"Pak, keluarin aja! Anak manja!" seru Bella disambut teriakan "huuu..." dari siswa lain. Mereka merasa keadilan hanya untuk orang-orang yang good looking. Anya yang imut dan manis pastinya menjadi satu-satunya yang diselamatkan. Terlebih ada rumor yang bilang kalau Anya sedang dekat dengan pak Jamal. Bukti foto bukan editan sudah beredar luas via chat. Itu sudah cukup menjadi bukti bawahnya ada sesuatu dengan Pak Jamal. Setidaknya dari sisi yang melihat foto bukan dari apa yang sebenarnya terjadi.
"Anya ini kan anak yang rajin, mulai awal saya mengajar dari kelas sepuluh, lihat tuh dia pernah sedikitpun melewatkan tugas," kata pak Jamal diiringi dengan tatapan sinis sebagian besar siswa. Ini tidak adil jika siswa lain yang tidak mengerjakan tugas bahkan Bela sendiri pernah melewatkan tugas dari Pak Jamal juga mendapat hukuman tidak mengikuti pelajaran pada hari itu dan absennya diberi keterangan Alpa. Namun tidak kali ini Anya tetap keluar kelas tapi diberi kesempatan untuk mengerjakan tugas yang tertinggal sehingga dia tidak memiliki nilai tugas kosong sedangkan dulu jika teman-temannya tidak mengerjakan maka tidak ada kesempatan untuk mengulang sehingga mereka ada nilai kosong.
"Anya, kamu keluar dari kelas tapi pertemuan berikutnya harus menyusul kerjakan tugasnya," ujar pak Jamal memutuskan. Berbagai sahutan keluar dari mulut siswa kelas XI IPA 5. Mereka menganggap keputusan itu tidak adil, dari semua siswa hanya Anya yang diperbolehkan untuk menyusul bahkan yang peringkat satu saja tidak diperkenankan untuk menyusul tugas apabila terlewat mengerjakan tugas.
Anya mengangguk pasrah, dia berbalik keluar kelas. Dia tidak peduli lagi dengan reaksi temannya.
Begitu sudah ada di luar, dia memisahkan diri dari Willy dan Nuca yang duduk berdua di tempat duduk keramik depan kelas.
Anya ingin menyendiri. Hal begini saja bisa menjadi masalah besar baginya. Hanya sebuah rumor tapi membuyarkan fokusnya dalam menjalani hari. Harusnya dia menjadi remaja yang tenang karena tugasnya hanya belajar. Namun kenapa ada masalah itu?
Langkahnya menyusuri koridor hingga sampai pada bagian samping kanan sekolah. Dulu sebelum Anya jadi siswa baru, parkiran itu sudah jarang digunakan. Hanya ada tembok batas antara SMA 127 dan SMK 21 dan pilar kayu dengan atap seng sebagai parkiran. Namun kini kosong karena parkiran sudah pindah ke depan untuk guru dan karyawan sedangkan belakang dan samping kiri untuk siswa.
Anya menyapu pandangan, dia melihat sekeliling. Dia berada di satu sudut sekolah yang jarang ia datangi. Di matanya terlihat halaman semen. Dia baru sadar di ujung sana adalah toilet yang katanya angker. Anya tidak tertarik dengan cerita horor. Setiap sekolah pasti punya hantu di dimensinya masing-masing, bukan?
Dia melamun sendiri tapi yang terjadi bukannya kesurupan melainkan dia melihat kepala yang sedang mengintip dari tembok pemisah SMK 21. Terlihat kepala sampai bahu. Bobby melambaikan tangan sembari menunjukkan senyum lebar di bibirnya.
"Kak Bobby?"
Sontak Anya terkejut hingga menutup mulut dengan kedua tangan. Bobby nampak santai mengintip ke sekolah Anya. Hanya ada parkiran dan kelas kosong. Biasanya di situ udah jadi tempat siswa yang lagi pacaran atau merokok.
"Anya! Ya ampun, beruntung banget gue ketemu bidadari."
"Kak Bobby, udah, nanti ketahuan guru."
"Nggak bakal, lokasi ini jarang ada guru lewat," sanggah Bobby.
Sementara itu di SMK 21 dari balik tembok sekolah, ada Rio yang memegang tangga. Hanya karena penasaran keadaan SMA, Bobby nekat meminjam tangga ke kantin penjual bakso.
"Bob! Udah dong! Pegel!" keluh Rio.
"Ntar! Gue masih ngomong sama bidadari!" desis Bobby tanpa ampun. Rio mendengus kesal keinginan sahabatnya itu memang harus dituruti meski di tengah terik matahari yang seolah berada di atas kepala.
"Balik gih, takut ketahuan guru," kata Anya sembari menoleh ke kanan dan ke kiri takut ada guru piket yang lewat.
"Aduh, nggak bakalan ketahuan. Sekarang lagi jam pelajaran, guru-guru pada ngajar," ucap Bobby yakin.
Pertemuan di tembok batas sekolah seketika membuat Anya lupa tentang kejadian di dalam kelas. Dia fokus mendongakkan kepalanya untuk mengobrol dengan Bobby.
"Kak, nggak capek apa?" tanyanya lembut.
"Nggak, kalau sama Anya sih. Oh ya kamu anak rumahan yang dulu nggak asing sih karena kamu salat tarawih di masjid Al Ikhlas kan?"
Bulan Ramadan sudah berlalu tapi ingatan Itu masih mengendap di Sanubari Bobby. Dulu dia sangat ingin berkenalan dengan gadis bermukena Ungu tapi sampai tarawih hari terakhir kemudian lebaran niat berkenalan itu tak kunjung sampai. Entah mungkin sudah diatur jadinya Bobby bisa mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan Anya.
"Aku memang salat di sana mau tarawih atau kadang juga salat wajib," kata Anya.
"Wah, memang beneran bidadari kayaknya nih," puji Bobby.
"Bob!" erang Rio karena sudah kelelahan memegangi tangga.
"Besok ketemu lagi, di tempat yang sama," janjinya dengan harapan bisa tepat waktu karena jam yang dimaksud adalah jam pelajaran. Anya saya bisa keluar karena dihukum oleh pak Jamal.
Sudut sekolah bisa menjadi lokasi tempat cinta bersemi saat masa puber yang sedang pada puncaknya. Anya belum secara resmi mendeklarasikan kalau dia memiliki rasa. Namun dia bisa menerima apapun yang akan terjadi nanti entah suatu saat bisa ada rasa atau mereka memang ditakdirkan menjadi teman biasa.
Dari tembok batas di sisi SMK 21, Bobby dan Rio sedang membenahi seragamnya yang sudah keluar jalur. Tak lupa dia harus mengembalikan tangga menuju kantin bakso tempat mereka biasanya ngumpul.
"Kayak apa sih itu cewek sampai gue bela-belain manjat gini?" tanya Rio sembari menghapus peluh di dahinya. Terik matahari seperti sinar lampu sorot yang mengarah padanya. Bukan perubahan warna kulit yang dia khawatirkan melainkan betapa panas matahari sampai terasa seperti masuk ke dalam rumah kaca.
"Yang jelas dia cantik banget dan imut. Gue sih pengennya sampai pacaran tapi lihat aja nanti apa saat gue tembak dia bisa kena," ujar Bobby yakin.
"Udah, besok nggak usah begini lagi segala pakai manja tembok demi ketemu cewek yang belum jelas mau sama lu apa enggak," tukas Rio kesal.
"Dia bakalan mau sama gue. Jangankan cuma tembok sekolah, lautan aja bisa gue seberangin demi ketemu dia," kata Bobby sembari menghafalkan rayuan yang tadi belum sempat ia lontarkan.
"Idih najis," ledek Rio.
Hari semakin siang sehingga mereka harus melanjutkan pelajaran.
Saat Anya kembali ke kelas Betapa terkejutnya ya begitu semua seolah tidak menghiraukan keberadaannya. Herannya, Anya hanya melakukan apa yang disuruh oleh pak Jamal. Harusnya bukan hanya dia yang jadi sasaran. Namun apa boleh buat siapa yang berani melawan guru?