"Tidak dikatakan beriman, sebelum Allah mengujinya."
"Gimana hasil meetingnya?" tanya Amaliya, saat keluar kantor menggandeng mesra Mihran.
"Tebak dong?" jawab Mihran tersenyum.
"Kalau dari muka kamu sih, aku yakin meetingnya berhasil," kata Amaliya tertawa.
Mihran pun tertawa
"Pokoknya clientku langsung setuju waktu aku ngajuin Eliza jadi brand ambasador produknya," terang Mihran pada sang istri.
"Kalau gitu, kamu harus terimakasih sama Eliza," ujar Amaliya tersenyum.
Mihran dan Amaliya pun berpelukan.
"Elizanya di mana?" ujar Mihran.
"Coba kamu telepon, Sayang, tadi sih dia bilang mau ke rumah Papanya," ujar Amaliya.
Mihran pun mengeluarkan benda pipih itu dari saku celananya. Sekali dua kali, tidak ada jawaban. Mihran pun mulai bertanya, Amaliya pun jadi khawatir. Amaliya pun mengeluarkan gawai dari tasnya untuk menghubungi Papa Eliza.
[Hallo, Om, ini Amaliya. Eliza ada di sana?]
[Iya, tapi dia lagi ketemu sama Dygta]
Amaliya pun menatap nanar ke arah Mihran. Mihran bingung, kekhawatiran pun muncul dibenaknya.
[Baik, Om, makasih]
Amaliya pun mematikan gawainya.
"Kenapa, Sayang? Eliza ke mana?" tanya Mihran yang khawatir.
"Dia ketemu Dygta. Kita harus susul mereka, Sayang. Kalau Eliza kenapa-napa gimana?" Amaliya sangat khawatir dengan kegilaan Dygta yang mengancam keselamatan Eliza.
"Iya, tapi kita harus susul mereka ke mana?" tanya balik Mihran.
Mihran dan Amaliya pun berpikir keras.
****
"Aku tuh sayang lo sama kamu. Aku sayang banget. Aku nggak mau ngelakuin ini. Aku nggak tega melakukan ini sama kamu. Tetapi kamu tega! Kamu tolak aku. Kamu tinggalin aku. Itu kekecewaan terbesar dalam hidupku." Dygta mencurahkan isi hatinya.
Dygta menangis, terduduk di sebuah sudut gudang berisi barang-barang tak terpakai, di mana ia mengurung Eliza yang sudah dengan muka lebam. Tubuhnya gemetar, matanya sembab karena terus menangis memohon belas kasih mantan tunangannya itu agar segera dibebaskan.
Tiba-tiba
Ponsel Eliza yang tergeletak di lantai berbunyi. Eliza dengan seluruh kekuatannya yang tersisa, berusaha bangkit dan mengambil ponselnya itu. Berharap ada pertolongan yang akan datang.
Dygta yang tidak ingin kehilangan Eliza sekali lagi, berusaha lebih cepat. Saat Eliza mengenggam ponsel itu, tangannya diinjak oleh Dygta dengan keras, masih dalam memakai sepatu bootsnya.
"Aaaaaggghh ...." teriak Eliza menahan sakit itu.
Eliza tak berdaya. Tubuhnya sudah semakin lemah, luka-luka lebamnya ditambah tangannya yang sakit luar biasa saat diinjak Dygta.
Sebuah nama memanggil, nama yang sangat dibenci oleh Dygta.
"Mihran .... " lirih Dygta
Dygta yang terbakar emosi, karena kejujuran Eliza soal cintanya pada Mihran membuat ia membanting ponsel Eliza itu hingga hancur.
Dygta terus saja berseloroh meluahkan semua emosinya pada Eliza dan Mihran. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha bangkit dan mengambil tabung pemadam itu lalu memukulkannya dari belakang, hingga Dygta jatuh tersungkur. Ia pingsan.
Eliza pun berhasil lolos dari cengkraman sang psikopat.
****
Rumah Sakit Angkasa
Tergopoh-gopoh Amaliya dan Mihran mendatangi kamar di mana Eliza kini dirawat. Ada 2 orang anggota polisi yang menjaga di depan kamar.
"Pak, apa yang terjadi dengan Eliza?" tanya Eliza yang sudah dilanda kekhawatiran sejak tadi.
"Mbak Eliza jadi korban KDRT tunangannya sendiri. Mbak Eliza berhasil lolos dan Dygta melarikan diri," terang salah satu anggota polisi.
Amaliya dan Mihran bergegas masuk melihat kondisi Eliza yang ternyata mendapat luka lebam disekujur tubuhnya.
"Ya Allah, Eliza, kenapa jadi kayak gini?"
"Sayang, kamu lihat kan? Dygta udah keterlaluan. Coba kalau waktu itu Eliza. sampai nikah sama dia!" ujar Amaliya yang kesal saat melihat sahabatnya itu terluka parah. Mihran hanya terdiam.
"Mihran .... " lirih Eliza, matanya pun terbuka.
"Amaliya .... " ujar Eliza dengan suara yang masih lemah.
"El, harusnya kamu nggak menemui Dygta sendirian. Kamu harusnya ngajak aku," tegur Amaliya.
"Aku pastikan Dygta akan tertangkap dan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya!" kata Mihran tegas.
Eliza hanya berusaha tersenyum.
****
Di rumah Mihran dan Amaliya, Oma dan Alia sudah menunggu sejak lama.
"Assalamualaikum," teriak Mihran saat memasuki rumahnya.
Oma Siska pun menjawab, "Wa'alaikumsalam,"
"Ayah .... " teriak Alia memeluk Ayahnya.
"Bunda," kata Alia memeluk sang Bunda. Amaliya pun memeluk anak semata wayangnya dan berkata, "Uh, Sayang .... "
"Oma udah nunggu tuh dari tadi," celetuk Alia.
Amaliya pun berusaha tersenyum.
"Kepala Eliza kenapa tuh?" ketus Oma Siska.
"Eh, Oma permisi dulu ya. El, yuk," ajak Mihran. Eliza pun pamitan dengan Oma Siska.
Oma Siska hanya menatap keduanya, tanpa berkata apapun.
"Liya, kenapa Eliza kembali ke rumah ini?" tanya Oma berbisik pada menantu kesayangannya itu. Ada Alia yang berusaha mengupingnya.
"Oma tadi lihat kan kondisi Eliza? Kalau dia pulang ke rumahnya, nanti Papanya akan khawatir," terang Amaliya.
"Lalu siapa yang membuat kepalanya seperti itu?" tanya Oma Siska.
"Dygta, tunangannya sendiri!" jawab Amaliya.
Oma Siska melirik ke arah dalam rumah Eliza.
"Mihran sama Eliza, ke mana?" selidik Oma Siska.
"Ke kamar tamulah, Oma," terang Amaliya yang mulai tidak senang dengan ketakutan Omanya.
"Kamu ini gimana sih? Suami dengan perempuan lain ke kamar kok diam saja? Kejar sana!" perintah Oma Siska.
"Duh, Oma, jangan parno deh!Eliza itu sahabat aku dari SMA jadi nggak mungkin macam-macam," ujar Amaliya yang sudah bosan dengan keparnoan sang Oma.
Amaliya pun berjalan masuk ke kamarnya. Oma pun ngambeg dan pergi. Panggilan Alia pun tak digubrisnya.
****
Di kamar Tamu
"Kamu istirahat aja dulu. Nggak usah mikir apa-apa ya," ujar Mihran, membuat Eliza sedikit tenang. Ia hanya mengangguk.
Gawai Mihran berbunyi
"Aku angkat dulu ya, ini penting soalnya," ujar Mihran kemudian keluar kamar Eliza.
[Iya, Hallo, Pak?]
Mihran pun berbicara dengan Pak Imran, klien yang akan memakai Eliza sebagai brand ambasadornya.
Di rumah Oma Siska
"Huh, dasar pelakor! Bisa aja ngejebak suami orang. Kalau aja ada di dunia nyata, udah kubejek-bejek!Dosa menyakiti hati perempuan lain," pekik Oma Siska yang asyik menonton drakor dikamarnya.
Rumah Mihran
[Baik, Pak, saya kondisikan semuanya]
Mihran pun mematikan gawainya. Ia pun terdiam, bingung, bercampur semua rasa menjadi satu.
Amaliya datang menghampiri
"Kenapa sayang kok muka kamu gitu?" tanya Amaliya yang melihat wajah kusut Mihran.
"Itu tadi client aku yang mau makai Eliza jadi brand ambasador mereka. Ini proyek besar buat aku. Kayaknya proyek ini bakal lepas deh. Aku kan nggak mungkin ajak dia syuting dengan keadaannya yang begini," ungkap Mihran pada sang istri.
Amaliya tersenyum.
"Nggak apa,Sayang. Insya Allah, Allah akan ganti dengan hal yang lebih besar," kata Amaliya memberi semangat pada suaminya.
"Mihran, nggak usah dibatalin, aku siap syuting kok," ujar Eliza yang mendengar percakapan Mihran dan Amaliya di depan kamarnya.
"Kamu yakin dengan keadaan kamu begini syuting?" tanya Mihran.
"Justru dengan kondisi begini, aku butuh pekerjaan. Agar aku bisa melupakan masalahku," jawab Eliza menahan perih luka lebam disekujur tubuhnya.
Rumah Oma Siska
"Tuh kan, di drakor yang jadi pelakor pasti teman sendiri!" gerutu Oma.
"Oh my God! Aku harus mesti kasih tahu Amaliya ini!" ujar Oma Siska.
Oma pun mengambil ponselnya. Berkali dihubungi, nomor Amaliya tidak aktif.
"Ly, kenapa nomor kamu nggak aktif? Ya Allah, semoga aku masih bisa menyelamatkan rumahtangga cucuku," kata Oma Siska yang semakin khawatir.
Rumah Mihran dan Amaliya
"Tapi, El, gimana cara nutupin memar-memar diwajah kamu?" tanya Amaliya.
Eliza mendekati kedua sahabatnya
"Kalian tenang aja. Aku punya kenalan make-up artis terkenal kok. Beres semua ini sama dia," terang Eliza tersenyum.
"Kalian tahu nggak sih, aku beruntung banget punya kalian. Istri yang solehah dan sahabat yang terbaik!" ujar Mihran merangkul kedua sahabat wanitanya itu.
Eliza melirik ke arah Mihran, ia bergumam dalam hatinya, "sahabat?"
------
Eliza membuat podcast
"Terkadang kita sudah membuat rencana begitu rapi. Tetapi takdir menghancurkan segalanya. Seperti ombak memporak-porandakan istana pasir. Dan dia adalah ombak, karena aku selalu ada didekatnya. Istana pasirku akan hancur. Aku tidak punya pilihan lain lagi, selain menjauh darinya. Begitu selesai aku membantunya, aku akan kembali ke Amerika. Di mana ombaknya tidak dapat mencapaiku. Dan tidak dapat menghancurkan istana mimpiku."
"Eliza!"
Panggilan Mihran, membuat Eliza yang sedang asyik membuat podcast digawainya pun dibuat kaget.
Mihran pun mendekati posisi Eliza yang kini sedang menikmati debur ombak pantai.
"Kamu lagi apa?" tanya Mihran.
"Nggak apa-apa. Gimana, setnya udah siap?" tanya Eliza mengalihkan pembicaraan.
"Udah, Yuk!" ajak Mihran, menarik tangan Eliza menuju lokasi tempat mereka akan syuting.
Rumah Mihran dan Amaliya
Oma pun datang, berjalan perlahan, memperhatikan sekitar dalam rumah sang cucu yang nampak tak berpenghuni itu.
"Liya, Liya .... " panggil Oma Siska.
"Oma .... " jawab Amaliya yang baru keluar dari kamarnya.
"Kok sepi? Eliza sudah nggak tinggal di rumah kamu lagi? Udah pergi?" selidik Oma Siska.
"Eliza itu lagi syuting sama Mihran di Anyer," terang Amaliya.
"Whaaaaaaattt??? OMG! Ini bahaya, Liya, bahaya!" teriak Oma Siska.
"Aduh, Oma, aku bosan banget deh, Oma tuh parnoan banget! Oma, Eliza itu sahabat aku. Kalau emang Eliza suka sama Mihran, kenapa nggak dari dulu SMA? Kenapa baru sekarang? Eliza itu udah kuanggap saudara sendiri dan yang paling penting, aku percaya sama suamiku 100%!" ujar Amaliya yang mulai kesal mendengar keparnoan Omanya.
"Suami kamu memang orang baik. Tetapi suami kamu itu seorang laki-laki!" pekik Oma Siska. Amaliya pun tertawa.
"Mihran itu lelaki dan suami yang baik buat aku. Dan aku percaya 100% sama dia. Dia sangat mencintai aku," jelas Amaliya agar kekhawatiran Omanya itu mereda.
Lokasi syuting di Anyer
Mihran dan Eliza memasuki lokasi dan bersiap untuk syuting. Eliza pun segera diarahkan untuk melakukan syuting oleh sang sutradara sedangkan Mihran menunggu di bangku kosong disamping sutradara.
"Mihran, aku titip gawaiku ya."
Saat Eliza menitipkan ponselnya, secara tak sengaja ia melihat podcast Eliza yang diberi nama Suara Hati.
Mihran say's
"Eliza punya podcast? Ada yang judulnya pernikahan yang gagal. Kalau aku tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Eliza, mungkin aku bisa menolongnya dari keterpurukan."
"Wit, ada yang punya headset nggak?" tanya Mihran pada salah seorang karyawannya.
"Ini, Pak," jawab seorang karyawannya itu sambil memberikan headset miliknya.
Podcast Eliza
"Aku tidak pernah membayangkan meninggalkan pernikahanku sendiri. Aku sudah terbang ribuan kilometer dari masalalu. Namun, di saat menjelang aku memulai hidup yang baru, dia justru datang dan bilang kepadaku —kamu yakin dengan pilihanmu menikah dengan Dygta? Dan apa kamu juga yakin dengan cinta kamu itu? — Andai kamu tahu, Mihran, aku mencintai kamu, Mihran."
Mata Mihran terperanjat saat mengetahui jika Eliza mencintainya.
"Andai aku bisa memilih, aku akan siap menghadapi apapun jika kamu memilihku. Andai kamu bisa mencintaiku sama seperti kamu mencintai Amaliya, aku akan berbahagia menjalani sisa hidupku bersamamu. Tetapi itu nggak mungkin, Mihran. Pertanyaanmu dihari pernikahan aku, itu justru meluluhlantakkan hatiku. Aku goyah. Ini bukan pertama kalinya Mihran menggoyahkan kehidupanku. Selama ini aku selalu menolak semua pria yang mendekatiku karena menurutku tidak ada yang lebih baik daripada dia. Pria yang kucintai sejak SMA. Cinta pertama yang tak kunjung lenyap dari hatiku, Mihran ...."
Mihran pun melepaskan headsetnya dan menaruh gawai Eliza begitu saja dikursi. Mihran berjalan menjauh dari lokasi syuting itu dan pergi menepi dibibir pantai.
"Aku ini jadi laki-laki memang bodoh. Aku nggak peka sama perasaan aku sendiri. Pantas saja Eliza pergi ke Amerika dulu tanpa pamit. Pantas saja selama ini dia selalu risih kalau dekat-dekat sama aku. Atau jangan-jangan dia nggak jadi nikah cuma gara-gara aku. Aku udah ngancurin hatinya Eliza," lirih Mihran.
Lokasi syuting Eliza
"Kita break dulu ya!" teriak sang sutradara.
"Bagus yang tadi ya," tegur sutradara pada Eliza saat ia datang.
"Mbak, Mihran ke mana?" tanya Eliza yang tidak melihat keberadaan Mihran.
"Tadi pergi sih, mungkin balik ke hotel," jawab Wita, seorang karyawan Mihran.
"Kok dia ninggalin gawai aku sih gitu aja? Kan tadi aku titipin sama dia. Apa dia dengar podcast aku ya?" gumam Eliza.
"Aku harus cari Mihran," batin Eliza.
Saat hendak melangkah pergi, sutradara justru memanggilnya agar tidak pergi karena masih ada shoot lagi. Eliza pun mengurungkan niatnya.
Rumah Amaliya
"Liya, kamu kalau Oma kasih tahu jangan keras kepala! Oma tuh ingat-ingat ciri-ciri pelakor dari drakor.Pertama biasanya dia dari teman kita sendiri. Yang kedua, biasanya pelakor datang ke rumah karena diundang istri pertama. Yang ketiga, ada kesempatan si pelakor dan suami untuk berduaan."
Lokasi Mihran dan Eliza
"Gimana kalau Mihran jadi mrngasihaniku? Atau justru Mihran mentertawakan kebodohanku selama ini. Atau dia marah? Gimana kalau akhirnya Amaliya tahu kalau selama ini aku mencintai Mihran? Mau ditaruh di mana mukaku? Amaliya pasti kecewa banget, karena aku telah membohonginya? Ya Allah, harus gimana .... "
Eliza yang sedang merasa takut, khawatir jika Amaliya dan Mihran akan membencinya tidak menyadari kini ia sudah tidak berada di bibir pantai lagi, tetapi dalam ombak yang begitu besar dan ....
"Aaaaarrggghh ...." teriak Eliza yang sudah digulung ombak.
Mihran pun yang sedang berada tidak jauh, langsung berlari menolong Eliza.
Rumah Amaliya
"Yang keempat, si suami menolong si pelakor yang sedang kesusahan," lanjut Oma Siska.
"Setelah diselamatkan sang suami, si pelakor akan tambah jatuh cinta."
Mihran dan Eliza
Mihran pun berhasil menyelamatkan Eliza. Ia menggendong sahabatnya yang pingsan itu menuju bibir pantai. Ia merebahkan tubuh sexy Eliza itu di atas pasir.
"Eliza, bangun, El!" Mihran mencoba membangunkan Eliza berulang kali tetapi Eliza tidak juga tersadar.
"Eliza ...."
"Eliza, Ayo!"
Mihran pun berusaha menekan dibagian dada, agar Eliza terbangun.
"Eliza, bangun!"
"Eliza ...."
"Nggak ada pilihan lain lagi," gumam Mihran.
Saat Mihran hendak memberikan nafas bantuan agar Eliza terbangun, akhirnya Eliza pun sadar dan mengeluarkan banyak air. Eliza terbatuk.
"Eliza, kamu udah sadar? Alhamdulillah,akhirnya kamu selamat," ujar Mihran merebahkan kepala Eliza ditangannya, mengelus rambutnya.
Mihran pun berjalan, menggendong Eliza ke daratan.
Rumah Amaliya
"Si pelakor itu menjeratnya bermacam-macam lo, Liya! Pasang muka sedih, menangis,merasa bersalah karena mencintai suami orang."
Mihran dan Eliza
Mihran terus berjalan, menggendong Eliza. Eliza menatap Mihran dengan tatapan penuh cinta.
Rumah Amaliya
"Pelakor itu jago memainkan perasaan suami orang. Seperti ular berbisa. Sekali menggigit, bisanya akan menyebar ke seluruh tubuh suami orang."
Mihran dan Eliza
Mihran terus berjalan, pandangannya ke depan. Entah di mana ia berhenti, Mihran pun tidak tahu.
Rumah Amaliya
"Kamu harus bertindak secepatnya. Jangan sampai menyesal," lanjut Oma Siska.
"Serem ya, Oma," timpal Amaliya yang seolah ketakutan dengan cerita keparnoan sang Oma.
"Serem!" jawab Oma Siska.
"Oma, aku ke kamar dulu ya mau ambil gawaiku." Amaliya pun melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan sang Oma dengan keparnoannya.
"Oma, kalau mau pulang, jangan lupa tasnya dikursi ya," teriak Amaliya di dalam kamar.
"I-iya,Oma pulang ya, Amaliya," jawab Oma. Oma Siska pun mengambil tasnya dan pergi
"Iya, Oma, daahh," teriak Amaliya di dalam kamarnya.
****
Mihran dan Eliza
Mihran yang sudah kelelahan menggendong Eliza dan sudah berjalan cukup jauh akhirnya jatuh terduduk bersama Eliza.
Saat Mihran hendak bangkit dan meninggalkan Eliza, gadis bermata bulat itu pun menarik tangannya.
"Mihran!"
Masih dalam keadaan tubuhnya berbaring di atas pasir, Eliza pun bertanya pada Mihran.
"Apa tadi kamu dengerin podcast aku?"
Eliza pun kini duduk, berhadapan dengan Mihran.
"Jujur sama aku, Mihran. Apa kamu marah?" ujar Eliza mengelus tangan lelaki bertubuh kekar di depannya itu.
"Apa kamu marah karena aku mencintai kamu dan selama ini aku membohongi kamu?" ujar Eliza terisak.
"Jujur sama aku, Mihran .... "
Mihran hanya terdiam
"Sebaiknya kita tidak usah bahas soal ini. Kamu berhak mencintai siapapun. Begitu juga dengan aku. Aku berhak memilih, dengan siapa wanita yang ingin aku cintai," kata Mihran tegas. Ia pun berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Eliza.
Eliza pun bangkit, berlari mengejar Mihran dan memeluknya dari belakang. Sangat erat, seolah Eliza tidak ingin melepaskan pelukan itu.
Rumah Amaliya
Amaliya merasakan kegelisahan. Entah mengapa ia jadi kepikiran kata-kata Oma Siska tadi. Ia pun mengambil gawainya dan menghubungi nomor Mihran.
"Kok, Mihran nggak diangkat sih?"
"Coba kutelepon Eliza deh."
Amaliya pun kini menghubungi nomor Eliza. Namun, ia tidak juga mengangkat teleponnya.
"Kok Eliza juga nggak angkat teleponnya? Apa jangan benar yang Oma bilang? Mungkin nggak sih kalau mereka sekarang sedang mesra-mesraan di sana?"
Mihran dan Eliza
Mihran hanya terdiam, ia pun tak berusaha melepaskan pelukan itu. Sedangkan Eliza sedang menikmati, ia menangis. Eliza terbawa suasana.
Mihran pun kini menoleh ke arah belakang. Kini netra keduanya beradu.
Rumah Amaliya
"Duh, Ya Allah, kenapa aku jadi kepikiran kata-kata Oma kayak gini sih?"
Mihran dan Eliza
Mihran pun melepaskan pelukan Eliza.
Rumah Amaliya
"Nggak! Mihran nggak mungkin kayak Gitu. Mungkin kalau laki-laki lain bisa kayak gitu. Tetapi bukan Mihran."
Mihran dan Eliza
Netra Mihran dan Eliza saling beradu. Kini Eliza semakin mendekat dan memegang wajah Mihran dengan lembut.
Rumah Amaliya
Amaliya mengelus cincin berlian pemberian Mihran.
"Aku nggak perlu khawatir. Mihran kan nggak pergi sama orang lain tetapi sama Eliza, sahabat aku sendiri."
"Saat aku menikah dengan Mihran,aku percaya 100 persen sama dia."
Amaliya tersenyum. Ia yakin, kepercayaannya tidak akan dikhianati.
Mihran dan Eliza
Eliza semakin mendekat, netranya menatap Mihran dengan penuh cinta. Dan ... Eliza pun mencium lembut Mihran. Mihran pun tak mengelak. Mungkin terbawa suasana debur ombak pantai.
Amaliya duduk di teras belakang sambil menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng.
"Bunda .... " panggil Alia.
"Sayang, kok kamu udah bangun aja? Tidur siangnya sebentar?" tanya Amaliya. Ia pun memangku putri tunggalnya.
"Tadi Alia mimpi. Emang kalau mimpi siang bisa jadi beneran ya, Bun?" tanya gadis polos itu.
"Tadi Alia mimpi, Ayah pergi. Waktu Alia tanya kapan pulang, Ayah langsung masuk ke dalam mobil. Dan Bunda tahu nggak? Di dalam mobil ada Tante Eliza! Sekarang Alia sedih banget, karena Alia nggak diajak pergi," ujar Alia menjelaskan mimpinya.
"Astaga, kenapa Alia bisa jadi mimpi seperti itu? Alia kan sangat dekat sama Mihran," batin Amaliya.
Akankah mimpi Alia menjadi nyata?
bersambung ....