"Di mana aku?"
Tidak ada ancaman atau rasa sakit seperti perkiraan Jean, saat kakinya menyeberang ke pintu teleportasi, dia malah disambut oleh angin sejuk bagai dari lautan teduh pasifik juga aroma 'wood sage' menyegarkan hingga ke rongga kepalanya.
Surai sunsetnya melambai-lambai, kakinya menjejak tanah – sepertinya. Mata Jean menyipit untuk mengintip di mana keberadaannya.
"Kita sampai. Bukalah matamu. Kupikir kau akan menyukainya, Jean." Azael berjalan di depan, tampaknya Hunter dan Carver telah membawa Rhett langsung ke klinik Jeo.
Jean membuka matanya lebar-lebar, melongo diringkus ketakjuban dan tercengang, lidahnya kelu kehilangan kata-kata. Kakinya menjejak sabana rumput hijau terindah yang pernah dia lihat seumur hidupnya.
Hamparan hijau luas, berlatar belakang pemandangan bukit pegunungan di mana rusa-rusa putih antler berkeliaran mencari makan di dekat padang tanaman bervarietas baby blue-eyes, di mana warna biru cerah mendominasi di kelopaknya yang bermekaran indah.
"Rusa putih?"
"Yeah, mereka penjaga akademi ratusan tahun belakangan." celetuk Azael tak membuang senyumnya.
Jean tiada hentinya terkesima, langkah kakinya benar-benar membelah lembutnya sabana hijau itu, juga kelopak bunga baby blue-eyes yang sangat cantik dan beraroma semerbak. "Apa?! Kau pasti bercanda."
"Memangnya aku kelihatan bergurau? Lewat sini." ajak Azael menunjukkan jalan menuju akademi.
Pandangan mata Jean menjelajah, terdapat jalan lebar terjal yang mesti didaki. Di kanan kiri berbanjar hutan magis pohon-pohon pinus berbatang raksasa yang bertengger dengan angkuhnya. Kabut tipis menyelubungi, Jean benar-benar merasa berpijak di dunia lain.
"Apa tempat ini punya nama?"
"Tempat ini luput dari dunia manusia atau makhluk jahat penghuni dunia bawah salah satunya dark legion yang kau temui semalam. Kami menyebutnya surga untuk remaja-remaja berkekuatan super. Mereka sama berbakatnya seperti dirimu. Akademi menerima hangat dan menjamin kehidupan mereka tanpa terkecuali." cericau Azael tak keberatan menjawab semua pertanyaan Jean.
Jean mengimbangi langkah tegap pemuda itu, "Berarti masih banyak remaja lain seusiaku yang punya kekuatan supernatural seperti diriku?"
Azael mengangguk tegas, "Tentu saja, termasuk aku. Rata-rata kami punya latar belakang kehidupan yang menyedihkan. Principal pemilik akademi ini punya visi, misi dan tugas mulia, salah satunya melakukan misi penyelamatan untuk remaja-remaja berbakat yang terbuang. Layaknya asrama kampus di dunia manusia kebanyakan, di sini kau makan enak, belajar kendalikan kekuatanmu, menghadapi ujian-ujian tertentu juga musim liburan semester. Yang jelas, kau harus menggunakan kekuatanmu itu di jalan kebajikan."
"Sepertinya Principal orang yang sangat terhormat, ya? Dari cara bicaramu, Rhett, Hunter dan Carver, beliau pasti orang hebat." kurang hati-hati melangkah, Jean sempat tersandung dan nyaris tersungkur di atas bebatuan kerikil.
Respon gesit dari Azael yang langsung menangkap pinggang Jean dalam rengkuhannya, kepala Jean mendarat di dada berbidang pemuda itu hingga ia bisa mendengar alunan degub jantung Azael yang lembut.
Pinggul Jean sangat pas jatuh di dekapannya, aroma montblanc kuat terendus memabukkan membuat rongga kepala Jean berdenyut dan Azael ternyata memesona dilihat dari jarak sedekat ini.
Azael berdeham, "Kau baik-baik saja, Jean?"
"Ah! Maaf!" Jean buru-buru menjauh, lepaskan diri dari secuil aksi heroik Azael yang ternyata sukses membuat jantungnya berlompat-lompat riang.
Jean menunduk dalam untuk menepuk jidatnya, dia pun membatin, [ Ini sangat memalukan, Jean! ]
Tanpa sadar aliran darah naik ke pipinya. Berdesir merona. Jean merasa sangat rikuh sekarang, Azael yang menyadari itu pun tertawa kecil.
"Aku juga tidak bermaksud, Jean. Omong-omong, kita sudah sampai. Dan, perhatikan langkahmu." tangan Azael menunjuk ke atas, dia melanjutkan perjalanannya.
Jean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tertawa getir.
Di balik arak-arakan kabut tipis yang pelan-pelan tersingkap, sepasang mata jernih milik Jean Venthallow Argent seolah dihipnotis oleh keberadaan kastil megah gaya abad pertengahan berdiri kokoh di atas puncak pegunungan.
Menara-menara pencakar langit berkubah klasik itu tertutup oleh separuh lembutnya awan-awan putih di angkasa, atapnya berwarna navy. Dinding-dindingnya terbuat dari bebatuan pualam dengan jendela-jendela raksasa berkerai hitam tersebar di tiap sudutnya.
Jean terpana, matanya berbinar jernih. Saking luar biasa indahnya dia tak mampu menggambarkannya dengan kata-kata lagi, "Inikah yang disebut keindahan lukisan tangan yang Maha Kuasa? Pantas saja kau menyebutnya surga para remaja berkekuatan super."
Siulan kecil lolos dari bibir ranum Jean.
"Keren 'kan? Kau tidak akan menemukan tempat seperti ini di dunia manusia. Kau harus lihat bagian belakangnya. Terdapat hilir dengan air jernih di sana."
Kastil itu punya gerbang menjulang setinggi belasan kaki, Jean mengira mungkin tingginya empat kali dari kepalanya. Gerbangnya memisahkan jalanan aspal rata menuju perkarangan kastil dengan dunia luar, khususnya hutan pinus dengan jalan terjal penuh kerikil kecil tadi. Terbuat dari baja kokoh dan ada simbol L.A di bagian pengunci tengahnya.
Simbol itu terpisah saat gerbangnya perlahan-lahan berderak terbuka lebar. Jean berjalan masuk tiada hentinya memuji tempat ini, dan Azael mengekor di belakangnya. Menyusuri jalan perkarangan lebar serta panjang dengan serangkaian tembok tinggi yang terbuat dari beton pualam.
Konturnya meliuk-liuk, kemudian menanjak kian curam sebelum Jean benar-benar melihat pintu utama kastil yang terbuat dari kayu mahogani raksasa menyambutnya. Simbol LA raksasa pun tercetak di sana.
Pengap serta rasa lelahnya dikalahkan oleh pemandangan lansekap yang memanjakan mata Jean.
"Kastil ini benar-benar berdiri di puncak gunung?" Jean masih takjub, rasanya seperti mimpi berada di sini. Angin sejuk menyapu rambut sunsetnya lagi.
Azael mengangguk, "Yah, terima kasih pada beton-beton di lereng bawah yang menopang kastil ini. Jalanan pekarangan ini menghubung pintu kastil timur dan barat. Kau bisa masuk dari mana saja."
"Keren sekali…"
"Masih merasa takut dan menyesal?"
Jean tersipu malu, "Kalau tempatnya sekeren ini aku tidak akan pernah menolak dari awal. Maaf, sempat mencurigai kalian. Jadi, kalian berempat Shadowcaster? Apa artinya itu?"
Belum sempat Azael menjawab pertanyaan Jean, pintu kastil bergetar kencang. Jean mundur selangkah saat serangkaian tuas-tuas pengunci dari dalam terdengar berputar pelan. Simbol akademinya ikut berputar dan terpisah saat pintu kastilnya terbuka menganga lebar.
Jean disambut oleh hawa kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, aroma cedar menebal di hidung mancungnya. Dia lebih tercengang lagi kala memindai interior bagian dalam kastil akademi di mana warna emas dan silver mendominasi.
"As… ta… ga…"
Terpatri membeku di tempatnya, langit-langit kastilnya sangat tinggi. Jean perlu mendongak saat matanya menjelajah. Berkubah menampakkan keindahan cakrawala di malam hari. Pilar-pilar emas berukiran rumit nan indah memancang di mana-mana, lantai marble mengilap, tirai-tirai sutera berwarna crimson terpajang di setiap kerai jendela.
Lampu kandelar raksasa tergantung di tiap langit-langit, mural-mural emas yang menceritakan keagungan malaikat-malaikat pembela kebajikan, bertugas melindungi keseimbangan dunia dan melawan makhluk berkekuatan jahat dari kegelapan.
Liukan tangga besar berkarpet maroon menuju lantai dua, bendera kebesaran 'Lucelence Academy' tergantung di dinding tengah. Kemegahannya bagai di kastil-kastil kerajaan di film kebanyakan.
"Apa aku sedang bermimpi?" Jean bahkan mencubit pipinya, lantas meringis sendiri. "Bukan mimpi. Ini kenyataan."
"Ayo, Mrs. Elvana sangat menunggu kedatanganmu."
"Siapa Mrs. Elvana?" tanya Jean kali ini membuntuti punggung tegap Azael dan menaiki tangga besar.
"Wakil Principal."
"Kau belum menjelaskan Shadowcaster itu apa?"
Azael menimbang, tapi waktunya sempit. "Mungkin lain waktu, Jean. Aku harus menjenguk dan pastikan kondisi Rhett. Untuk saat ini, tugasmu hanya menemui wakil principal. Beliau yang akan menjelaskan segalanya."
Lorong-lorong panjang seakan tiada ujungnya, tak ada satu pun tempat di kastil ini yang luput dari kemegahan serta kemewahannya. Samar-samar Jean menangkap suara-suara ramai penuh riang menggema di dinding lorong.
Kedengarannya para remaja yang tengah bertanding sepak bola di lapangan sebelah utara, Jean mengintip dari jendela raksasa.
Benar saja, sekumpulan remaja perempuan berdiri di samping lapangan, meneriaki idola-idola mereka menggunakan kata-kata nakal, sementara remaja laki-laki tengah bertanding di tengah lapangan.
Aturan mainnya bukan menggunakan kaki, melainkan menunjukkan kebolehan menggunakan kekuatan mereka dan pengoleksi gol terbanyak adalah pemenangnya.
"Fantastik." gumam Jean melongo, remaja seusianya, menggunakan kekuatan mereka masing-masing. Bebas tanpa ada celaan, hinaan atau penolakan dari siapa pun.
Jean tersenyum antusias.
Dari sini pandangan Jean menerawang ke luar jendela raksasa ke sebelah selatan. Azael benar, hamparan hilir sungai jernih membentang di bawah kaki-kaki pegunungan. Jean bahkan bisa melihat dengan jelas endapan bagian dalamnya.
Ikan-ikan trout berwarna terang, melompat-lompat berenang melawan arus.
Azael mendadak terhenti di depan pintu kayu raksasa kembar berwarna hitam tanpa aba-aba, Jean yang kurang fokus karena terlalu sibuk dan bahagia menjelajah kastil, menubruk punggung tegap Azael dalam satu serudukan.
"Aduh! Maafkan aku! Aku tidak sengaja!" kata Jean mengusap jidatnya pelan.
"Kau harus kurangi kecerobohanmu." Azael mengetuk-ngetuk dahi Jean dengan lembut.
Jean malah mematung, tidak paham sikap apa itu barusan?
[ Lantas aku harus bagaimana? Senang atau −? ]
Jantung Jean malah berdebar kacau.
Azael mengetuk pintu itu pelan, beberapa detik berselang terdengar suara perempuan dari dalam ruangan itu.
"Silakan masuk." perintahnya.
"Mrs. Elvana? Aku datang membawa Jean Venthallow Argent."
Elvana beranjak dari meja kerjanya, tersenyum hangat dan lebar. "Ah, akhirnya! Aku memang telah menunggumu, Jean. Mari duduklah. Terima kasih banyak, Azael. Kau boleh kembali."
"Aku permisi, Mrs. El."
Pemuda itu benar-benar pergi, meninggalkan Jean berdua bersama wakil principal – katanya. Meja kerja Elvana Skylark sangat besar, terdapat papan nama jabatannya tercantum di sana juga peralatan-peralatan kerjanya. Tumpukan silabus tebal tampak di sebelah kiri lengannya.
Dengan sungkan Jean menarik kursi, duduk diseberangnya.
Ruangan itu bersahaja sama seperti pemiliknya, Elvana Skylark sangat cantik dan anggun di mata Jean. Surai hitam legamnya bercahaya, kulit mulus dengan tulang pipi tinggi. Mata 'forest'nya menatap Jean hangat.
"Nah, Jean. Beragam pertanyaan membingungkan pasti penuhi benak dan pikiranmu, kan?"
Beliau ramah, baik hati, juga sikapnya lembut. Senyum manisnya tak pernah luntur dari bibir penuhnya yang dipulas warna maroon. Intonasi suaranya menguarkan pancaran aura positif yang membuat Jean merasa sangat aman. Meski mereka baru bertemu beberapa menit lalu.
Mungkin usia beliau telah memasuki kepala empat, seumuran dengan Candice?
Tak bisa dipungkiri kalau dia memang merindukan ibunya.
"I−iya, Mrs. El." jawab Jean terbata.
Elvana tersenyum hangat lagi, "Jangan takut, sayang. Azael pasti telah menceritakannya sedikit 'kan?"
Jean mengangguk lagi.
"Kau akan aman di akademi ini, bersama kami. Atas permintaan dan keinginan Principal sendiri. Setelah mendengar kabar yang beredar. Kau pasti sangat takut di luar sana. Manusia memperlakukanmu tidak adil. Itu memang sifat mereka, kadangkala enggan mendengar atau memahami kita. Oh! Maaf, aku malah meracau." ujarnya tertawa kecil. Keluarkan sesuatu dari lacinya, memberikan sebuah map plastik ke hadapan Jean.
Menerima map plastik tersebut, Jean membuka halaman per halamannya. Satu per satu, membacanya dengan seksama. Isinya membuat sepasang mata hazelnya membelalak lebar.
Dia membatin, dahinya terlipat. [ "Apa ini?" ]
.
.