Akibat aku terlalu kesal atas kejadian barusan, membuat aku tidak mood untuk pergi ke kantor apalagi sampai bekerja. Pasti yang ada aku akan ngamuk-ngamuk tidak jelas di kantor, melampiaskan kemarahanku kepada orang-orang di kantor.
Apalagi kalau di kantor aku bertemu dengan pak Bramantyo, sudah pasti kemarahanku akan meledak tidak karuan. Dan para karyawan ku yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah ini, akan menanggung akibatnya atas kemarahanku.
Mungkin lebih baik aku batalkan meeting bersama klien ku, mungpung belum berangkat ke tempat yang sudah kami tentukan sebelumnya. Ku raih benda tipis di saku celanaku, kemudian aku cari nomor sekretaris pribadi ku untuk memberikan kabar bahwa meeting itu akan dibatalkan.
"Aurora! Kamu batalkan meeting dengan klien hari ini, saya tidak akan berangkat ke kantor! Ada urusan mendadak di luar, sehingga saya tidak bisa menemui meeting hari ini." Pintaku pada Aurora selaku sekretaris dan bisa disebut dengan selingkuhan ku. Bisa dikatakan bahwa Aurora adalah wanita pelampiasanku.
[Baik sayang, eh pak! Tapi, kalau boleh saya tahu ada urusan apa? Kok gak kasih aku kabar, udah lupa sama aku sekarang.] Lontar Aurora ketika aku menghubunginya.
Sudah biasa jika aku menghubungi dia, maka selalu itu yang dia rintikan. Bukannya aku mendapatkan solusi dari wanita itu, malah menambah pening di kepala.
Kemarahan ku semakin tidak berujung andai aku tetap membiarkan ponsel ini masih menghubungi nya, dan untuk kesekian kalinya aku ingin memecat perempuan ini dari kantorku.
"Ah …malas!" Gerutuku dan tanpa menunggu lama, aku menutup ponselnya.
"Putar arah mobilnya, kita kembali pulang." Titahku kepada mang Ujang, selaku supir pribadiku.
"Baik, Tuan!" Sahut mang Ujang seraya membanting setirnya memutar arah, kembali ke arah pulang.
"Kita akan langsung pulang ke rumah, tidak mampir dulu ke tempat lain?" Tanya mang Ujang yang tiba-tiba saja berkata seperti itu kepadaku, mungkin dia tahu bahwa perasaanku sedang tidak baik. akan bahaya bagi Elmeera andai aku pulang dengan keadaan seperti ini.
Mang Ujang tahu aku seperti apa, dan harus bagaimana agar mood ku kembali baik.
"Tuan bisa pergi ke suatu tempat dulu untuk beberapa waktu, setelah itu baru kembali ke rumah." Ucap mang Ujang sambil melempar senyumnya ketika melihat ke arahku.
"Memang mang Ujang ada rekomendasi tempat, tempat apa yang harus saya kunjungi? Tempat hiburan malam dengan beberapa wanita menemani saya tidur, dan dengan segelas air putih beralkohol sebagai pelengkapnya. Sepertinya saya pergi ke sana saja." Ucapanku semakin ngaco mungkin efek dari otakku yang sudah tidak waras ini.
Mang Ujang hanya geleng-geleng kepala, saat mendengar pernyataanku. Dia merasa kecewa dengan keputusan yang aku katakan barusan, mang Ujang tahu bahwa aku sudah semakin kacau dan harus segera ditangani.
Tidak ada rasa takut untuk mang Ujang ketika harus membuat ku tersadar, meskipun aku marah mang Ujang tidak pernah takut. Dia juga tidak mau berhenti untuk menyadarkan diriku dari kegilaan ini.
"Tuan! Apakah anda tidak ingat tentang pesan dari ibunda mu? Tidak apa-apa jika anda mau pergi ke tempat itu, saya akan mengantarnya sekarang. Saya tidak akan menolak untuk mengantar anda karena saya adalah supir pribadi mu. Akan tetapi, bisakah anda menghilangkan kekecewaan pada Mamahmu?" Semua pertanyaan yang dilontarkan padaku, membuatku merasa bersalah.
Apa yang dilontarkan olehnya ada benarnya juga. Andai mamah melihat aku terpuruk dan merasa hancur seperti ini, apalagi sampai harus menyentuh benda haram tersebut, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan kecewa terhadap ku. Dia akan bersedih dan pastinya menangis menyaksikan aku dari atas sana. Sehingga membuat aku sadar bahwa ini memang bukanlah terbaik untukku.
Sebelah tanganku merogoh kantong saku ku, kemudian aku mengambil selembar foto berukuran kecil yang selalu menemaniku kemanapun aku melangkah. Foto ini masih terlihat rapi tanpa goresan kecil pun berani menyentuh kertas ini.
Ku genggam dan ku tatap wajahnya dengan seksama. Kurasakan tubuhku seakan bergetar, juga raut wajahku mendadak berubah menjadi murung. Tidak adanya komunikasi dengan mataku, tiba-tiba saja bulir bening ini mulai terjatuh membasahi wajahku.
Gigitan pada bawah bibir ku lumayan terasa keras, akibat aku menahan kesedihan yang begitu mendalam. Air mataku terus mengiringi ketika tatapan ku hanya terfokus pada foto tersebut. Bosan hanya menatap, aku bawa foto itu ke dalam pelukanku.
"Mah, saya sangat merindukan pelukanmu! Saya sendirian sekarang, tidak ada siapapun yang menemani saya disini. Saya sendirian mah, maka dari itu saya sangat membutuhkan kehadiranmu." Lirih ku dengan sesekali ku kecup foto itu dengan penuh kasih sayang.
Sepertinya aku sangat merindukan pelukan mamah, aku ingin dia kembali menemani ku untuk menyembuhkan luka akibat terlalu kesepian juga karena mereka yang menyebabkan adanya kesedihanku. aku sangat membutuhkan sentuhan lembut dari tangan perempuan yang telah melahirkan ku, aku ingin dia kembali berada di sampingku.
Sehingga membuat aku hanya menangis sampai sesegukan di sepanjang perjalanan. Mang Ujang terlihat memperhatikan ku dari depan, dia pun ikut larut dalam kesedihan yang kualami bahkan sampai menjatuhkan air matanya mengiringi kesedihanku.
Kepalaku terus menunduk menatap punggung kaki ku, tanganku tak mau melepaskan foto yang ku genggam erat dalam pelukanku.
"Sudah sampai, Tuan!" Kata mang Ujang sambil menyentuh punggungku.
Aku hentikan tangisanku dan aku rasakan mobil ini memang sudah berhenti, mesin mobilnya sudah mang Ujang matikan. Aku memang sudah sampai di rumah, itu artinya aku tidak boleh terlihat bersedih di hadapan Elmeera apalagi sampai ketahuan menangis seperti ini.
Segera ku sapu air mataku, dengan punggung tanganku juga dibantu dengan jas kebanggaan ku ketika di kantor. untuk saat ini, tidak ada baju kebanggaan tidak ada baju seorang CEO, jika tidak ada tisu maka aku gunakan untuk menghilangkan bekas air mata di wajahku. Daripada aku harus kehilangan kewibawaan ku di hadapan Elmeera, lebih baik bajuku yang basah oleh air mata.
"Maaf Tuan! Gunakanlah ini jika mau menghapus air matamu!" Mang Ujang menyodorkan sebuah benda lembut berwarna coklat muda pada ujungnya dihiasi motif bunga, ke hadapanku.
Mang Ujang meminjamkan sapu tangan miliknya untuk aku gunakan sebagai penghapus air mataku. Agak kesal juga sama Pria paruh baya ini, karena dia terlambat meminjamkan benda ini padaku. Andai saja dia meminjamkan sapu tangannya dari tadi, mungkin seragam kantor ku tidak akan aku gunakan untuk hal tidak penting tadi.
Jika seperti itu bajuku kotor dan agak basah juga, jadi tidak pantas aku gunakan lagi. Tapi mang Ujang dengan santainya menawarkan sebuah sapu tangan setelah aku sudah selesai menggunakan pakaian ku. Benar-benar sangat membuat ku kesal.
"Kenapa tidak dari tadi mang? Kenapa harus menunggu saya menggunakan pakaian saya dulu? Mang Ujang sengaja 'kan mau bikin saya malu di depan Elmeera?" Aku agak marah kepada mang Ujang karena menurut ku dia sudah mempermainkan aku.