Ray terdiam. Ayah selalu mampu menghadirkan perasaan segan kapanpun ia mau, terutama jika ia hanya diam seperti saat ini. Meski terkenal sopan, ramah dan banyak digandrungi wanita karena kegantengannya, Ayah selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Perilakunya selurus penggaris besi dan selalu menepati apapun yang ia janjikan, entah bagaimana caranya. Tahu membedakan salah atau benar dan prinsip hidupnya tak bisa ditukar bahkan dengan seluruh harta di dunia. Ketepatan dan disiplin serta efisiensinya telah membuat kami, anak-anaknya, segan dan menghormatinya dengan sepenuh hati, tak terkecuali Ray, si bungsu pemberontak tak tahu aturan itu.
"Buka kemejamu, taruh di bawah luka. Darahmu netes kemana-mana."
Ray tak menjawab. Ia hanya melakukan apapun yang Ayahnya perintahkan sementara pria itu bahkan tak mengalihkan perhatiannya dari jalan.
"Buka laci dashboard, disitu ada minyak rem. Tuang ke lukamu. Itu akan membantu menghentikan darahmu netes terus."
Dan Ray kembali melakukannya. Ia bahkan tak mengeluarkan suara ketika rasa panas dan perih yang menggigit muncul ketika minyak rem bersentuhan dengan lukanya. Air matanya mengalir keluar tanpa mampu ia tahan. Baru kali ini ia merasakan rasa sakit sehebat itu, tapi ia sama sekali tak berani mengeluh di depan pria ini. Ray tahu kalau Ayah sangat marah, dan ia tak ingin menambahnya dengan menampakkan kelemahannya.
"Sakit? Perih?" tanyanya ketika dilihatnya air mata di mata Ray, sebelum anak itu menghapusnya secepat ia bisa.
"Ndak papa kok, Pah." jawab Ray pelan.
Pria itu tersenyum, meski senyumnya sama sekali tak menyentuh mata coklat yang biasanya memancarkan rasa hangat itu. Ia meminggirkan dan menghentikan mobil ketika dilihatnya tak ada lagi orang yang terlihat mengejar. Perlahan, ia melihat kondisi luka di tangan Ray.
"Bagus. Papah masih harus ke kantor cabang Jogja dulu kirim barang. Nanti setelah selesai baru ke rumah sakit." ujarnya tenang, lalu kembali menjalankan mobilnya.
Ray hanya tertunduk lemas ketika ia mengangguk lesu. Pikirannya berkecamuk dalam kecepatan tinggi, mencoba mencari menerka dan mencari jawaban atas apa yang mungkin Ayah akan tanyakan, meski rasa putus asa makin lama makin berat menggayuti pikirannya.
Tak ada jalan keluar aman untuk masalahnya!
*******
Tempat ini tak bisa dibilang menyenangkan bagi pandangan. Jajaran rumah tanpa pagar berdesakan tanpa aturan dan penataan, terhubung secara aneh oleh jaringan gang-gang sempit. Halaman-halaman rumah yang berantakan oleh beragam barang dan sampah tampak di banyak lokasi. Di salah satu sudut warung penjual mie kopyok, yang mengambil rumah salah satu warga, tampak banyak orang yang tengah asyik dengan ramalan nomor dan buku tafsir mimpi, mencoba membeli harapan untuk jadi kaya dari SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Sementara di sudut lainnya, kelompok anak muda tampak tengah bersendau gurau tanpa kendali. Sebuah teko berisi cairan berbau tajam menemani mereka saat nyanyian tanpa kontrol menguar dari mulut-mulut mabuk mereka.
Di kampung ini pula rumah Ray berada.
Sebuah rumah sederhana, berlantai tanah dan tak memiliki plafon. Rumah yang memaksa penghuninya untuk menimba air dari sumur untuk setiap kebutuhan karena Ayah terlalu miskin untuk menyisihkan uangnya guna membeli mesin air. Rumah dengan halaman kecil di depan, yang oleh tangan Ayah, disulap menjadi halaman asri mirip taman cantik yang pernah ia lihat di rumah salah satu atasannya. Dengan pagar tembok setinggi perut orang dewasa, yang menurutnya bukan menjadi sekat, tapi pemersatu masyarakat karena kegunaannya bisa difungsikan sebagai tempat duduk ketika waktu ngumpul datang. Rumah yang dibeli Ayah dengan cucuran keringatnya, tapi hanya ia tempati dari hari Sabtu malam hingga Minggu sore, ketika kemudian ia harus kembali sibuk bekerja. Rumah sederhana yang dipaksa untuk jadi tempat bernaung harian bagi Kakek, Ibu, Ray, kedua kakak laki-laki dan satu kakak perempuannya.
Ray terpekur diam. Duduk di kursi rotan sintetis dengan tegak tanpa mempunyai keberanian untuk menyandarkan badan sedikitpun. Sementara Ayah, duduk di depan, memandangnya tanpa bicara apapun.
Luka di tangan Ray sudah diperban dengan rapi. Badannya bahkan sudah bersih dari berbagai noda darah. Ayah sudah mengantarnya ke rumah sakit, dan sesampainya di rumah, ia segera mengisi bak mandi penuh-penuh, lalu menyuruh Ray mandi. Kemudian menyuruhnya makan. Tapi Ayah sama sekal tak bertanya apapun tentang kejadian hari ini. Pria itu hanya melakukan berbagai hal yang biasanya diinginkan oleh Ray dilakukan untuknya, yang biasanya adalah sebuah kemustahilan untuk terjadi.
Dan ini yang semakin membuat Ray merasa frustasi.
Ia lebih memilih dimarahi, atau bahkan dipukul daripada didiamkan saja seperti ini. Imajinasinya terus bergerak dalam beragam andaikata, bilamana jika dan seandainya yang saling berkejaran tanpa henti dalam otaknya, mencari sekaligus tak menginginkan hal itu terjadi, dan perasaan itu membuatnya hampir gila. Sudah hampir satu jam mereka duduk diam disini, dan selama waktu itu, pria itu hanya menatap Ray dengan pandangan ambigu dan berkali-kali menghela nafas berat. Pria itu tampak sedemikian kecewa...
Semua penghuni rumah ini tahu pasti. Jika Ayah sudah duduk diam seperti ini, bahkan Kakek tak akan banyak bicara dan membiarkan saja segala hal ditangani sesuai cara Ayah. Hanya ketika kakak perempuan Ray datang, Ayah mengendurkan sikapnya. Ia kembali menghela nafas berat ketika akhirnya mulutnya terbuka.
"Kalau kau lelah, istirahat. Tidur. Papah tau kamu sudah ngerokok, ini rokok Papah."
???!
"Anu, Adek minta maaf, Pah." kata Ray pelan ketika rasa terkejut atas hal yang dilakukan Ayah. Ia tahu kalau Ayah sangat marah, dan ia tetap merasa tak tenang untuk pergi sebelum ada penyelesaian dari semua hal ini. Ray merasa perlu mengetahui kalau ia dimaafkan.
"Ray salah apa?" tanya Ayah tenang, yang malah membuat Ray makin bingung dengan jawaban apa yang hendak ia berikan, membuat jeda keheningan makin lebar ketika Ray tak mampu mengeluarkan jawaban apapun.
"Kamu lelaki, Ray. Akan ada waktu dimana kau harus menghadapi apapun yang harus kau hadapi dengan tegar, bahkan jika itu melukaimu dengan cara apapun. Akan ada waktu dimana kamu harus berdiri tegak tanpa lelah, tak perduli badai macam apa yang datang. Karena jika kau menunduk dan menghindar, orang-orang yang berlindung di belakangmu akan mati karena badai ini. Akan ada waktu dimana kata harus kau ucap tak perduli apa. Karena jika tidak, mungkin saja itu menyebabkan sakit bagi orang-orang yang kamu sayangi."
Semakin lembut kata-kata Ayah terdengar, semakin dalam kepala Ray tertunduk. Kata-kata Ayah menghajar hati dan pikirannya dengan rasa malu yang tak mampu ia ungkap.
"Papah nggak tahu apa yang menyebabkan kejadian seperti tadi siang bisa terjadi, dan Papah tak akan menanyakan itu. Jika seorang sampai menginginkan nyawa yang lain, hal itu pasti serius. Tapi jika kau tak memiliki keberanian untuk mengatakannya sendiri, itupun bukan masalah, meski Papah akan sedikit kecewa. Karena hal itu berarti Papah kurang bisa menunjukkan kapasitas seorang lelaki untukmu." lanjutnya dengan lembut.
Badan Ray berguncang perlahan, mencoba menahan isak yang mendesak keluar, meski kembali air mata itu mengalir turun tanpa tertahan. Meski seringkali kecewa dengan sedikitnya uang yang dibawa Ayah untuk keluarga, tapi Ray sadar dengan jelas. Jika ada seseorang yang harus dihormati dan dikagumi di setiap hal, itu adalah Papahnya.
Papah adalah gunung tertinggi yang harus didaki dan dilampaui. Ia adalah tebing terjal yang tak tertaklukkan. Dan kekecewaan pria itu terhadap ketidakmampuan Ray untuk mengakui kesalahan benar-benar terasa sangat menyakitkan.
"Tidurlah, Nak. Kau pasti lelah." lanjutnya lagi sambil mengelus kepala Ray lembut dan beranjak meninggalkannya.
Tindakan itu adalah jerami terakhir yang mematahkan punggung onta. Perasaan Ray meledak menjadi isak yang menghebat dalam keheningan. Air matanya deras mengalir tanpa suara, menyisakan badan yang menggigil dalam usahanya menahan kesedihannya.
Percuma ia terkenal sebagai sosok kejam tak kenal ampun ketika di luar, bersama teman-teman berandalannya. Tak berguna bahkan jika sosok paling berpengaruh di dunia hitam di Indonesia mengagumi kemampuannya dalam menciptakan pondasi sistem organisasi kejahatan rumit baginya. Kebanggan yang timbul ketika banyak musuh-musuhnya gemetar mendengar namanya menjadi tak berarti.
Dan sayangnya, Ray menyadari hal ini. Ia tak mampu membuka mulut untuk mengakui kesalahannya sendiri...
Remaja yang beranjak dewasa itu masih duduk di sana, di kursi rotan sintetis, membungkuk sengsara dalam kesedihan dan rasa malu. Air mata terus mengalir darinya tanpa mampu ia bendung...