Bulan November tahun 2027. Waktu berlalu begitu cepat, banyak hal yang terjadi sehingga membawa Anya kembali sekolah asal. Dia menjadi guru di SMA 127. Tempat ia bekerja kini menumbuhkan benih nostalgia dalam hatinya. Bangunan sekolah dominan berganti di halaman depannya saja. Seperti kata pepatah yang populer jangan lihat sebuah buku dari sampulnya. Itu kalau buku tapi kalau gedung sekolah, setiap siswa yang ingin sekolah ataupun jajaran pengawas pasti akan melihat tampak depan dari sekolah lebih dulu. Anya khawatir banyak yang berubah termasuk pohon mangga yang tumbuh di sebelah tembok batas antara SMA 127 dan SMK 21.
Kali ini bercerita tentang Anya yang sudah dewasa. Dunia memang sangat sempit, dulu waktu masih sekolah dia pernah digosipkan ada hubungan lebih dari guru dan murid dengan Pak Jamal tapi sekarang yang terjadi adalah Anya dan Pak Jamal menjadi teman sesama guru pengajar.
Hari pertamanya mengajar di SMA 127 adalah hari Senin yang identik dengan upacara bendera. Bertahun berlalu sejak terakhir kali hanya mengikuti upacara. Waktu memang tidak bisa diulang tapi berjalan maju, Anya saat ini mengenakan seragam warna khaki. Setelah upacara ia disibukkan dengan perkenalan guru baru di ruang guru.
"Pak Jamal," sapa Anya begitu melihat Sang Guru ada di depannya. Dia segera mencium tangan Pak Jamal kemudian bercerita tentang masa lalu yang pernah mereka jalani.
"Ya ampun anak di Tommy udah jadi guru," kata pak Jamal. Maksud hati hanya ingin menggoda Pak Jamal dengan cerita masa lalu bahwa dia pernah kena gosip ada hubungan erat dengan beliau. Namun saat ini adalah saat yang tidak tepat. Ada banyak guru baru dan guru lama di ruang guru itu. Anya mengenalnya karena dia memang lulusan SMA 127. Dia masih dalam gegap gempita karena berhasil menjadi guru tetap di sekolah ini.
Kesuksesan karir Anya tidak dibarengi dengan percintaan. Saat ini dia memiliki seseorang yang menghapus lukanya karena Bobby hilang tanpa jejak. Sayangnya Bobby tak kunjung kembali meninggalkan kesan mendalam tentang kisah cinta SMA yang tak dapat dilupakan.
Kembalinya hanya ke tempat itu sudah tertulis dalam takdir. Di usianya yang kini nyaris seperempat abad, hatinya hanya bisa menerima satu orang yang pernah hadir di masa SMA.
Setiap sudut kelas itu mengingatkan hanya pada masa di mana dia masih jadi gadis yang pendiam. Dia ingat Renata yang saat ini berada di Korea Selatan juga Bella dan Cessa yang dulu sangat sinis padanya terlebih saat rumor itu bergulir.
Anya langsung mengajar di kelas, dia memegang mata pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Kurikulum baru saat ini adalah semua siswa harus menguasai minimal dua bahasa asing. Saat pagi sampai menjelang sore, dia fokus untuk mengajar Tapi saat semua siswa dan guru sudah pulang inilah saatnya dia bisa berwisata di lautan masa lalu.
Dia berjalan menuju tembok belakang batas antara SMK dan SMA. Betapa tak kunjung dirinya Karena bertahun berlalu pohon mangga itu masih tetap di tempat. Entah apa yang terjadi sehingga tidak ada yang menebang pohon itu mungkin karena keberadaannya yang tidak mengganggu. Dia yakin di dalamnya masih ada botol kaca yang berisi benda kenangan dan surat yang saling ditulis untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Dulu mereka berjanji akan membuka kapsul waktu itu setelah dua atau tiga tahun tapi empat tahun berlalu, Bobby malah menghilang.
Apa yang terjadi?
Anya sampai merasa sesak jika harus mengingat kembali apa yang terjadi antara dia dan Bobby. Sekarang memang ada pria bernama Jenan yang menghapus luka. Namun apapun yang Jenan lakukan tidak akan memberikan kesan lebih dari apa yang pernah Bobby lakukan dulu.
"Bu, kok belum pulang?" tanya pak Gatot. Dia adalah tukang kebun yang sejak dulu bekerja di SMA 127.
"Masih mengenang masa lalu, bapak ingat saya?" tanya Anya. Pak Gatot memperhatikan wajah itu dengan seksama. Dia pun ingat dengan gadis yang dulu pernah menangis di bawah pohon mangga itu.
"Ya ampun, Nak Anya!" ucapnya senang. Dia otomatis berpikiran kalau hanya sudah menjadi guru di sekolah itu karena seragam yang dipakai.
"Sekarang sudah jadi guru? Alhamdulillah," ucapnya penuh syukur disambut dengan senyum hanya yang tak kalah gembira. Pak Gatot nampak lebih sepuh tapi semangatnya selalu muda. Halaman sekolah ini menjadi bukti karena pak Gatot rajin sekali membersihkan halaman dan lingkungan sekolah.
"Alhamdulillah."
"Jangan nangis lagi ya, di bawah pohon ini sekarang hanya ada suka. Nak Anya sudah kerja, sukses, jadi guru," ucapnya.
"Nggak nangis kok, Pak."
"Jangan, semakin dewasa masalah semakin berat. Satu-satunya cara untuk menghadapinya adalah dengan dijalani bukan ditangisi," kata pak Gatot.
Anya sudah mampu tertawa lepas dan mengalihkan perhatian dari kerinduannya terhadap Bobby setidaknya untuk sementara sampai Jenan menjemputnya di depan gerbang sekolah.
"Sampai ketemu lagi besok, Pak."
Anya beranjak pamit kemudian segera keluar dari gerbang sekolah. Dia masuk ke mobil Jenan.
"Gimana hari pertama sekolah?" tanyanya begitu Anya duduk di sebelahnya.
"Menyenangkan, aku bisa nostalgia di masa remaja yang nggak akan pernah terulang lagi. Ternyata menjadi guru adalah mesin waktu yang paling sederhana. Setidaknya dalam benak ini masih tergambar sebuah cerita. Waktu memang terus berjalan dan yang tersisa hanya memori," ujar Anya. Jenan nampak takjub dibuatnya karena Anya mendadak begitu puitis.
"Kapan dong Kamu bikinin aku puisi, bagus bener kata-katanya," ujar Jenan sembari menginjak gas mobil. Hanya tak bisa berkata apa-apa karena jujur imajinasinya mampet ketika ada di sebelah Jenan. Dia adalah pria yang baik tapi saking baiknya, Anya bisa menerima pria itu di hidupnya. Waktu yang berjalan membawa banyak perubahan termasuk nama-nama baru yang hadir dalam kehidupannya. Kalau boleh memilih, Anya hanya ingin orang-orang lama dalam hidupnya.
"Aku coba dulu ya, siapa tahu bakal ada inspirasi. Eh tapi, kapan-kapan Ayo kita ke Dufan," ajak Anya tiba-tiba. Dia merasa Rindu dengan Dunia Fantasi yang di dalamnya terdapat bianglala super besar.
"Apaan, kayak anak kecil. Kamu nggak mau coba ke galeri karya seni, lukisan, atau mungkin tempat bersejarah yang tenang," tolaknya.
Anya menunduk kecewa, ternyata memang beda orang beda isi kepala. Jenan sampai kapanpun tidak akan punya inisiatif seperti Bobby.
Jenan hanya persinggahan, ada satu orang yang tidak terlupakan dan masih bersembunyi di hati kecil Anya dan menjadi rahasia. Dalam perjalanan menuju rumahnya, pikirannya masih terpaku dalam masa lalu padahal dia sedang menjalani masa kini yang tak kalah menarik. Apa salah jika dia bersikap seperti itu?