"Nggak gitu maksud aku. Aku keceplosan waktu ada yang nanya aku punya pacar apa enggak karena kalau aku bilang nggak punya gosip itu akan semakin parah," ungkap Anya jujur.
"Gosip?" tanya Bobby.
"Duh, ceritanya panjang. Intinya ada foto aku lagi makan sama guru berdua padahal beliau adalah teman papaku dan kenal aku juga udah dari kecil bahkan sebelum aku jadi muridnya," tukasnya lagi. Bobby ingin tahu lebih lanjut tapi dia khawatir malam akan semakin larut..
"Kita lanjutin besok aja dan aku mau ngantar kamu ke sekolah. Terserah kamu, silakan aja mau anggap aku pacar atau pura-pura pacaran atau gimana asalkan kamu nyaman karena kok aku ngerasa masalah kamu di sekolah berat banget ya?"
Bobby cukup sensitif, dia bisa melihat keresahan dari balik wajah Anya.
"Aku cuma mau sekolah, nggak tahu kenapa ada aja yang kayak gini," keluhnya.
"Justru kisah kasih di sekolah yang bikin hari kamu lebih berwarna. Keep going, yang penting kamu nggak melakukan apapun biar rumor itu hilang bagai butiran debu," Bobby asal ceplos meniru judul lagu yang sempat populer beberapa tahun yang lalu. Anya tersenyum, hari ini sudah dua kali Bobby membuat senyumnya merekah tatkala dunia seolah memusuhinya.
"Besok jemput jam setengah tujuh ya?" pinta Anya. Bobby tertawa sekilas karena dia biasanya berangkat pukul tujuh kurang lima menit.
"Oke."
Bobby tidak ingin memperpanjang, dia segera pulang karena sudah lapar sementara hanya masih ada di teras rumah karena pak Tommy menanyakan beberapa hal.
"Kok sama cowok?" tanyanya.
"Rumahnya dekat sini," jawab Anya. Selama ini jarang ada cowok mendatangi rumahnya sehingga memang terasa aneh kalau Bobby datang ke sana.
"Oh tetangga, teman satu sekolah?"
"Iya, Pa."
Jawaban yang begitu ringkas karena akan lebih sulit kalau menjelaskan Bobby dari SMK 21 karena image murid SMK yang barbar dan berbeda dari anak SMA yang image-nya santun. Padahal yang sebenarnya terjadi malah hanya dibuat tidak nyaman dengan murid SMA karena gosip yang begitu cepat menyebar.
Selang beberapa detik hanya kembali ke kamarnya, Dia baru saja membuka HP setelah merebus mie dan menyeduh susu sereal. Ada pesan dari Bobby yang mengajaknya hari Sabtu lusa ke Dufan.
Sabtu ke dufan? Ada dua tiket nih.
Sebaris pesan itu dijawab oke oleh Anya. Dia tahu kalau Dufan memiliki bianglala yang sangat besar. Siapa tahu saja dengan menaiki bianglala itu dia bisa mengobati trauma masa kecil. Dia harus minta izin kepada papa mamanya, pasti boleh kalau pergi dengan orang yang rumahnya tak jauh dari rumah ini.
**
Keesokan harinya, saat matahari mulai bersinar. Anya minta izin untuk berangkat dengan Bobby. Kebutuhan sekali sepeda motor sudah mogok jadi tidak bisa mengantar Anya ke sekolah.
Bobby menjemput di depan rumah, dia memberi senyum untuk menyapa pak Tommy. Sikapnya berbeda dari image SMK 21 yang beredar di masyarakat. Bobby anak yang sopan bukan stereotip anak SMK yang dinilai etikanya kurang.
Sepanjang perjalanan, Anya merasa nyaman di sepeda motor Bobby. Kali ini dia naik motor matic agar Anya bisa nyaman duduk di jok boncengan.
"Akuin aja gue sebagai pacar kalau itu bisa menolong dari rumor yang sedang beredar," kata Bobby.
"Kamu nggak lagi punya pacar?" tanya Anya.
"Nggak ada."
Tidak banyak yang mereka obrolkan di atas sepeda motor karena memang suara bisa timbul tenggelam karena angin yang berhembus. Sesampainya di sekolah, Anya berpapasan dengan Bella dan Cessa. Mereka memperhatikan Anya lekat-lekat. Dia datang ke sekolah dengan cowok seragam SMK 21. Dan itu juga sekaligus menjawab rumor kalau hanya ada main dengan Pak Jamal. Lagi pulang setega itu mereka sampai Anya dibuat resah akan rumor. Padahal Anya hanya ingin sekolah. Namun kata Bobby semua itu hanya Kisah Kasih Di Sekolah. Nikmati saja.
Pagi itu Renata sudah kembali seperti semula, dia tidak lagi sinis terhadap Anya.
"Udah diajak Bobby ke dufan?" tanya Renata begitu Anya duduk di sampingnya.
"Udah sih, padahal Dufan itu mahal."
"Iya tapi itu dari kantor nyokap, beliau dapat enam voucher tiket ke dufan padahal keluarga kita cuma empat orang. Dua lebihnya gua kasih deh ke Bobby."
"Makasih ya, Ren. Sampai nggak enak sendiri kirain Bobby yang bayar soalnya gua nggak mampu ke Dufan paling banter ke pasar malam," ujar Anya ditutup dengan guru Bahasa Inggris masuk di jam pertama.
Semua terjadi begitu saja sampai sabtu pagi tiba. Bobby minta izin pada Pak Tomi dengan lancar sehingga dia bisa mengantongi izin. Itu juga karena hanya bilang kalau Renata yang punya tiket hingga diberikan pada Bobby. Renata sudah dikenal di keluarga Anya sebagai sahabat jadi kepercayaan itu muncul dengan sendirinya.
Mereka ke Dufan naik motor matic. Bobby sudah memastikan semuanya aman jadi begitu sampai di Dufan, Anya tinggal mengendalikan emosinya karena Wahana pertama yang didatangi adalah bianglala. Anya tidak bercerita apapun tentang masa kecilnya dengan bianglala biar semua mengalir begitu saja. Mereka bercanda seperti biasa sembari mengantri naik Bianglala.
"Dari sini kamu bisa lihat seluruh kota, pokoknya berkesan banget," kata Bobby. Perlahan Anya melangkah ke ruang bianglala. Dan tidak ada hal buruk terjadi.
Bobby bisa menyembuhkan trauma Anya. Di dalam bianglala itu, Anya hanya diam. Tangannya memegang erat jemari Bobby. Dari sikapnya terlihat kalau ketakutan itu bukan dibuat-buat. Semua alami tanpa disengaja karena peristiwa jatuhnya Bianglala di depan mata adalah satu hal yang tidak bisa Anya lupakan. Dia hanya gadis berusia enam tahun saat itu wajar kalau kejadian masih melekat dalam ingatan.
"Anya, ada gue. Lu nggak perlu takut," bujuk Bobby. Dalam hati ia berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Bunyi kawat karatan saling bergesek bagai suara sumbang yang menyakitkan di telinga Anya. Padahal sama sekali tidak ada kawat berkarat di situ karena Bobby membawanya ke tempat dengan standar keamanan yang baik.
Terbayang dalam benaknya sebentar lagi ruang bianglala itu akan jatuh. Namun Bobby yakin benda itu tidak akan jatuh karena standar keamanan Dunia Fantasi beda dengan bianglala yang ada di pasar malam.
"Ini bukan pasar malam."
Suara Bobby menyadarkan Anya kalau Dia sedang berada di sebuah wahana yang bisa membuatnya melihat seluruh kota dari atas. Anya dari tadi memejamkan mata. Suara Bobby dia hiraukan.
"Buka matanya, pemandangan yang indah ada di depanmu."
Hanya membuka mata, dia pernah mendengar entah di mana kalau phobia harus dilawan dengan sesuatu yang menjadi ketakutan itu sendiri. Dan kini ia beranikan diri untuk membuka mata.