Sekilas masa lalu merupakan gambaran bahwa orang yang bersama kita saat itu belum tentu bisa selamanya. Sungguh tidak mudah jika tiba-tiba bertemu kemudian selang beberapa lama langsung menikah. Hal itu terasa asing bagi ayah karena sebelum bertemu dengan orang yang tepat, dia bertemu dengan orang lain yang berkesan sebelumnya.
Masa lalu Anya yang belum usai sehingga dia kurang nyaman kalau harus melanjutkan hidupnya saat ini. Kalau saja ada penemuan yang bernama mesin waktu dengan segala konspirasi yang ada. Ia mau meminjam alat itu setidaknya untuk beberapa waktu sampai urusannya selesai dengan Bobby.
Dia pun segera mengambil buku diary kosong untuk menuliskan semua.
'Untuk kamu yang tak terlupakan.'
Kalimat itu tertulis di sana, Anya tidak ahli dalam menulis. Dia hanya tahu merangkai kalimat seperti yang
ia pelajari dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dia hanya menulis apa adanya.
Sampai senja menjelang, tak satupun kalimat tertulis di lembar kertas putih itu.
Hanya nama Bobby yang ia tulis karena memang tak terpikirkan kalimat lain selain nama itu.
Tersadar, Anya meletakkan kepala di atas meja. Dalam benaknya terpikir rentetan kejadian masa lalu yang tak mampu dia hempas.
Begitu membuka mata, dia sudah berada di dalam kelas. XI IPA 5, tertulis kelas itu di bagian atas White Board.
Anya berada di tahun itu, di mana Presiden Indonesia masih Joko Widodo.
"Nya! Ngelamun aja," panggil Renata. Dia menyadarkan lamunan Anya.
"Sori, gue berpikir tentang masa depan," ceplosnya.
"Bilang aja ngelamun," kata Renata. Anya hanya bernapas dengan lesu, tanpa diminta ternyata dia kembali ke masa lalu. Tidak ada penjelasan ataupun portal dan alat untuk mengembalikan waktu.
Entah mungkin ini adalah kesempatan kedua baginya untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai. Satu pertanyaan di benaknya. Ke mana perginya Bobby?
Satu kesempatan untuk mengulang semuanya. Namun apa jadinya ketika semua sudah digariskan? Apa Anya bisa mengubah?
"Anya, itu ada pak Jamal," kata Renata mengajak hanya kembali memusatkan perhatian pada guru di depan kelas.
"Gosip itu udah reda kok, lu santai aja depan Pak Jamal," kata Renata lagi. Anya masih menyesuaikan diri.
Dia membuka mata dan semuanya sudah berubah seperti masa lalu dia berada di pelajaran jam ke-3 dan 4 sebelum istirahat.
Pak Jamal terlihat sangat tampan saat itu berbeda dengan yang baru saja hanya temui di sekolah saat dia sudah menjadi guru. Garis ketampanan masih ada tapi ditambah dengan keriput-keriput. Di manapun hanya berada, kini dia sedang menyelesaikan sesuatu di semesta berbeda.
Kekuatan dari sesuatu yang tak diketahui.
"Pak Jamal," Anya mengacungkan tangan.
"Iya?" sahutnya cepat.
"Saya mau ke toilet," pamitnya disambut dengan satu anggukan yang menandakan ia diizinkan meninggalkan kelas. Iapun berjalan menuju toilet dengan perasaan yang kurang nyaman karena dia sedang dalam keadaan menstruasi. Sebelum sampai ke toilet, dia lebih dulu ke ruang UKS untuk mengambil pembalut.
Dia segera menyelesaikan pasang pembalut di toilet sembari membuka handphone.
"Ketemu di batas tembok."
Dia membaca chat itu tanpa melihat siapa pengirimnya dia sudah tahu pasti Bobby yang minta untuk bertemu di tembok batas itu.
Jantung Anya berdebar kencang karena rasa rindu itu membuncah secara tiba-tiba. Dia merasa kalau sudah tidak bertemu Bobby sekian tahun lamanya. Rasa bahagianya berlipat ganda.
Dia melangkahkan kaki keluar dari toilet kemudian kembali ke kelas dan menunggu jam istirahat. Suara sebagian teman sekelas masih berbisik sedang membicarakan Anya ternyata gosip itu tidak kunjung habis malah makin menjadi karena image Anya sudah dikenal sebagai siswa yang "akrab" dengan pak Jamal.
Waktu istirahat tiba setelah pak Jamal memberikan satu tugas untuk dikerjakan di rumah. Anya diam, seingatnya dia dulu pernah sengaja tidak mengerjakan agar bisa dikeluarkan dari kelas matematika. Namun kali ini dia tidak bisa mengulangnya. Cara itu sudah kelewat basi.
Bel istirahat berbunyi, Anya segera melesat dari bangkunya. Dia tidak ingin kehilangan momen, dia percaya kalau Bobby menepati janjinya. Padahal tempat itu seringkali jadi tempat untuk anak-anak yang bolos atau merokok. Namun kali ini koridor itu kosong, dia hanya sendiri sembari menunggu.
"Nya! Nya!" seru Bobby sembari berusaha menggapai tembok. Kepalanya mendongak, dia memberi senyum pada Anya.
Dia seperti merpati tak pernah ingkar janji bahkan sebuah janji kecil tak tertulis untuk menemui Anya setiap kali istirahat dibalik batas tembok sekolah.
"Gimana harimu di sekolah?" tanya Bobby.
"Masih tetap jadi bahan nyinyiran teman sekelas. Aku nggak nyaman aja, Kak. Boleh pindah ke sekolah kakak?" tanya Anya.
"Haters gonna hate, lakukan aja apapun yang kamu mau Asal itu tidak mengganggu orang lain," kata Bobby.
Dia tidak pernah menghakimi, Bobby selalu bisa menenangkan Anya.
"Iya kak, yang penting aku nggak pernah bermaksud untuk mengganggu mereka. Apalagi Pak Jamal itu adalah teman papaku, beliau sudah sering ngajak aku main Sejak aku kecil tapi mereka nggak bisa nerima pakai fitnah segala macam," keluh Anya.
"Semangat!" serunya sembari menghapalkan tangan ke atas. Dia berekspresi seperti pejuang kemerdekaan. Anya terkekeh dibuatnya.
"Nya, aku beliin batagor. Apa aku kasih Pulangnya aja ya, karena nggak sopan makanan dilempar," kata Bobby.
"Udah nggak masalah, nggak ada penilaian kesopanan di sini, aku bukan guru BK," kata Anya santai. Dia juga sudah lapar karena saya istirahat bukannya ke kantin tapi malah ke pojok parkir yang sudah lama tidak digunakan ini.
"Tangkap, ya?"
Hap! Bobby melempar seplastik batagor yang sudah lengkap dengan saus kacangnya. Anya menangkap dengan Sigap lalu mengucapkan terima kasih.
"Ini aku langsung makan?" tanya Anya.
"Udah makan aja, aku udah sarapan nasi sebakul tadi pagi jadi istirahat nggak lapar."
"Siapa di situ?"
Belum sempat hanya makan, suara itu sudah mengagetkannya. Suara bu Farah, guru BK yang sedang patroli pada jam istirahat. Sontak Bobby segera turun tangga, ia juga takut kalau ada orang yang melihat lalu lapor pada guru di sekolahnya.
"Kamu kelas berapa?" tanya bu Farah sembari berjalan mendekati Anya.
"XI IPA 5, Bu."
"Ngapain?"
"Tadi cuma keliling saja karena kantin lagi ramai, Bu."
Anya segera menyembunyikan batagor ke belakang punggungnya.
Bu Farah menatap curiga, apalagi terlihat tangannya keduanya ada di belakang seperti menyembunyikan sesuatu.
"Apa itu?" tanya curiga lalu merampas bungkusan plastik yang ada di tangannya. Itu hanya batagor, terbukti hanya tidak menyembunyikan apapun yang melanggar peraturan.
Bu Farah hanya diam lalu menyuruh Anya kembali ke kelas.
"Kembali ke kelas, di sini tempat anak bolos dan merokok. Istirahat di tempat yang semestinya," perintah guru yang paling galak di sekolah ini.