Chereads / Unforgettable, You / Chapter 5 - 5 Chatting

Chapter 5 - 5 Chatting

Grup chat ramai dengan pembahasan, Murid SMA 127 sepertinya ada di mana-mana karena salah satu dari mereka tahu kalau Anya ke mall dengan Renata dan cowok. Mereka bagai akun bernama lambe turah yang tahu segalanya.

Intinya mereka membahas tentang Anya mendapat pacar baru dan berbagai cuitan buruk tentang Anya. Sepertinya saat ini gadis itu bernapas saja menjadi bahan pembicaraan.

Berbagai komentar kebencian terbit dari ketikan-ketikan grup chat itu.

Anya gampangan!

Duileh, guru aja diembat apalagi murid.

Cantik dia?

Kayaknya bukan murid sekolah kita deh.

SMK sebelah? Tempat preman itu?

SMK 21 terkenal sebagai sekolah dengan siswa geng motor. Salah satu jurusan yang paling populer di sana adalah mekanik sehingga banyak yang memanfaatkan hal itu untuk memodifikasi motor mereka sebagus mungkin. Siswanya terkenal galak tak jarang membuat takut siswa SMA 127.

Anak-anak yang lagi ngobrol tentang Anya mendadak terhenti. Barisan chat terhenti sampai ada yang nyeletuk.

Gimana kalau Anya pacaran sama anak SMK?

Dih, hina amat. Ga laku di sekolah kita kali.

Begitulah, satu pancingan membuat rumor bagai bola. panas yang menggelinding. Kalau hubungan Anya dengan pak Jamal sudah mereda. Kini berganti. Anya sedang dekat dengan siswa SMK sebelah.

\*\*

Keesokan harinya, Anya bersiap ke sekolah. Rambut panjangnya dikuncir tinggi seperti ekor kuda. Wajahnya dipoles bedak dan lip tint pink di bibir. Dia berangkat diantar papanya.

"Pa, ayo berangkat."

Pak Tommy menoleh, pagi ini Anya tak seperti biasanya. Dia lebih cantik hari ini. Mungkin karena dia ganti skin care dan parfum.

"Cakep banget, mau ketemu pacar apa sekolah?"

"Biar seger aja Pah, masa buluk ke sekolah?" sahut Anya sembari mengencangkan kedua sisi tas ranselnya. Tas itu dia pakai sejak kelas satu. Keluarganya bukan orang kaya yang bisa membelikan tas bermerek untuknya. Cukup tas dari katalog yang beredar di sekolah.

"Anak papa udah cantik, mau dandan kayak apa."

"Pa, aku jangan naik motor itu."

Pandangan matanya tertuju pada sepeda motor matic yang banyak tembelan di sisi kanan dan kiri. Sepeda motor yang tidak lagi mulus, aki motor sudah tua sehingga double starter yang ada di stang motor tidak bisa menyala. Kaki Anya tidak cukup kuat untuk menghidupkan mesin. Belum lagi asap sepeda motor yang cukup mengganggu.

Pak Tommy berjalan ke arahnya kemudian membelai pipinya lembut karena tak ingin membuat noda atau menghapus bedak di wajah mulus itu.

"Maaf, papa belum bisa belikan motor yang cantik seperti kamu."

Hanya tertunduk dan mengangguk pasrah karena dia tidak tahu mau membalas apa. Ayahnya hanya seorang guru honorer di SMP, yang sudah lama mengabdi tapi tidak diterima menjadi pegawai negeri.

Namun apalah Anya, dia hanya seorang remaja cantik yang harusnya memiliki barang-barang yang keren. Mau dikata apa kemampuan orang tuanya memang hanya segitu.

"Kalau papa bisa kayak pak Jamal jadi pegawai negeri, gaji papa tetap dan ngga telat, bisa belikan kamu motor."

Anya mendengus mendengar nama Pak Jamal disebut. Pak Tommy tidak tahu gosip yang sedang menimpanya.

"Pa, ayo berangkat."

Anya menghentikan pembicaraan, dia mau segera berangkat ke sekolah.

Dia bonceng di jok belakang tanpa helm karena akan merusak ponytail, sepanjang perjalanan dia hanya memandang lurus ke depan.

Sampai di gapura perumahan, ia berpapasan dengan Bobby. Dia mulai mengenalnya, ternyata rumahnya hanya beda blok dengan Anya.

Mereka tidak saling sapa hanya saling melihat dan berlalu ke tempat tujuan masing-masing.

Harusnya Bobby ke sekolah tapi dia mengendarai motor ke arah yang berlawanan. Itu urusan Bobby yang penting sekarang Anya berangkat ke sekolah.

Sesampainya di gerbang sekolah dia mencium tangan papanya.

Langkahnya ringan menuju kelas. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, masih ada waktu. Di tengah koridor dia berpapasan dengan Bella. Gadis itu menatap sinis padanya. Hanya karena sebuah rumor, Anya dan Bella tidak saling sapa.

"Gadun!" seru Bella sehingga Anya menoleh dengan polosnya seakan menunjukkan ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

Bella melihat ke arah lain, dia tak ingin terjadi keributan di ruang kelas. Koridor yang mereka lewati tepat di sebelah ruangan BK. Bisa runyam kalau sampai. ketahuan guru.

Drap! Drap! Drap!

Renata berlari mengejar langkah Anya, dia sedikit terlambat karena harus isi bensin.

"Gue kira telat," kata Renata dengan napas terengah.

"Apaan coba, kaget," protes Anya.

"Sori, sori, gue panik. Udah ngerjain PR MTK?" tanya Renata. Sontak hanya menepuk kepalanya dengan kedua tangan. Dia lupa sama sekali tentang PR itu. Dirinya terbawa perasaan karena semua yang berhubungan dengan pak Jamal dialihkan dari pikirannya sehingga buku matematika dia langsung masukkan tas tanpa dilihat lebih dulu.

"Lupa!" seru Anya panik. Matanya menatap Renata dengan memelas, selama ini Anya adalah anak yang rajin bukan golongan anak bandel yang tidak mengerjakan tugas.

"Iya, gue kasih contekan."

Renata memberi pertolongan tanpa diminta untuk menyelamatkan reputasi Anya sebagai siswa yang rajin. Pak Jamal adalah guru yang tegas, di atas segan-segan mengeluarkan siswa dari kelas saat ketahuan tidak mengerjakan tugas.

Namun sepersekian detik, terlintas dalam benak Anya jika dia tidak mengerjakan maka akan keluar kelas sehingga dia akan jauh dari rasa sungkan terhadap pak Jamal.

"Eh, ya udah biarin. Gue nggak usah mengerjakan, biar gua keluar dari kelas saat pelajaran pak Jamal," ucap Anya dengan perasaan tidak nyaman. Renata mengerti, Anya hendak meredakan gosip itu agar tidak semakin menjadi-jadi tapi apa yang terjadi di kelas malah menunjukkan hal yang sebaliknya.

Pak Jamal mengajar di jam pertama, dua jam pelajaran matematika adalah sesuatu yang horor bagi siswa. Kepala Anya tertunduk karena malu saat semua mata menoleh ke arahnya.

"Kumpulkan tugas hari kamis lalu, bagi yang tidak mengerjakan silakan keluar kelas," ucap pak Jamal setelah berdoa. Pandangannya lurus ke depan. Sikapnya di kelas tampak berwibawa.

Anya sadar diri, dia keluar kelas bersama dua cowok lain yang juga tidak mengerjakan tugas.

"Anya," panggil pak Jamal. Dia segera berbalik demi menghormati gurunya.

"Kenapa nggak mengerjakan? Baru kali ini kamu tidak mengerjakan tugas. Ada apa?" tanyanya.

Dan lagi, semua mata tertuju ke depan kelas sementara Willy dan Nuca lolos dari pertanyaan, pak Jamal membiarkan mereka keluar begitu saja.

"Saya semalam pusing, Pak."

Anya beralasan basi, dia memang sengaja tidak mengerjakan agar bisa keluar kelas.

"Kenapa masuk sekolah? Izin pulang aja atau nggak ke UKS," kata pak Jamal lembut. Ucapan itu membuat seisi kelas terkejut. Betapa baiknya pak Jamal hanya pada Anya.