Panglimun Limang Unsur, jenis ilmu aneh yang diturunkan Kakek yang benar-benar memiliki sifat menuntut, baik sejak masa pelatihan hingga ketika Ray mampu menggunakannya dengan baik. Entah apa jenis genre ilmu ini sebenarnya, mengingat ilmu ini memerlukan rapalan gaib sebelum digunakan.
Dan kemampuannya?
Mungkin banyak pahlawan dari Marvel bakal kelimpungan ketika menghadapi pengguna ilmu ini. Memberikan kemampuan serupa baju zirah, yang membuat si pengguna tak tertembus senjata tajam, memberikan kekuatan setara 50 orang pria, atau mampu berkomunikasi dengan setan adalah sedikit dari apa yang ditawarkan oleh ilmu ini. Meski rupanya, menjadi gampang marah adalah efek samping yang paling ringan. Kakek pernah bercerita kalau adik seperguruannya dulu pernah membantai hampir 100 orang perampok di Alas Mentaok hanya karena perdebatan kecil, dan rupanya, hal ini pula yang terjadi pada Ray. Meski kalau menurut Kakek, bukan sifat brangasan yang dimunculkan, tapi sifat kompetitif yang tinggi. Tapi selama si pengguna tak terpicu, biasanya mereka jarang sekali lepas kendali seperti yang terjadi pada adik seperguruannya itu.
Ray sendiri tak terlalu perduli dengan hal ini. Ketika penjelasan itu datang dari Kakek, ia lebih berkonsentrasi untuk menahan rasa sakit, perih dan panas luar biasa yang muncul ketika salep obat berbau busuk itu ditempelkan Kakek ke atas luka di punggungnya. Denyut rasa nyeri datang bagai menghancurkan fokus dalam otaknya, yang akhirnya membuatnya pingsan.
******
Porsche hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi. Bergerak bagai ular yang gesit di tengah sibuknya tol lingkar dalam Jakarta. Berkelit bagai pembalap profesional dengan beragam teknik tingkat tinggi yang memungkinkan mobil sport mewah itu mempertahankan kecepatan tingginya. Sementara di dalam kabinnya, Destiny tampak menempel ketat pada sandaran kursi. Wajahnya pucat pasi sementara tangannya tak lepas mencengkeram sabuk pengamannya.
"Ammit, pelanlah sedikit. Aku belum lagi jadi menikah!"
"Kemana ini kita? Meetingku ditunda besok pagi, dan aku tak punya uang untuk bayar hotel." tukas Ray sambil membuang tatapan heran melihat bagaimana Destiny terlihat seperti sedemikian ketakutan di kursinya.
"Safe house kuningan. Lihat ke depan, Ray, God damn it!" teriaknya sambil kemudian menjerit dan bahkan menutup mata ketika mobil sempat melakukan power slide sebelum menyalip kendaraan lain, sementara Ray justru terbahak-bahak. Jarum penunjuk kecepatan sudah mencapai ke angka 150 km/jam, dan pemuda itu malah tampak semakin bersemangat. Mobil patroli jalan raya yang sempat mengejarpun akhirnya menyerah dan membiarkan pengemudi ugal-ugalan itu menghilang dalam keramaian traffic. Hanya ketika akhirnya mobil itu keluar dari jalan tol, Ray memperlambat kecepatannya. Wajahnya yang kukuh tampak bersinar penuh kebahagiaan seperti seorang anak yang baru saja mendapat mainan yang paling ia inginkan. Meski baru ketika mobil itu memasuki pelataran parkir sebuah gedung apartment setinggi 54 lantai di bilangan Jakarta Pusat itulah, Destiny baru bisa menarik nafas lega.
"Sialan, Ray! Ini Jakarta, bukan Jogja! Mobil disini lebih banyak daripada disana!" rutuknya kesal.
"Eh, ngejek!!! Jogja makin sering macet, sama kayak disini tau. Lagian, tol trans jawa bikin banyak orang bolak-balik jogja-jakarta. Enak aja bilang."
"Ah, tetep aja. Nggak perduli, yang jelas nyetirmu berantakan!" potong gadis itu kesal. Lebih dari semuanya, ia paling nggak ingin terlihat lemah di depan Ray.
Perdebatan ini yang terus terjadi, menemani kedua orang itu memasuki lobby apartment 49 lantai itu. Ray sama sekali tak memperhatikan bungkukan hormat yang datang dari doorman, yang bergegas membuka pintu untuk mereka. Ia hanya berpikir kalau itu semua karena Destiny, si nomor empat.
"Nomor berapa, Des?"
"Empat. Kan udah kubilang kalau..."
"Lantai berapa, Dodol?!!" sergah Ray sambil menoyor kepala gadis cantik yang tak henti bersungut-sungut itu.
"Owh, 49, D. Kita di penthouse." sahutnya sambil nyengir.
"Don't call me that." balas Ray datar. Ia benar-benar berjuang untuk menolak dan hanya akan butuh sesaat baginya untuk melangkah kembali ke dunia gelap ini jika ia menerima masa lalunya itu sedikit saja.
"Sorry, Bos. Kita disini..." jawab Destiny sambil menunjukkan arah pada Ray.
Lantai paling atas dari apartment ini hanya ditempati satu ruang. Lorong gang koridor-nya memiliki motif saling silang yang Ray kenali sebagai latar belakang kartu nama yang nampaknya menjadi semacam tanda pengenal bagi setiap anggota Smiling Demon's Army. Hanya saja ada sedikit perbedaan pada beberapa lintasan dan bentuk pada motif saling silang itu, tapi Ray sedang tak merasa memiliki keinginan untuk mencermati apapun. Ia hanya mengikuti langkah Destiny, yang segera menempelkan jempolnya pada panel pintu.
"Ehm, fingerprint unlock system. Not bad, not bad at all. Macam laboratorium di film-film." dengus Ray penuh nada ejekan, tapi gadis itu mengacuhkannya. Destiny segera memasuki ruangan yang tertata dengan mewah dengan cepat.
"Duduklah dulu, Ray. Kubuatkan sesuatu untukmu. Semoga saja aku masih mengingat minuman favoritmu. Kami selalu menyimpan beberapa botol di setiap safehouse, incase if you come around."
"Sekarang aku minum kopi, Des. No more may tai, no Kahlua, atau DB on the rock seperti dulu. Kopi saja, no sugar if you..."
Hanya saja, belum selesai kalimat Ray, sosok yang muncul kemudian segera membuatnya menghentikan kalimat godaannya.
Ia masih sama seperti sebelumnya. Meski usia nampak mulai meninggalkan jejak pada wajah itu, namun ia tetap menggunakan seragam mirip baju pelayan yang sama, meski salah satu lengan baju kirinya jatuh tanpa daya sebatas siku. Pandangan mata Ray mulai berkaca-kaca ketika melihat sosok yang mulai menua itu, tersenyum sedih, seakan menyesali kehadirannya di tempat itu.
"Who did this, Uncle?" tanya Ray pelan, sekuat tenaga menahan kesedihan yang membuncah keluar dari dasar hatinya. Sementara pria itu hanya menghela nafas perlahan ketika pandangannya jatuh pada tangan yang terpotong sebatas siku itu.
"Kenapa kau harus kembali lagi, Ray? Ini bukan lagi masalahmu..." ujar pria itu sambil menggelengkan kepalanya. Kesedihan tampak jelas terlihat dimatanya. Ia terlalu mengenal pemuda ini. Sungguh sebuah kesalahan baginya untuk kembali berada di tempat ini setelah mampu menjauhkan diri selama bertahun-tahun.
"Uncle, tell me. Who did this thing?!" ulang Ray lagi. Suaranya sudah mulai gemetar ketika amarah mulai muncul tanpa kendali. Baginya, Jack lebuh berharga daripada siapapun di organisasi keparat ini. Pria itu selalu baik pada semua orang. Hanya bangsat tak punya otak yang sampai nekat menyebabkan ini pada orang baik hati ini.
"No body, Ray. Ini bukan urusanmu lagi. Pergilah. Pergilah saja. Des, antar Ray pergi dari sini. What were you thinking to ask him come here??!"
"Uncle, i ask you one more time. You know how much i hate to repeating my words. Who... Did... This??!" desak Ray perlahan, meski nada penuh kebencian dan kemurkaan yang menggelegak tak mampu lagi ia sembunyikan.
"Rafa, D. Rafa did any of this!" sahut Destiny ketika dilihatnya Jack hanya terus menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Ini sebuah kesalahan bagimu untuk datang, Ray..." desah pria itu sedih. Sejak awal, ia memang tak ingin melihat Ray terus tertahan dan terperosok ke dalam dunia menyedihkan ini.
"I will embrace my mistake, Uncle..." sahut Ray pelan. Tangannya mengepal dengan kuat, berusaha menahan amarah yang mulai menjilat dan memaksa keluar untuk membakar pikirannya.
"Jika demikian, selamat datang kembali, Master..." sahut pria tua itu lagi sambil membungkukkan badannya. Kesedihan tampaknya telah membuat umurnya bertambah dengan singkat. Badan yang cacat itu berbalik dan berlalu.
"Welcome back, D..."
"Hapus senyum dari wajahmu, Nin. Aku tak mau melihatnya." ucap Ray perlahan, yang membuat Destiny segera menampilkan wajah tenang. Ia bahkan tak memprotes panggilan yang disematkan Ray padanya. Pemuda ini yang berhak memberi nama pada siapapun. Tak perduli apa sebutan baginya sebelumnya, jika dia Nin, maka ia adalah Nin.
"Kumpulkan semua team 10. Malam ini, kecuali mereka mati, aku mau mereka ada disini."
Destiny hanya mengangguk, dan segera melangkah keluar. Jika Smiling Demon bangkit dari kematian, tak perlu bicara. Lakukan saja apa yang ia perintahkan. Dan ketika ia kembali, biarkan darah tertumpah untuk membasuh semua penghinaan yang sudah mereka alami beberapa waktu ini.