Trauma masa kecil Anya saat dia masih berumur 6 tahun. Saat itu di perumahan tempat dia tinggal ada pasar malam dadakan. Sekian tahun yang lalu perumahan yang dia tinggali masih sepi sehingga Butuh banyak hiburan dan pasar malam menjadi salah satunya.
Anya dan papa mamanya berangkat ke pasar malam itu dengan gembira. Tepat pukul enam sehabis magrib mereka berangkat dengan jalan kaki. Jarak antara rumah dengan pasar malam tidak terlalu jauh.
Di pasar malam itu, Anya bermain dengan gembira. Dia makan gula-gula kapas yang besar, tangan kanannya membawa minuman lemon yang selalu dijual di pasar malam.
Matanya berbinar melihat satu persatu wahana. Ada bianglala tinggi menjulang.
"Pa, naik yuk!" Serunya sembari memegang tangan Papanya kemudian segera mengajak Papa dan mama untuk naik ke Bianglala. Dia menggandeng tangan mama kemudian ternyata mama masih membeli cilor sehingga masih nunggu beberapa saat.
"Ayo ma, cepetan!" seru Anya terburu-buru seolah takut kehilangan momen. Bianglala yang dia lihat begitu besar dan terlihat kokoh. Matanya melihat tepat ke arah wahana yang sedang berputar itu. Namun beberapa detik setelah itu dia melihat dengan mata kepalanya langsung saat itu juga. Satu ruang Bianglala yang ada di puncak warna kombinasi kuning dan hijau. Tiba-tiba saja bergoyang sendiri ke kanan dan ke kiri dengan bunyi kawat berkarat yang bergesek. Anya tak tahu apa yang harus dilakukan dia hanya memegang erat tangan ayahnya karena hanya Anya yang sadar akan kejadian itu.
Bruk! Ctas!
Bianglala itu jatuh seketika ke tanah berumput. Sontak kejadian tak terduga itu membuat tubuh Anya gemetar. Ada rasa syukur dalam hatinya karena sayang mama masih membeli cilor saat itu.
"Nak, lari!" papa menggandeng tangan Anya kemudian menjauhkan dia agar tidak melihat dua orang yang jatuh dari Bianglala.
Anya menutup mata tanpa disuruh, ia benci melihat kekacauan itu. Harusnya yang tertangkap di matanya adalah sesuatu yang menyenangkan. Namun apa mau dikata, setiap peristiwa yang terjadi tidak bisa direncanakan.
"Kita pulang," ajak mama sembari menggandeng tangan Anya.
Peristiwa beberapa detik itu terekam di benaknya hingga usianya menginjak 17 tahun.
Sejak itu dia tidak pernah lagi mau diajak ke pasar malam apalagi diajak ke tempat dengan wahana yang ada bianglala di situ.
Namun seketika itu juga saat dia melihat poster pasar malam, dia penasaran juga apa yang akan terjadi kalau sekarang dia coba ke tempat itu. Di waktu yang sama dia juga melupakannya biarlah kalau ada kesempatan nanti dia akan mencoba kembali.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Perumahan cluster tempat Nindya tinggal. Bobby tahu pasti rumah sang mantan di mana.
"Masih inget ya, rumah aku?" tanya Nindya dari balik jok sepeda motor begitu Bobby masuk ke gapura perumahan yang dijaga oleh satpam.
"Masih," jawabnya pendek tanpa bertanya lagi. Dia tak ingin memperpanjang obrolan agar semua cepat selesai. Nindya segera kembali dan dia juga pulang.
Kaki Bobby menginjak rem, motor ninjanya berhenti tepat di depan rumah Nindya. Selang beberapa detik media tak juga turun sampai Bobby menggoyangkan sepeda motornya agar Nindya tahu diri sehingga turun tanpa ada ucapan yang bernada mengusir.
Nindya tahu diri, Dia segera turun dari motor Bobby.
"Makasih, nggak mau mampir dulu?" tawar Nindya ramah. Entah apa maksudnya, mungkin mungkin dia putus dari adik kelas itu lalu ingin kembali pada Bobby. Namun segera Bobby menepisnya. Dia menatap wajah Nindya
dengan datar.
"Pamit pulang dulu," ujarnya tanpa ekspresi kemudian segera menekan tombol double starter sepeda motornya lalu segera menarik gas di tangan kanan. Nindya bermaksud bilang sesuatu tapi ternyata Bobby sengaja menghindar.
Nindya ingin bilang kalau dia putus dengan adik kelas sehingga meminta kesempatan Bobby siapa tahu saja bisa kembali dalam waktu dekat. Nindya tidak suka kesepian, dia selalu ingin seseoang ada di sampingnya. Ada Rasa Sesal saat dia mendepak Bobby dari sisinya.
Bobby orang baik, dia baru menyadari saat kehilangan. Dalam lamunan itu, dia mengingat Saat Terakhir Bobby tersenyum padanya. Dia baru sadar bahwa hanya Bobby yang bisa mencintai dengan tulus
\*\*
Malam itu entah ada angin dari mana, Bobby keluar dari rumah untuk mencari kopi. Langkahnya bergerak maju Tanpa Rencana, dia berjalan ke arah utara kemudian belok ke kiri menuju minimarket yang menjual berbagai macam kebutuhan. Tanpa disangka dia bertemu dengan Anya.
Entah apa sebabnya jantung Bobby berdegup kencang padahal saat itu dia berkenalan hanya karena iseng tapi ternyata Anya juga merasakan hal yang sama. Jantungnya berdegup kencang bukan lantaran jatuh cinta melainkan karena dia asal ceplos pada Bella kalau Bobby anak SMK 21 adalah pacarnya.
Anya terkesiap, dia seperti melihat penagih hutang. Dia sedikit tersenyum tipis untuk menunjukkan keramahan tapi dalam hatinya dia merasa malu karena sudah sengaja mencatat nama Bobby tanpa izin apalagi mengaku sebagai pacarnya.
"Anya!" panggil Bobby. Dia berjalan menghampiri Anya.
"Nya. Udah malam gini mau beli apa?" tanya Bobby.
"Aku lagi laper, beli mie goreng sama telur."
"Gue juga, sama mau beli kopi. Rumah Anya di mana?" tanya Bobby.
"Dekat warung ini, lurus dikit jarak lima rumah," jawab Anya kikuk. Saat ini sangat tidak tepat untuk mengutarakan apa yang Renata bilang pada temennya tadi siang. Ada banyak mata yang melihat dan telinga yang mendengar karena tetangga-tetangga yang sering ngumpul dan berbincang pasti selalu ada.
"Iya, gue temenin pulang."
"Deket kok, rumah kak Bobby di mana?"
"Sekitar sini juga," jawab Bobby.
"Nggak nyangka kita tetanggaan, tahu begitu tinggal main ke rumahmu aja ketimbang melalui sepupu gue dulu," Bobby terkekeh geli.
"Ya masa datang ke rumah cuman buat kenalan. Itu malah konyol banget," kata Anya.
Tanpa terasa waktu berlalu beberapa menit di depan etalase memilih mie instan dan kopi sembari mengobrol tentang hal yang sangat ringan.
Setelah membeli apa yang mereka butuhkan, Anya pamit pulang Akan tetapi Bobby tetap berada di sampingnya.
"Aku bilang, aku mau antar kamu pulang," ujarnya dengan tetap bertahan di samping Anya.
"Oke deh, sekalian gue mau ngomong tapi kakak jangan marah," bujuk Anya.
"Nggaklah, mau marah gimana?"
Anya memperlambat langkahnya, dia mengumpulkan tenaga untuk bilang pada Bobby.
"Aku mengaku ke teman kalau pacar aku namanya Bobby anak SMK 21."
"Gimana?" tanya Bobby tidak mengerti. Dia tidak yakin kalau Anya benar-benar mengucapkan itu.
"Aku bilang kalau Kak Bobby adalah pacar aku."
"Wah, kita udah pacaran ya? Belum juga nembak," kata Bobby sumringah.