pun mencium kening istrinya itu sebelum meninggalkan ruangannya.
-----------
Siang itu Eliza pun datang ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kesehatan kandungnya. Rumah sakit Sentra Medika dipilih untuk menjadi tempatnya memeriksakan diri. Ia pun di antar seorang perawat memasuki ruang praktek sang dokter.
Tanpa sepengetahuan Eliza, ternyata diam-diam Mihran datang. Setelah datang ke rumahnya, Mihran pun mendapat info jika Eliza mendatangi rumah sakit. Ia pun berjalan perlahan menyusuri lorong rumah sakit hingga akhirnya di depan ruangan dokter berpapasan dengan perawat yang tadi mengantar Eliza.
"Bapak mau ke mana?" tegur si perawat.
"Istri saya ada di dalam. Maaf, tadi saya agak terlambat," sahut Mihran.
"Oh, silakan masuk, Pak."
Di balik tirai, Mihran pun mendengarkan apa yang dijelaskan sang dokter tentang kondisi janin di dalam kandungan Eliza. Eliza hanya menatap layar monitor itu. Mencoba menahan bulir bening itu.
"Ada kehidupan di dalam rahim Eliza. Suara detak jantung itu seperti mengetuk hatiku. Dia anakku. Anak kita berdua," batin Mihran ketika menoleh kembali ke layar monitor.
"Usia kandungan Ibu ini masih terlalu muda. Masih sangat rentan. Sebaiknya jangan terlalu banyak pekerjaan. Jangan stres juga ya," pesan sang dokter.
"Baik, Dok."
"Saya akan buatkan resep untuk penguat kandungan," ujar sang dokter.
Mihran pun akhirnya memilih keluar ruangan agar Eliza tidak mengetahui kehadirannya.
"Itu darah dagingku. Anak yang selama ini aku inginkan. Ya Allah, betapa aku sangat menginginkan keturunan dari istriku, tetapi ...."
Flashback
Mihran kembali teringat peristiwa malam itu. Di masa awal pernikahannya, ketika perekonomiannya belum sebaik sekarang. Kehamilan Amaliya tidak baik.
"Bagaimana keadaan istri dan anak saya dok?" tanya Mihran ketika dokter Firman keluar dari sebuah ruangan.
"Kondisi istri anda dalam keadaan baik. Tetapi, kondisi anak anda ... seperti yang kita khawatirkan sebelumya." terang sang dokter.
"Terjadi infeksi akibat toksoplamosis dan keadaan ini tentu saja diperparah karena kelahiran prematur," sambung sang dokter.
"Yang sabar ya, Pak."
Sang dokter pun meninggalkan meninggalkan Mihran seorang diri yang termenung karena syok menghadapi jika anaknya tidak bisa diselamatkan. Bagaimana ia harus menyampaikan berita duka ini pada Amaliya?
Beberapa jam berlalu
Mihran pun berada di ruang kamar perawatan ketika Amaliya akhirnya tersadar. Saat tersadar, keadaan anaknya lah yang pertama kali ditanyakan sang istri.
"Mihran, anak kita mana? Dia sehat-sehat aja kan? Dia normal kan, Mihran?" tanya Amaliya dengan wajah sumringah.
Hati Mihran bercampur aduk. Ingin rasanya berkata yang sejujurnya tentang semua yang telah terjadi.
"Mihran, kok kamu diam saja? Apa sesuatu terjadi pada anak kita, hah?" tanya Amaliya cemas.
"Kamu tunggu di sini ya," sahut Mihran dengan wajah datar. Mihran pun keluar dari ruangan.
Mihran pun kembali dengan mencoba tersenyum bahagia. Ia menggendong seorang bayi perempuan mungil dan cantik.
"Ini anak kita sayang," ujar Mihran tersenyum.
Mihran pun langsung memberikan bayi mungil itu pada Amaliya. Ia pun mencium wajah cantik bayi perempuan itu. Tanpa diketahui jika itu bukanlah anaknya.
"Hai, Nak. Kamu cantik sekali ...."
Wajah bayi perempuan itu terus dipandangi Amaliya. Ia begitu bahagia jika anaknya telah lahir dengan selamat dan sehat.
"Maafkan aku, Amaliya. Aku terpaksa menggantikan anak kita yang meninggal dengan bayi itu. Aku tahu, kamu tidak akan sanggup menghadapi kenyataan kematian anak kita," batin Mihran.
Di sebuah sudut rumah sakit Mihran terus menahan tangisnya. Berdebat hebat dengan hatinya sendiri. Andai bisa memilih, ia ingin terus bahagia bersama Amaliya dan anak cantik yang sudah disayanginya seperti anaknya sendiri.
"Jika aku bisa menyayangi dia seperti anak kandungku sendiri, kenapa aku harus jauh dari anakku sendiri? Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Anak itu amanah darimu. Dia tidak berdosa dan aku tidak boleh membiarkan dia menanggung dosa yang sudah ku perbuat ...."
Mihran pun akhirnya meninggalkan rumah sakit agar Eliza tidak menyadari kehadirannya di sana ketika ia sedang memeriksakan kandungannya.
------
Mihran yang sedang pusing dengan permasalahannya dengan Eliza pun mulai tidak fokus dengan pekerjaannya. Di suatu siang, ia harus meeting dengan klien di sebuah cafe. Mihran pun menyerahkan presentasi pada seorang asistennya.
Saat sedang menikmati secangkir kopi, ia melihat di sudut yang lain Eliza dan Malik sedang makan siang bersama. Mihran pun bingung, apa yang sedang keduanya bicarakan.
"El, aku sudah tahu soal berita kehamilan kamu ...." ucap Malik yang langsung dipotong Eliza.
"Kalau kamu mengajak aku ke sini untuk membicarakan itu, aku enggak ada waktu!" seru Eliza yang hendak beranjak pergi tapi dicegah Malik.
"Eliza, aku enggak perduli siapa bayi itu. Aku akan bertanggungjawab dan menikahi kamu agar di masyarakat dia tidak dicap sebagai anak haram," jelas Malik.
"Anak ini bukan anak haram. Jadi jangan pernah kamu sebut dia seperti ini lagi," jawab Eliza tegas. Ia pun langsung meninggalkan cafe begitu saja tanpa mengindahkan panggilan Malik.
Saat berjalan cepat di parkiran, tiba-tiba tangan Eliza ditarik paksa. Eliza yang awalnya mengira itu adalah Malik pun syok saat melihat wajah Mihran yang kini ada dihadapannya.
"Mihran, ngapain kamu di sini?" tegur Eliza ketus.
"Aku akan minta ijin sama Amaliya untuk menikahi kamu," ucap Mihran.
Eliza syok dan meminta Mihran tidak melakukan hal yang menyakiti Amaliya.
"Mihran, aku mohon kamu jangan lakukan hal itu. Jangan sakiti Amaliya, dia terlalu baik buat aku. Biarkan aku menjalani semua ini tanpa kamu ...." jawab Eliza menahan tangisnya.
"Tanpa siapapun. Cuma aku dan bayi ini!" tegas Eliza. Eliza pun langsung pergi meninggalkan Mihran. Pergi secepat mungkin meninggalkan cafe.
Eliza pun jatuh tersungkur di sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari area cafe. Ia pun menangis histeris dengan kenyataan pahit yang harus ia hadapi sendirian.
"Aaaa ...." jerit Eliza memegangi perutnya.
-----
Mihran pun sampai di rumahnya malam hari. Seperti biasanya, setelah bermain dengan putri kecilnya, ia dan Amaliya berbicara berdua sebelum tidur. Amaliya yang sedang gelisah dengan sikap Eliza yang tidak biasa itupun akhirnya mencurahkan isi hatinya.
"Sayang, kenapa ya sampai sekarang Eliza tidak mau berhubungan sama aku? Apa aku sudah menyakiti hati dia?" ujar Amaliya sambil berbaring di atas ranjang bersama Mihran. Mihran pun hanya diam membelakangi tubuh Amaliya.
"Sayang,apa besok aku ajak dia ketemuan ya? Bertiga di taman biasa. Ya seperti dulu.Jadi Eliza itu tahu apapun yang terjadi sama dia. Kita akan selalu ada support dia. Menurut kamu gimana?" tanya Amaliya. Mihran tetap diam membisu.
"Apa sebaiknya aku jujur saja ya sama Amaliya? Selama ini kan kita berjanji untuk selalu jujur dalam pernikahan ini," batin Mihran.
"Apa aku tega menjatuhkan bom tepat di hadapan istriku? Jika bom itu hanya menghancurkan aku saja, aku rela. Tapi, bagaimana jika itu menghancurkan istriku? Tidak. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri," batin Mihran.
Mihran pun berbalik arah menghadap pada Amaliya dan mencoba menghalangi Amaliya memaksa Eliza untuk menceritakan permasalahannya.
"Sayang, kalau Eliza belum cerita artinya dia belum siap. Nanti kalau kamu terus paksa, dia akan semakin menghindar. Aku yakin, nanti dia pasti akan cerita," seru Mihran. Amaliya hanya mengangguk.
Eliza di rumahnya hanya berbaring di atas ranjang, menangisi nasibnya. Menyesali semua pengkhianatan yang sudah dilakukannya.
"Kalau saja waktu itu ... mungkin sekarang aku sudah di Amerika. Tidak menetap satu kota dengan mereka. Sebaiknya kita tidak usah berteman lagi, Amaliya ...." batin Eliza.
Mihran yang sedang bimbang memilih menghirup udara malam di taman belakang rumahnya. Ia pun memikirkan bagaimana menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi.
"Aku enggak sanggup menanggung beban kebohongan ini terus menerus. Tapi, kapan waktu yang tepat untuk mengungkap ini semua?" batin Mihran.
"Tiba-tiba malam itu Malik datang dan menghampirinya ketika sedang duduk di bangku taman belakang rumahnya. Dengan wajah murka, ia menghampiri Mihran.
"Kakak gue mungkin percaya dengan kesetiaan kamu, Mihran. Tapi, aku tidak segampang itu kamu bodohi!" tegas Malik dengan lantang. Wajah Mihran pun seketika memerah padam.
"Karena gue melihat sendiri bagaimana tatapan Eliza penuh dengan cinta dan bodohnya lu balas tatapan itu," cecar Malik.
"Sudahlah. Lu ngaku aja. Lu kan yang menghamili Eliza kan?" bentak Malik. Wajah Mihran semakin pucat.
"Tidak usah jadi pengecut!" hardik Malik.
"Pasti selama ini kalian kencan di belakang Kakak gue. Kakak gue emang bodoh. Dia buta dengan cintanya sendiri dan dia menyiapkan ranjau dengan mengajak Eliza tinggal di sini dan akhirnya apa? Eliza sahabat terbaiknya dihamili suaminya sendiri," hardik Malik yang sudah muak pada Mihran.
"Malik!"
bersambung .....