Akibat mendengar pernyataan pak Bramantyo, aku menjadi tidak lagi menaruh perasaan iba kepada mereka. Aku menjadi orang yang lebih kejam lagi sekarang, dan tidak seperti sebelumnya yang ingin menolong mereka dari persaan takut hingga membuat skot jantungnya kumat.
Jika seperti itu keadaan nya, mendingan aku biarkan saja mereka mampus disini. Akan tetapi terlambat sudah, karena nyatanya para preman itu sudah pada pergi dari tempat ini. Mereka memutuskan untuk menyudahi permainan ini, maka putus sudah drama yang ku buat.
Ah, sayang sekali padahal aku masih ingin memainkan permainan ini supaya lebih panjang lagi. Dan membuat mereka dalam ketakutan yang luar biasa, sehingga membuat mereka menjadi skot jantung akut. Untuk itu aku akan merasa puas kalau hal tersebut bisa terjadi, biar mereka tidak membuat aku terus marah seperti ini.
Kedua tangan, ku kepalkan. Mataku menatap dengan begitu tajam kepada mereka yang berusaha untuk bangkit dan berdiri. Dalam pikiran terus berkata, kok bisa ya tubuh sudah tergopoh-gopoh begitu masih saja menyakiti perasaan orang. Mulutnya itu, uhh….. sangat pahit melibihi sayuran pare yang digigit lama banget nempelnya di lidah dan masih sangat terasa sama.
Aku melihat mereka berjalan menghampiri ku, tidak tahu mau apa. Mungkin mau memeriksa keadaanku, dari pukulan para preman suruhanku tadi. Alah, peduli apa dengan perasaan khawatir mereka. Baik mereka karena aku sok menjadi pahlawan untuk mereka, meski itu juga tidak diakui oleh Bramantyo.
Tapi aku tidak boleh memasang raut wajah yang sangar, aku harus berpura-pura menjadi baik atau paling tidak bersikap seakan sedang menahan kesakitan di sekujur tubuhku.
"Nak Raka! Ya Tuhan, kamu tidak apa-apa'kan? Mereka pasti sudah membuat kamu sakit. mana, bagian mana yang sakit? Biarkan Mamah membantu obati lukamu sekarang, Mamah mohon!" Lirih bu Amanda seraya mengelilingi tubuhku untuk memeriksa keadaan ku.
'huh, telat! Sekarang bukan sakit badan ku, akan tetapi sakit hati ku. Andai saja suami mu tidak bicara seperti itu tadi, mungkin aku tidak akan semarah ini. Aku tidak akan sebenci ini, dan pastinya rasa sakit ini tidak akan kembali. Susah sembuhnya kalau sudah seperti ini, maka aku akan tetap menjadi musuh dalam selimut kalian' cecarku dalam otak dan pikiranku.
"Raka! Mereka berhasil kamu kalahkan, dan mereka tidak berhasil menyentuh mu 'kan? Kamu tidak boleh kalah sama mereka, karena nanti kamu akan terkena pukul kalau tidak bisa menghindar." Celetuk pak Bramantyo ikut memeriksa keadaan ku.
Tangan kotor nya itu, menyentuh tubuhku. Ah, aku jadi teringat dengan ucapan mamah sewaktu pertama kali dia memergoki pria ini tengah berselingkuh. Dia memintaku untuk menghindar bahkan menjauh dari pak Bramantyo agar tangan kotornya tidak mengenai tubuhku.
[Kau diam di belakang mamah, Nak! Jangan biarkan tangan kotor Pria itu menyentuh tubuhmu!]
Kata-kata itu kembali terngiang di gendang telinga, sehingga aku tidak mau jika harus berlama-lama berada di dekat mereka. aku takut jika mereka kembali memperlakukanku dengan baik. Dan aku yakin sikap mereka kali ini akan semakin membuat aku terus mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Tentang kejadian yang selalu membuat kepalaku menjadi pusing, terus mendorong pikiranku menjadi tidak baik lagi.
Aku membalas ucapan dan kekhawatiran mereka hanya dengan senyuman, dan segera untuk membuat mereka pergi dari hadapanku.
"Sudah ya mah, pah! Sebaiknya Kalian jangan terlalu lama berada disini, bagaimana kalau para preman itu kembali? Bisa berabe, apalagi sampai datang membawa teman-temannya. Belum tentu saya bisa mengalahkan mereka. Ini juga sudah sangat siang, sudah waktunya untuk saya pergi. Apa kalian akan berani menghadapi mereka, tanpa aku?" Seru ku sambil terus memeriksa benda kecil yang melingkar di pergelangan tanganku.
Pandangan ku menatap kearah dimana jalan pulang itu berada, sebagai tanda bahwa mereka harus segera pergi. Aku juga mendapat kabar dari orang suruhanku bahwa taksi online yang tadi aku pesan sudah tiba, itu artinya aku harus benar-benar mengusir mereka dari tempat ini.
"Mah, pah! Taksinya sudah tiba, jadi kalian harus pulang. Disini tidak aman untuk kalian, saya berharap kalau kalian tidak datang kesini lagi! Akan sangat bahaya untuk kalian jika tidak datang tanpa pengawalan." Tegasku sedikit menakut-nakuti mereka supaya tidak berani datang lagi berkunjung ke makam Mamahku.
"Tapi kenapa?" seru bu Amanda sepertinya dia agak ngeyel.
'karena kalian berada dalam bahaya, dan aku yang akan menyebabkan bahaya itu ada' jawabku dalam hati. Jawaban itu untuk membuat pikiran menjadi tidak bingung dan tidak banyak tanya lagi.
"Mamah hanya ingin berziarah saja, bukan mau merusak atau mengotori tempat ini." What? Kamu bilang tidak mau merusak atau mengotori tempat ini, itu menurut Kalian. Bagiku dengan kedatangan kalian sudah sangat mengganggu dan merusak ketenangan Mamahku.
Mengotori tempat ini, ya! Tangan kalian yang mengotori rumah mamah. Gara-gara tangan kalian yang kotor itu, membuat mamah menderita. Sudah cukup kalian membuat dia merasakan penderitaan itu semasa hidupnya, sekarang hentikan! Mamahku sudah meninggal, sudah tenang disana. Jangan buat lagi penderitaan baru untuk beliau!
Namun mereka masih belum mau mengalah. Mereka tampaknya masih ingin berkunjung ke tempat ini, dan mengeluarkan alibi lain kepadaku.
"selain itu Mamah juga sering datang ke tempat ini, tapi tidak bertemu dengan para begal tadi seingat mamah. Mungkin hanya kebetulan saja, dan andai kita kembali datang ke tempat ini kita tidak akan bertemu mereka. Mamah yakin kok." Tukas bu Raida dengan begitu percaya diri saat berbicara.
Seenaknya saja mau jadikan tempat ini sebagai kunjungan favorit mereka.
Kubuat mata ini menatap mereka dan membuat perasaan marah ku ini menjadi semakin nyata di hadapan mereka. Sangat tidak rela jika mereka tetap mau melakukan ziarah nya ke tempat ini.
"Benarkah begitu? Apa kalian mau tetap berada disini, mau jadi sok jagoan? Kalau begitu, kenapa tadi tidak kalian saja yang hadapi preman itu? Kenapa harus saya? Jika kalian sudah merasa kuat, maka lakukanlah! Lakukan apapun yang Kalian ingin! Saya akan pergi dari sini sekarang juga, terserah kalian mau nurut atau tidak." Bentakku seraya melengos pergi meninggalkan mereka.
"Bukan begitu maksud Mamah Raka! Dengarkan dulu penjelasan Mamah, jangan marah terlebih dahulu! Tunggu dulu!" Aku dengar mereka memanggilku dan meminta aku agar berhenti. Mereka ingin menjelaskan kepadaku tentang apa yang dia katakan barusan. Sepertinya tubuh perlu, menurutku mereka sudah terlambat.
Dalam keadaan sangat marah aku tetap pergi meninggalkan mereka, kali ini sudah tidak ada perasaan baik lagi untuk mereka. Rasanya perasaan itu sudah aku tutup serapat-rapatnya.
Aku pergi tanpa pedulikan lagi mereka, namun tak rela jika aku membuat mereka bisa tenang di tempat itu. Tanganku mengambil ponsel dalam saku celanaku, kemudian menghubungi mereka yang seharusnya aku hubungi dan bertanggung jawab atas masalah ini.
"Kalian jangan pergi dulu, tetap berada disini! Pastikan mereka pergi, dan jika tidak, maka buat mereka pergi dengan paksa! Buat mereka kapok kalau perlu!"
Tut….
Ku tutup telepon untuk mereka, dan ku cari nomor seseorang yang akan bertanggung jawab atas ini.
"El! Cepat suruh kedua orang tuamu untuk pulang, dan enyah dari tempat ini! Paham!" Bentakku pada putri kesayangan mereka, dan mungkin saja dia yang akan mendapatkan amukan ku setelah aku sampai di rumah nanti.