Pagi itu mata tuan muda Dravinda tercalang, dia melirik ke sekitar, alangkah terjingkat kagetnya dia ketika menyadari dirinya tertidur di kamar yang sebelumnya di huni oleh nona Dhanda tersebut.
"Tan..." Panggilnya, sembari turun dari ranjang itu, tanpa berfikir entah apa yang telah di perbuat nya semalam terhadap gadis itu, Vin seolah amnesia dengan tingkah laku buruknya yang nyaris ingin menjadikan nona Dhanda seutuhnya sebagai milik nya.
"Tan" sahut nya lagi, mengarah ke arah toilet tapi kosong, lantas melirik ke arah sofa bantal dan selimut bekas tempat tidur sang nona masih tergeletak di sana, Vin sampai menepuk keningnya sendiri, karna ulahnya yang telah sampai membuat wanita itu tidur di sofa.
"Vindra bodoh" rutuknya
"Dia akan semakin hilang respect padamu, hah kacau, rencana ku bisa kacau aakh" sesalnya lagi.
Vindra terus saja berteriak teriak keras di sepanjang bungalow itu, memanggil dan mencari cari sang nona ke setiap sudut nya, namun tidak ada siapapun, semua yang ada di hadapannya hanya kesenyapan semata, kosong dan juga hening.
Vindra niat ke garasi mengambil mobilnya, barulah dirinya tersadar mobil sang nona sudah lenyap dari sana, apa dia telah kembali? Begitu batinnya.
Lantas dia merogoh kantong nya, mencari cari ponselnya, mencoba menghubungi sang nona, namun sepertinya bukan.
"Ya baiklah" begitu perkataan nya, sebelum akhirnya menutup telpon itu. Jelas sekali yang di hubungi nya bukan lah wanita itu, dia tidak akan bicara sesingkat itu dengan nona Dhanda apalagi terdengar dingin seperti tadi, Vindra tidak akan berlaku demikian di hadapan wanita tersebut, sudah menjadi prinsip bagi nya untuk bersikap lebih hangat kepada para gadis gadis.
Dia kembali ke kamarnya, membersihkan dirinya, sembari mengingat ingat lagi kejadian semalam, apa yang telah membuat Tanisha sampai meninggalkan bungalow pagi ini, apa sikapnya sudah sangat keterlaluan semalam?
Semalam tingkahnya benar benar persis seperti seorang pria yang tengah depresi akibat penolakan keras dari wanita yang di cintai nya, apakah benar perasaan nya memang sudah sejauh itu saat ini?
Hanya karna sakit hati ketika wanita itu mengatakan kalau dirinya tidak bisa di miliki laki laki manapun kecuali sosok Gavin, sampai membuat tuan muda Dravinda bertingkah gila, bak seseorang yang tengah mengalami insiden broken heart dalam metode yang lebih dalam, berasa putus cinta tapi tidak pernah jadian, rasanya ketika mendengar Tanisha berkata demikian itu seperti ribuan belati tajam menghujam jantungnya.
Tuan muda Dravinda pun emosi seketika, kepalan tangan nya mengeras kuat hingga menonjokkan nya berkali-kali ke arah tembok, di tengah derasnya pancuran shower yang menerpa wajah tampannya yang tiba tiba membengis itu, entah dia marah dan kesal karna mengingat dendam nya, atau justru karna pengakuan dari nona Dhanda semalam?
"Tidak ada yang lebih berharga dari kamu Asha" isi benaknya saat ini sembari memejamkan matanya, membiarkan pancuran shower itu leluasa mengalir dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh kokoh nya.
"Suatu saat pasti ada Vin, hm? Jodoh itu tidak bisa di tebak loh asalnya dari mana, kita yang memutuskan menerima takdir itu atau justru melakukan penolakan dengan cara menolak kenyataan, yah yang rugi kita sendiri lah, padahal yang buruk menurut kita itu belum tentu buruk loh, yakin deh" sepenggal jawaban dari masa lalu nya yang mengiang kini. Gadis itu menatap nya dengan senyum yang teramat manis.
"Tidak mungkin" rutuk nya dengan mata yang sudah mencalang lebar, dia lekas mematikan keran air itu, mengambil handuk melilitkan ke pinggang nya.
Namun di depan cermin melihat sendiri pantulan wajah tampannya seakan hanya mengguratkan sebuah dendam, dendam dan dendam, pembalasan atas luka nya yang sampai saat ini belum sedikit pun mengering, namun di samping itu, kepolosan seorang nona Dhanda tampak begitu jelas dari sisi lain wajahnya yang penuh api murka itu, ada keteduhan dan setetes embun kesejukan menggelayangi merengkuh damai di sana.
"Have i fallen in love? Tan?" Ucapnya dalam tatapan yang mendingin.
Seketika sang nona terpekik keras, saat sedang menikmati sarapan nya di meja makan sederhana milik ibu Asih.
"Sakit ibu.. aakh sakit banget hek hek...." pekik di barengi dengan rengekkan manja nya disana, tetesan air mata nampak gugur saling kejar kejaran di pipi mulusnya.
"Apa yang sakit nak?" Ibu Asih keheranan dengan tingkah tersebut yang tiba tiba terpekik lalu meraung raung manja ucapkan kesakitan.
"Lidahnya kegigit bu, aaah sakit bangat ibu hiks..." rengeknya.
Sang ibu berdiri menghampiri nya, mengusap usap tengkuk nya, lantas meminta sang nona untuk membuka mulutnya memastikan apakah itu berdarah atau tidak.
"Gak papa kok nak, hati hati lain kali yah, makannya pelan pelan saja hm?" Nasehat ibu Asih dengan lembut, dia mengangguk sambil memanyunkan bibirnya dalam gurat cantik yang sangat manja.
"Gavin udah gak ada bu, Tan harus apa sekarang? Dia udah pergi dia udah bersatu dengan Rindu di sana" lirih nya dengan kepala yang kini rebah di paha sang ibu, dengan tubuh yang terbaring putus asa di sofa tua itu. Ibu Asih hanya bergurat sendu sembari membelai rambut kecoklatan nya yang panjang.
"Kita tidak bisa memutuskan sesuatu nak, kita hanya bisa berencana tapi yang nentuin adalah sang pencipta, jika rencana kita gagal jangan bersedih kita harus bahagia karna itu adalah rencana Tuhan yang sudah pasti lebih baik untuk kita"
"Tapi sekarang Tan harus apa Bu?"
"Pulang lah kembali lah, ayahmu dan ibumu pasti sudah merindukan mu di sana nak, jangan memaksakan sesuatu atau pun menurunkan sebuah sumpah yang hanya membuat mu tertekan dan ujung ujungnya menderita seperti ini"
"Tapi Tan merasa bersalah dengan Rindu ibu"
"Ibu wakilnya, Rindu adalah anak yang sangat berbakti terhadap ibu, ketika hati ibu sudah ikhlas lalu kenapa dia tidak? Dia mungkin sudah sangat bahagia di sana, apalagi melihat ibu mendapatkan seorang putri yang sangat cantik dan berhati tulus seperti ini, Rindu sudah sangat bahagia di sana, kamu harus percaya itu, mulai lah kembali tata hidup kamu, tentukan pilihan mu sendiri jangan lagi berpatokan pada rasa bersalah dan sumpah itu hm?" Nasehat yang cukup merenyuhkan batin sang nona.
"Mau kah ibu ikut dengan Tan? Tinggal di rumahnya Tan bu?" Rengeknya kemudian.
"Gak bisa sayang, ibu punya pekerjaan disini, selain itu jika ibu ikut apa nanti yang akan di pikirkan oleh kedua orang tua kamu, dan juga Rindu akan kesepian disini, Tan punya masa depan, punya cita cita, jalani saja itu gapai impiannya, wujudkan, hm, sekali lagi ibu minta jangan lagi merasa bersalah atas kepergian Rindu, hidup lah dengan tenang nak, dia damai di sana, kamu damai disini hm, berbahagialah, yakin lah nak ibu sudah sangat ikhlas nak, ini jalan takdir yang terbaik untuk kita hm?"
Tuturan lembut lagi dari ibu Asih, namun bola kebiruan nan indah itu tampak menggersang.
Ibu Asih lumayan terkerinjat ketika mendapati sesosok pria tiba tiba berdiri di hadapan nya.
"Pulanglah nak, seseorang sudah menjemput kamu tuh?" Ucapnya kemudian, sang nona terkesiap langsung bangkit, kedua matanya sontak terperangah dalam bibir membungkam, terarah pada sosok tersebut.