Chapter 3 - Shadowcaster

[ Traaangggg!! ]

Jean mengangkat kedua tangannya, cahaya-cahaya crimson menguar kuat di udara. Dia melakukannya sesuai kendali pikirannya. Menghancurkan para dark legion menjadi debu dalam satu sapuan. Dia ayunkan tangan kanannya untuk menyerang lagi, kali ini mencabut tangga-tangga besi di atas kepalanya.

Besi-besi itu berdentang melayang di udara, membentuk puluhan peluru-peluru runcing setajam belati. Jean melemparnya, satu serbuannya langsung menusuk dan meledakkan ratusan pasukan tengkorak-tengkorak berasap itu tanpa sisa.

Mereka menggeram marah, dark legion menyemburkan api dari tulang mulutnya bersamaan. Melebihi semburan naga, Jean langsung merentang kedua tangannya, menciptakan sebuah segel perisai kuat untuk melindungi diri dan pemuda berambut pirang yang tersungkur akibat pendarahan hebat yang dialaminya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jean cemas.

Darah pemuda itu merembes di aspal, dia agak terkejut dengan bantuan tidak terduga itu. Dia pun mengangguk pelan, napasnya memburu dan peluh dingin basahi dahinya.

Ketika semburan itu sempat lenyap untuk beberapa jeda, Jean mendapat serangan fisik dari dark legion lain yang menyerangnya dari samping. Belum sempat segel perisainya aktif, Jean terjerembab setelah punggungnya terbang dan menghantam dinding bangunan cukup keras.

"Aaakh!"

Kepalanya langsung pening, merasakan nyeri memanas di belakang kepalanya. Dark legion langsung mengerubunginya.

"Tinggalkan dia sendiri sialan!"

Pemuda itu bangkit, menebas mereka yang mencoba merenggut jiwa si gadis berambut sunset itu. Meski susah payah dan terseok-seok. Lukanya menganga lebar, darahnya terus keluar.

Jean pun merayap bangun, menerbangkan kotak bak sampah besi dan melemparnya pada kerumunan dark legion. Beberapa tengkorak itu hancur akibat terjepit, asap-asap lainnya masih berkeliaran.

"Kau alami pendarahan, kau harus segera diobati." Jean bingung melihat darah sebanyak itu.

Pemuda itu punya tato hitam tercetak jelas di lehernya, tumbang kesekian kali. Dia menggeleng cepat, kelelahan sebab pendarahannya terus melinang.

Pemuda itu mengesah, "Tidak ada waktu, mereka terus berdatangan. Andai teman-temanku di sini. Mereka masih dalam perjalanan. Kau punya kekuatan, bisa sembuhkan lukaku?"

"Aku tidak tahu caranya, ini pertama kalinya aku menggunakan kekuatanku!" Jean menggeleng.

"Hei, aku tahu kau... Kau − Jean Venthallow Argent 'kan? Gadis yang ada diberita dan meratakan gedung sekolah?"

[ Deg! ]

Jantungnya tercubit mendengar ucapan pemuda itu barusan, sehingga membuat Jean kurang fokus. Kekuatannya langsung melemah karenanya.

"Akademi gempar, mereka tiada hentinya membahas dirimu. Aku ke sini bersama Shadowcaster lainnya datang untuk menjemputmu, Jean. Principal yang mengutus kami." tambahnya lagi.

Jean melongo kebingungan, tak paham arah percakapan ini, belum sempat angkat bicara untuk beragam pertanyaan, dark legion yang tersisa pun siap menyerang lagi. Mereka menggeram kian marah, asap-asap itu saling menyatukan diri dan membentuk monster tengkorak berasap merah.

"Grooaaaarrrrr!"

Geraman itu menciptakan embusan angin kuat, hempaskan apa pun di hadapannya. Rambut Jean berkibar saat monster itu menggeram. Rhett membentuk perisai silver menggunakan kekuatan pedangnya, melidungi dirinya dan Jean dari serbuan angin dahsyat itu.

"Bedebah sialan!" pemuda itu mengumpat, hendak bangkit tetapi nyerinya tidak tertahankan.

"Tetap di sini, jangan terlalu banyak bergerak. Serahkan saja padaku."

Pemuda itu tersenyum di tengah perjuangannya menahan pendarahan, keringat dinginnya sibari seluruh tubuhnya, wajah imutnya sepucat kertas. "Yakin, kau bisa melakukannya?"

Jean mengangguk pelan, "Aku coba."

Pemuda itu menancap pedangnya ke aspal, Jean sempat heran bagaimana pedangnya bisa memancang aspal yang kokoh semudah membelah roti?

"Ini akan melindungimu. Fokus, kau pasti bisa. Tusuk jantungnya, itu cara membunuhnya. Omong-omong, aku Rhett Valentine. Senang berjumpa denganmu." katanya dengan napas terengah-engah.

Membuka sweaternya, Jean menyumpal luka menganga lebar di perut Rhett. "Tekan di sini. Kau harus menekannya."

Pedang Rhett bersinar kembali, menguarkan cahaya silver pekat menyilaukan.

Semburan api luar biasa dahsyat keluar dari mulut monster yang super besar itu, cahaya di pedang Rhett menguar. Melindungi Jean dari serangan semburan api. Sang monster penuh api itu perlahan maju, memperkuat serangan semburannya. Pedang silver Rhett pun kokoh menjaga Jean.

Jean mengangkat tangannya ke udara, setidaknya dia mencoba serangan satu ini. Di atap gedung sebelah kirinya terdapat torrent tangki air besar berdiri di atas sana. Jean menggunakan kekuatannya meremukkan kaki-kaki besi yang menopang tangki air tersebut.

"Ayolah. Cepat!" Jean menambah kekuatannya.

Sang monster terus pangkas jarak, menyemburkan tambahan api lagi. Cahaya di pedang Rhett pun mengeluarkan cahaya lebih besar lagi.

Jean mengerang keluarkan segenap tenaga maksimal.

[ Krangggg! ]

"Terima seranganku!" serunya terbawa suasana.

Keriat-keriut logam yang bengkok, tangki itu pun perlahan-lahan bergerak. Mulai terjatuh dari kaki-kaki besi yang dihancurkan oleh kekuatan telekinesis milik Jean. Satu per satu bongkahan bautnya terlepas, hujan air bah turun secepat kilat dari langit, terjun langsung tepat menghunjam monster dark legion di bawahnya.

Apinya langsung meredup, asapnya pun berkelebatan. Mereka berteriak kesakitan berupaya pisahkan diri. Jean menemukan keberadaan jantung monster itu, menerbangkan pedang milik Rhett yang tertancap di aspal dengan tangan kirinya. Melesatkannya bagai anak panah tepat ke jantung monster dark legion yang kemudian meledak dan melebur bersama ledakan cahaya silver pekat.

[ Blaaaaaaarrrrrrrzzz!!! ]

Jean menaungi pandangannya dari ledakan cahaya luar biasa menyilaukan itu, meninggalkan debu arang beterbangan dan teriakan pesakitan menggema di seluruh penjuru kota London.

Dark legion itu lenyap tanpa bekas.

Napas Jean pengap karena kelelahan, tubuhnya merosot di atas aspal. Ini pertama kalinya dia mengendalikan kekuatannya, seluruh ototnya letih. Jean tak percaya dia bisa melakukannya. Tangannya gemetaran, ia syok kehilangan kata-kata.

"Itu keren, Jean." puji Rhett tulus. Tertawa kecil. Bayangan mata di bawahnya menebal.

"Aku tak percaya bisa melakukannya."

"Rhett Valentine!" seru seseorang muncul turun dari langit.

Ketiga pemuda berwajah tampan menawan lainnya berdatangan, lekas menghampiri Rhett yang terduduk lemas di aspal.

"Aku sekarat, Azael." Rhett meringis nyeri.

Azael meredam kepanikan saudara perjuangannya itu, "Tenang, kawan. Kau akan baik-baik saja. Carver, segera obati lukanya! Maaf kami terlambat."

Carver membuka ritsleting jaket Rhett, luka di perut kanannya menganga lebar dan tampak dalam. Darahnya tiada henti merembes deras. Kepala Carver menggeleng-geleng, "Ini buruk, Azael. Dia harus dapatkan perawatan medis segera. Aku hanya bisa menahan pendarahan, cuma Jeo yang bisa membuang racunnya. Hunter, keluarkan plesternya."

Hunter mengangguk cepat, kemudian membuka tas punggungnya. Napasnya ikut memburu. Tangannya keluarkan plester berukuran besar berwarna putih, "Bertahan, Rhett. Tenang, kami di sini."

"Lakukan saja yang terbaik, Carver. Tetap bertahan, bro. Aku akan membawamu pada Jeo!" janji Azael bersumpah akan melakukan apa pun untuk kesembuhan Rhett.

Rhett meraung nyeri ketika Carver menyiram lukanya dengan cairan berwarna biru di botol kristal kecil dari dalam saku jinsnya. Hunter menopang kepala Rhett dalam pangkuan, menjaga guncangannya. Tangan Carver keluarkan cahaya hijau, melakukan pengobatan melalui kekuatannya.

"Racun apa ini, Carver?"

"Talon Viper sialan itu menggunakan racun mematikan dari Deadly Nightshades dan Hemlock. Itu sulit, Azael. Rhett cuma punya waktu dua puluh menit sebelum ajal benar-benar menjemputnya."

Azael menggeleng tegas, "Itu tidak akan pernah terjadi!"

Jean makin diserang beragam pertanyaan, ia membatin. [ "Siapa orang-orang ini sebenarnya?" ]

"Tempel di sana, Hunter!" perintah Carver tak bisa diganggu gugat.

Darah kental di mana-mana tapi kini pendarahannya berhasil terhenti. Hunter merobek segel plester dengan menggigit ujungnya dan menutup lukanya segera.

"Sementara cuma ini yang bisa kulakukan." tambah Carver menghela napas lega.

"Kerja bagus, Carver. Kau akan baik-baik saja, Rhett." kata Azael menepuk pundaknya pelan.

"Azael." Rhett mengangkat dagu ke arah Jean, "Kita menemukannya. Jean Venthallow Argent."

Pandangan Carver, Hunter dan Azael kontan langsung tersita pada Jean.

Jean menelan salivanya susah payah, entah mengapa lambungnya serasa dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan. Jantungnya pun berdetak resah, keempat pemuda itu punya sorotan mata tajam dengan warna iris bercahaya. Perawakan mereka yang sempurna dan rupawan dari ujung kepala sampai ke kaki, melebihi kegagahan seorang pangeran berkuda putih di negeri dongeng.

Mereka punya tato solid yang terletak dibagian tubuh berbeda, entah apa arti dari gambar-gambar solid itu, tapi tampaknya itulah yang 'menyatukan' mereka. Tidak ada hal aneh, penampilan mereka sama persis seperti pemuda-pemuda kampus kebanyakan.

"Jean Venthallow Argent?" Azael angkat bicara, suaranya terdengar arif.

"Y…ya??"

Azael memangkas jarak, alisnya menukik. Memandang Jean penuh penilaian dari atas kepala sampai ke ujung kaki.

"Dia agak mungil, ya? Apa principal tidak salah?" bisik Hunter pada Carver.

Carver mendelik sinis, terdengar gusar. Mengelap jejak-jejak darah di tangannya, "Principal tidak pernah salah, Hunt. Sejak kapan kau meragukannya?!"

Hunter mengangkat bahu, "Bukan itu maksudku, jadi gadis ini yang menghancurkan gedung sekolah itu? Kau gila juga ya, Jean? Berapa usiamu? 17?18? Pasti kau menyembunyikan sesuatu yang besar, sampai-sampai Principal begitu menginginkanmu di akademi?!"

"Stop, Hunter. Kau menakutinya!" gertak Azael menggelegar, langsung membuat Hunter bungkam seketika.

Jelas, Azael adalah pemimpin di antara mereka.

Jean bereaksi defensif, menuntut jawaban. "Siapa kalian sebenarnya? Bagaimana kalian mengenalku?!"

Jean yang merasa terindimidasi, mundur selangkah ketika Azael − si pemilik iris mata cemerlang sebiru langit itu berada sejengkal dihadapannya. Tubuhnya menjulang proposional, rambut cokelat kayunya bercahaya kemerahan di bawah sinar rembulan purnama. Dadanya berbidang, tulang hidungnya bangir, dengan ketajaman rahang yang tidak biasa. Seolah dipahat oleh pualam yang murka atau dia makhluk rupawan yang baru saja turun dari surgawi?

[ Ya ampun, kau berpikir apa sih, Jean?! ]

"Tidak ada waktu menjelaskan, Rhett sudah mengatakannya sedikit 'kan? Kami utusan dari akademi, Principal menugaskan kami untuk menjemputmu." jawab Azael tegas tanpa basa-basi. Tangannya terlipat di dada.

Kedengarannya principal adalah orang yang begitu dihormati.

"Untuk apa aku ikut kalian? Akademi? Apa maksudnya?!" Jean terdengar tak sabar sekarang.

Azael berdeham, "Menyelamatkanmu, kau tahu? Sulit orang-orang berbeda seperti kita di tengah manusia normal. Mereka menyebut kita aneh, monster, kerasukan. Akademi paham kesulitanmu, kujamin cuma akademi tempat teraman bagimu sekarang."

Jean terdiam, berpikir keras. Rhett diserang batuk hebat, pertanda racunnya menyebar ke bagian tubuh lain. Mempersempit waktunya untuk berpikir.

"Kecuali kau tetap ingin di sini, berakhir mati konyol atau ikut dengan kami?"

Menggigit bibir bawahnya, tampaknya Jean memang tak punya pilihan lain. Hidupnya telanjur hancur dan dia putus asa di luar London. Manusia membencinya, mengutuknya bagai parasit yang harus disingkirkan.

Ibu, ayah juga kakak perempuannya mengusirnya ke jalanan begitu saja.

"Okay, aku ikut kalian."

"Pilihan bagus, kalau kau tidak ingin dikejar-kejar dark legion lagi."

Tangan Azael menguarkan sinar berwarna emas, kekuatannya membuka gerbang teleportasi. Hunter dan Carver memapah Rhett yang jatuh pingsan, mereka menyeberang ke dalam lebih dulu.

"Sampai bertemu lagi, Jean." Hunter tersenyum miring. Membuat Jean merinding.

"Jangan dengarkan Hunter, dia memang seperti itu. Menyebalkan dan senang menakuti orang lain." saran Azael membuka tangannya, mempersilakan Jean masuk.

Entah ini keputusan benar atau tidak, Jean sempat dilanda keraguan. Kakinya malah terpatri bimbang.

Azael menghela napas dan tersenyum lebar, "Kenapa? Kau takut?"

Jean menatap mata Azael lekat-lekat, mereka terjebak saling memandang penuh arti. Jean terpesona akan keindahan mata pemuda itu.

"Jean?!"

Lamunannya buyar seketika, Jean pun sontak tersipu malu. Merasa tertangkap basah, dan itu benar-benar membuatnya rikuh bukan main.

"Maaf." ujarnya bergegas masuk ke pintu teleportasi.

Azael pun hanya tersenyum manis, mengikuti langkah Jean di belakangnya.

.

.