Chereads / Antara Cinta dan Kebencian / Chapter 29 - Setelah mereka pergi

Chapter 29 - Setelah mereka pergi

Mereka semua memeriksa keadaan ku, mungkin takut terjadi sesuatu kepadaku. Tidak ada yang mau pergi sebelum meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.

"Kamu kenapa, apa telah terjadi sesuatu padamu? kamu baik-baik saja, kan?"

seorang pria Paruh baya menghampiri ku dan memeriksa keadaan ku, meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

Dan akibat pria itu pula membuat aku tersadar sekaligus menghentikan tangisku. Mataku terbelalak besar saking kagetnya ketika melihat keadaan sekelilingku, yang ternyata sudah dipenuhi dengan orang-orang. Setelah tersadar, aku mendapati mereka sudah mengerumuni mencari tahu tentang keadaanku, sebab baru saja aku mengamuk tidak jelas di tempat ini.

Mata mereka semuanya tertuju padaku, penuh tanya tentang kejadian barusan dan sangat mengintimidasi ku. Mereka merasa penasaran dengan yang terjadi padaku. Dengan keadaan seperti ini, terlintas dalam benakku bahwa mereka sangat merasa terganggu oleh ku.

Sehingga membuat aku jadi merasa bersalah, aku sudah mengganggu kenyamanan mereka yang sedang menikmati suasana saat ini.

"Ah, iya. Saya minta maaf karena sudah mengganggu kenyamanan kalian. Saya tidak apa-apa, saya hanya sedang merindukan seseorang yang telah lama meninggal dunia. Sekali lagi saya minta maaf!" Ucapku dengan lirih. Membungkukan badan ke arah mereka, sebagai ucapan maaf ku.

"Syukurlah kalau begitu, kita tidak harus khawatir. Kita juga minta maaf karena sudah membuat anda terganggu." Ucap pria itu sambil menepuk pundakku.

"Sabarlah! Kita juga sama seperti yang kamu alami saat ini, kami kehilangan salah satu orang yang kami sayang. Tapi selalu menganggap kejadian itu sebagai ujian untuk kita, yang harus kita hadapi dengan ikhlas. Tuhan meminta kita agar melakukan yang lebih baik lagi setelah ini. Berdoa saja mudah-mudahan setelah ini kita mendapatkan hidayahnya. Ingatlah! Tuhan tidak akan menguji kita diluar batas kemampuan umatnya." Sebuah petuah bijak dari pria paruh baya itu terdengar membuat hatiku merasa tenang.

Tangannya tak henti-hentinya mengelus lembut tubuh ku, berusaha untuk menenangkan diriku yang dia lihat sangat kacau.

"Iya pak! Saya akan mencoba untuk bersikap tenang dan menerimanya dengan ikhlas. Saya merasa bahagia sekarang, apalagi saya dikelilingi oleh banyak orang yang khawatir pada saya. Terima Kasih karena bapak mau menenangkan saya." Kuraih tangannya kemudian ku kecup punggung tangan, menghargainya sebagai orang yang lebih tua dari ku.

"Sama-sama, anak muda. Kalau kamu sudah baikan, saya dan orang-orang lainnya permisi pamit. Kami mau melanjutkan aktivitas lagi. Sabar, ya!" Desah nya dengan begitu lembut dan perhatian.

Aku melihat mereka semua membubarkan diri dan pergi dari hadapanku, melakukan aktivitas mereka kembali. Sedangkan aku kembali berdiri sendiri di ruangan ini. Aku merasa kaki ini sudah sangat lelah, hingga tidak mampu menopang berat tubuhku dengan sempurna hingga membuat aku menjatuhkan diri di lantai.

Merasa belum puas, ku buat kembali tangisan yang tadi sempat terhenti akibat mereka menghampiri ku. Terpaksa aku harus berpura-pura baik, dan menghentikan tangisku selama ada mereka.

Sekarang setelah mereka pergi, aku kembali melanjutkannya. Meraung, meronta dan mengoceh, semua aku lakukan kembali. Semua yang aku lakukan, tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, aku buat tangisan ini secara perlahan seakan tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Terkadang aku membekap mulut ku sendiri, jika aku merasa bahwa suaraku terlalu besar. Usahakan supaya aku bisa menangis tanpa mereka mendengarnya. lumayan lama saat aku menangis, tanpa gangguan dari mereka. hanya terduduk dengan tangan yang bertumpu pada kaki sambil sesegukan, mataku lurus hanya menatap foto mamah.

"Mah! Ini Raka, anak mu! Raka yang sangat merindukan Mamah, Raka yang rapuh, tidak sekuat dan sehebat seperti yang tadi saya katakan. Saya bohong, saya sudah bohong padamu. Saya sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dari mu. Saya butuh Mamah untuk menemani, tidak peduli mau dikatakan anak manja atau cengeng sekalipun. saya benar-benar rapuh, mah." Lirih ku dalam tangisan yang kubuat sangat mendesah pelan.

"Tuhan! Andaikan saja bisa, tolong hadirkan seseorang yang bisa mengobati rasa rindu ini! Siapapun itu, tidak peduli orang kaya raya atau miskin, asal dia bisa menghadirkan sosok mamah dalam dirinya, akan saya anggap dia sebagai ibu kandung. Semua ini karena saya merindukan mamah, saya ingin Mamah kembali. Jika ada, tolong mah! Tolong kirimkan saya seseorang yang bisa mengobati kerinduan ini terhadap mamah! Aku mohon!" Dalam doa yang ku minta selain sama Tuhan, aku juga minta dari Mamahku.

Aku yakin, doa seorang ibu akan cepat terkabul. Bukankah surga ada di telapak kakinya? Bukankah kasih sayangnya adalah kasih sayang Tuhan juga? Untuk itu, saya berharap Tuhan kabulkan keinginan saya, meskipun itu mustahil adanya.

Namun saat aku sedang berada dalam tangisan, tiba-tiba seseorang menghampiri ku dan menyambut ku dengan baik. Seorang wanita yang usianya sudah lanjut, mungkin bisa dikatakan bahwa dia seorang nenek. Wanita itu berjalan tergopoh-gopoh, di tangan kirinya membawa sebuah tongkat sebagai penopang beliau ketika berjalan.

Sedangkan di tangan kanannya, membawa sebuah kemasan berisikan air mineral. Aku lihat dari ujung mataku, dia berjalan menghampiri ku. Sepertinya dia ditemani seorang laki-laki yang usianya di bawah usiaku, tidak tahu siapa mungkin saja dia cucunya yang menemani Nenek ini saat sedang pergi.

"Uhuk….uhuk….!" Wanita itu duduk dihadapanku dengan dibantu oleh pria tersebut.

kepalaku masih menunduk, menatap ujung sepatuku yang berada sangat dekat dengan ku. Berusaha melirik wanita itu, meyakinkan bahwa dia memang berada dihadapanku. Benar saja, ternyata wanita itu sedang memperhatikan ku, tatapan yang begitu mendalam ketika melihatku. Seakan ikut merasakan yang saat ini aku rasakan.

Terdengar lagi suara batuk seperti yang tadi aku dengar, aku lihat memang Nenek ini yang terbatuk. Aku rasa dia sedang sakit, terdengar dia batuk-batuk dengan suaranya sedikit bindeng. Sebuah syal berwarna coklat pekat melingkar di lehernya, sebagai penghangat tubuh renta nya.

"Minumlah anak muda, berikan tubuhmu air putih! Sepertinya kamu sudah lama menangis, itu akan menyebabkan kekurangan cairan di tubuh akibat banyaknya air mata yang kamu keluarkan." Wanita itu menyodorkan botol air mineral ke arahku, dia menyarankan agar aku meminum air tersebut.

"Ayolah ambil, omah tidak meracuni air nya kok. Omah, bukan orang jahat. Kamu jangan takut!" Imbuhnya sambil melempar senyuman padaku.

Sedikit mengangkat kepala ke atas, dan perlahan aku menoleh ke arah dimana wanita itu berada. Aku ingin menatap wajahnya dengan sempurna, dan secara terang-terangan.

"Ambilah!" Titahnya lagi kembali menyodorkan air kemasan itu padaku.

"Iya Nek! Terimakasih!" Sahutku merentangkan tangan, untuk mengambil airnya.

"Panggil saja, Omah Nilam!" Pintanya sedikit menahan air itu sejenak.

"Terimakasih, Omah!" Ku ulangi ucapanku dengan suara serak, sisa dari tangisan tadi.

Dia kembali menyodorkan air itu dan memudahkan nya pada genggaman tanganku.