Chereads / Antara Cinta dan Kebencian / Chapter 22 - Menjadi jagoan sementara

Chapter 22 - Menjadi jagoan sementara

Andai saja mereka mati sekarang, bisa-bisa aku akan ikut terlibat. Karena aku berada di tempat kejadian, sehingga aku memutuskan untuk urungkan niatku ketika ingin membuat mereka kehilangan nyawanya saat ini. Hanya saja aku sedikit terlambat, karena mereka sudah terlalu bersemangat untuk menjalankan perannya dalam drama ini.

"Cepat, serahkan semuanya pada kami! Sebelum kami melakukan kekerasan." Bentak si gondrong dengan mata yang dibuat membulat besar.

Aku melihat mereka mencengkram tangan bu Amanda dengan begitu keras, sehingga terlihat tubuh wanita itu begitu gemetaran. Dia seperti dalam keadaan yang begitu ketakutan, mungkin sebentar lagi dia benar-benar akan mati.

Gawat! Bisa berabe dan akan panjang nih urusannya. Maka dari itu segera aku lakukan rencanaku selanjutnya. Dengan begitu, masalah ini akan dengan cepat selesai. Mereka juga sepertinya sudah sangat keterlaluan, berani bersikap kasar terhadap kedua mertuaku. Padahal itu tidak ada dalam skenario kami. Mungkin karena mereka terlalu mendalami peran yang saat ini sedang dijalankan.

Ya, memang pada dasarnya mereka adalah preman jalanan yang benar-benar seorang begal di jalanan. Sehingga walaupun saat ini adalah pura-pura, akan tetapi mereka seakan sedang membegal beneran.

"Kalian hentikan dulu dong, jangan kasar terhadap kami! Bagaimana kami akan memberikan nya kepada kalian, jika kami ketakutan seperti ini? Tolong, Kalian bersabar dan kasihanilah kami!" Pinta pak Bramantyo dengan suara bergetar.

Kubuat bibir ini sedikit naik keatas, melemparkan senyum kecil ku tanpa sepengetahuan mereka. Walaupun ada perasaan khawatir dengan kondisi mereka yang begitu tergopoh-gopoh, caranya mereka berjalan pun sudah sangat lambat. namun ada kepuasan tersendiri karena telah berhasil menakut-nakuti mereka dengan para preman.

Dengan begitu, mereka pasti tidak akan mau berada lama di tempat ini. Artinya aku sudah berhasil mengusir mereka untuk enyah dari tempat Mamahku, itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagiku.

"Tuh kan, mah benar. Makannya dari tadi Saya meminta Kalian untuk segera pergi dari sini, karena saya sudah mendengar dari warga sekitar bahwa mereka tidak bisa lewat sini sendirian. Mungkin karena ini, karena preman yang membuat mereka merasa ketakutan. Kalian agak bandel," umpitku balik marah kepada mereka.

"Iya, nak! Mamah sama papah minta maaf, Mamah sudah salah karena tidak mendengar perkataan mu. Sekarang, kami harus bagaimana?" Tanya bu Amanda dengan suara yang begitu tergugup.

"Sebaiknya kalian pulang dan tidak usah kembali lagi ke tempat ini, kapanpun itu. Biarkanlah keluarga dia yang berziarah, karena memang mereka yang seharusnya melakukan itu. Bukan Mamah, ataupun Papah. Kalian paham, kan maksud saya?" Sebetulnya aku ingin mengatakan tentang ini kepada mereka dari tadi. Beruntungnya kesempatan itu ada, sehingga dengan segera aku melakukannya.

Hatiku benar-benar tidak rela jika mereka menyentuh makam Mamahku, walaupun mereka ingin mendoakan mamahku biar tenang di alam sana, tapi aku tidak mau mereka melakukannya. Aku tahu mereka tidak pernah tulus, dalam hati mereka masih dipenuhi dengan perasaan bencinya.

Percuma andai mereka mengunjungi makam mamah, kalau hanya untuk menambah rasa sakit dalam hatinya. Atau mungkin mereka mau meminta maaf atas kesalahan mereka di masa lalu? hah, percuma juga. Mamahku sudah meninggal dunia, tidak ada yang perlu dimaafkan lagi dari mereka, sudah terlambat untuk melakukan itu.

Hati dan perasaan kami, sudah terlanjur sakit, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk mereka. Walaupun aku berusaha untuk memaafkan mereka, namun perasaan kecewa tetap bersembunyi dalam jiwaku.

Meskipun begitu, aku merasa tak tega melihat keadaan mereka yang sepertinya sudah sangat ketakutan itu. Niat mereka juga ingin menghindar atau bahkan melawan keempat pria suruhan ku itu.

Namun apalah daya mereka, mereka sudah tidak bisa melakukannya.

Tubuh mereka tidak sekuat dulu, bahkan tenaganya pun sudah tidak sekekar sewaktu mereka muda. Bagaimana jika mereka harus menghadapi para preman itu, yang tenaganya masih pada kuat-kuat kayak gini?

Mungkin hanya dengan sekali depak, maka tubuh mereka akan terbanting jauh hingga ke atas sana.

Aku harus sudahi ini dulu, sebelum orang tua itu benar-benar skot jantung.

"Buruan, lama banget!" Bentak mereka mulai mendekat dan menodongkan senjata tajamnya di depan bu Amanda.

"Stop! Hentikan semua ini, dan saya meminta kalian untuk segera pergi dari tempat ini. Sebelum saya yang lebih dulu membuat kalian babak belur, mengerti?" Bentakku seraya mendorong mereka, yang kini sedang memberikan ancaman untuk ibu mertuaku.

Namun tak lupa, ujung mataku bermain kode. Memberikan perintah, supaya mereka menyerangku lebih dulu. Aku menyarankan itu, karena aku harus bisa mengambil kepercayaan mereka sepenuhnya.

Tidak mungkin aku langsung membuat mereka pergi, sudah pasti akan ada perkelahian dulu antara aku dengan mereka. Mereka akan berpura-pura tidak terima, kemudian menyerangku dengan bringas.

Terjadilah perkelahian itu, dan ingin tahu siapa pemenangnya? Ya, jelas aku lah. Sebab ini semua adalah rencana ku, walau mereka jago berkelahi, tetapi mereka akan dikalahkan oleh diriku yang hanya seorang diri.

Padahal jika ini memang sungguhan, mana bisa aku mengalahkan mereka? Jujur saja, aku tidak begitu jago dalam berkelahi. Mungkin jika aku melawan preman jalanan yang biasa saja, dan yang paling penting dia sendiri, maka aku akan mengalahkannya. Ya, meskipun aku juga masih kurang yakin sih, tapi setidaknya aku tidak terlalu dikatakan cowok lembek oleh mereka apalagi kalau orang itu adalah Elmeera. Hah…bisa turun harkat martabat ku di depan perempuan itu. Bisa-bisa aku akan malu jika bertemu dengannya di rumah.

Makannya itu, aku tidak mau berkelahi dengan siapapun di hadapan Elmeera, takut kalau aku kalah oleh mereka. Mending aku berpura-pura kuat ketika melawan mereka, melakukan drama action seperti yang ada di film-film Hollywood.

Mereka langsung menyerangku dengan senjata tajamnya, untuk menambah ketegangan bagi mereka. Perasaan bersalah dan menyesal, pasti mereka merasakannya. Sehingga membuat mereka terus berteriak memanggil namaku, untuk memperingatkan aku yang tengah berusaha menyelamatkan nyawa keduanya.

"Nak Raka! Awas, hati-hati! Jangan sampai benda tajam itu mengenai tubuhmu! Kamu harus berusaha untuk menghindar, lakukan itu untuk mamah Nak!" Rintih bu Amanda sekuat tenaga berteriak meminta aku untuk tidak terluka.

Dia terlihat menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dengan jerit tangis menyertainya. Dia sampai menangis kejer, takut terjadi sesuatu kepada menantu kesayangannya ini.

"Ya Tuhan! Tolong lindungi Raka dari marabahaya, jangan sampai ada luka sedikitpun di tubuhnya! Aku mohon, Tuhan. Andai saja Raka harus terluka, biarkan aku yang menggantikannya. Ini semua karena salahku, maka biarkan aku yang menanggung akibatnya." Lirih bu Amanda dalam doanya.

"Jangan seperti ini mah, bangunlah! Papah tidak mau melihat mamah seperti ini, dan jangan terlalu membuat Mamah merasa bersalah! Kejadian ini hanya kebetulan saja, bukan salah Mamah atau siapapun." Tukas pak Bramantyo yang membuat aku kembali membenci mereka.

Awalnya aku merasa tersentuh dengan perasaan khawatir, yang baru saja di tunjukkan oleh bu Amanda. Aku melihat ada ketulusan dalam hatinya ketika dia takut terjadi apa-apa terhadapku, aku menjadi sedikit terharu dan merasakan bagaimana di perhatikan oleh Mamahku. Tiba-tiba saja aku merasakan kehadiran mamahku pada diri bu Amanda.

Namun ketika pak Bramantyo berbicara seperti itu, mendadak perasaan itu kembali menghilang entah kemana. Perasaan itu kembali berganti dengan perasaan benci seperti sebelumnya.