Dering bel yang menandakan waktu istirahat baru saja terdengar, dan segera, ratusan siswa berhamburan keluar dari deretan ruang-ruang kelas. Ray termasuk diantaranya. Menyeret langkah dengan enggan, ia melangkah ke arah terminal bus yang terletak tepat di sebelah sekolah. Kantin sekolah terlalu ramai, dan tak bisa merokok disana. Karenanya, banyak siswa-siswa berandal yang lebih memilih untuk menghabiskan jam istirahatnya di luar pagar sekolah. Tapi belum lagi ia beranjak terlalu jauh, langkahnya dihentikan oleh seseorang, yang sebenarnya paling tak ingin Ray temui. Bibir tipisnya yang indah segera menari, menggiring suara selembut beledu dalam rayuan tak kenal padam.
"Ray mau kemana? Ke terminal ya? Nad ikut ya?"
Menyadari siapa yang menghadang langkahnya, Ray menghela nafas tanpa daya. Hanya ketika menghadapi gadis ini saja, pemuda itu akan menjadi sosoknya sekarang. Gamang, bingung mesti jawab apa, dan bingung mesti berbuat apa.
"Ehm, emang ngapain sih Nad? Kan mendingan makan di kantin sana? Nanti digodain cowok-cowok kalo kesana." jawab Ray pelan, mencoba mengajukan argumen demi supaya gadis ini tak mengikutinya, yang sayangnya, bahkan ia sendiri tahu kalau itu tak akan menghentikan gadis ini untuk melakukan apapun yang ia inginkan.
Dan memang, gadis itu hanya tersenyum manis, tampak sangat bahagia, lalu menarik tangan Ray. Pemuda itu cuma bisa menghela nafas dan melakukan apa yang biasanya ia lakukan setiap kali gadis ini mengintervensi langkahnya, menurutinya tanpa syarat.
Nadia Prameswari, sosok penuh pesona yang tampaknya, bahkan Tuhan sendiri agak bias ketika menciptakan dan mengirimnya ke dunia. Terlahir dengan wajah secantik tokoh-tokoh dalam anime Jepang, dilengkapi tubuh ideal dengan kulit putih yang nyaris terlihat bersinar dalam siraman cahaya matahari. Entahlah, bahkan terkadang Ray sendiri sering merasa bahkan seakan alam sendiri berusaha membantu gadis ini untuk tampil semaksimal pesona yang ia miliki bisa. Entah sinar matahari pagi, siang atau sore, seakan mereka muncul khusus untuk membuat efek terindah ketika jatuh menyinari gadis ini. Jika itu belum cukup, sikapnya yang ramah dan otaknya yang terang, hasil pendidikan sukses kedua orang tuanya dan efek maksimal gizi dan nutrisi yang cukup karena kekayaan orang tua yang berlimpah, benar-benar membuat Nadia adalah sosok sempurna yang menjadi impian banyak pemuda. Belum lagi jika menyebutkan seabreg kemampuan yang seringkali turut menyumbangkan piala di lemari prestasi sekolah. Gadis ini benar-benar buah karya sempurna Tuhan.
Nyaris bisa dibilang, gadis ini sempurna. Jika saja dia tak memiliki satu keinginan sinting.
Nadia menjatuhkan perasaannya pada satu-satunya mahluk paling kacau di sekolah, atau mungkin bahkan seluruh kota, si biang kerusuhan, Ray.
Dan sayangnya, tak perduli pendapat, nasehat, saran hingga ancaman yang datang dari berbagai sudut-apalagi dari mereka yang mengenal Ray, Nadia tak bergeming. Gadis itu akan menandak-nandak, tersenyum semanis ia bisa, atau bertingkah seperti layaknya gadis kasmaran lainnya ketika Ray muncul.
Sementara Ray?
Pemuda itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menolak, memberikan argumen, membuat alasan dan banyak hal lain, meski hanya untuk gagal. Hal yang akhirnya ia pelajari dengan cara yang kurang menyenangkan, yang akhirnya membuatnya untuk menerima saja apapun yang diinginkan gadis itu. Toh si cantik sinting ini tak pernah berkeinginan yang aneh-aneh.
Diiringi pandangan geram dari banyak pasang mata, Ray terus diseret menuju salah satu warung favoritnya, yang entah bagaimana Nadia bisa mengetahui hal itu.
"Ray mau makan apa, Nad pesenin ya?" ucapnya ketika akhirnya mereka memasuki warung dan mengambil tempat duduk yang tersisa.
"Nad aja yang makan ya. Aku cuma pengen ngrokok." jawab Ray, meski ia tahu jawaban itu sia-sia. Gadis itu sudah berlalu dan memesan 2 porsi makanan untuknya dan Ray.
"Ray sudah tahu kalau bulan depan kita satu team untuk olimpiade Fisika dan Matematika di tingkat provinsi kan? Nad diberitahu sama..."
Kata-katanya mengalir dalam alunan nada lembut yang menyenangkan, sementara bibirnya yang indah, tak henti bergerak sementara pikiran Ray perlahan menjadi kosong.
Memandangnya berbicara seperti ini, melihatnya dalam balutan rasa bersemangat yang manis, belum lagi titik-titik lembut keringat yang muncul di dahinya malah menjadikan wajahnya yang cantik benar-benar mempesona. Pipinya yang secara bertahap bersemu merah, mungkin malu ketika dilihatnya Ray yang bagai orang kehilangan jiwa dihadapannya, makin membuat tampilan wajahnya tak tertahankan.
Kenapa juga gadis ini bertingkah seperti hadiah ulang tahun yang paling ia inginkan diberikan di awal begini sih, apa sih isi kepala bidadari satu ini?
Keluhan tanpa daya sering terlintas dalam pikiran dan hati Ray ketika menghadapi gadis ini.
Bukannya Ray tak suka gadis ini. Ray tahu kalau ia sangat menyukai Nadia.
Tapi justru karena ia menyayangi gadis ini, ia seringkali merasa kalau Nadia bukanlah seseorang untuknya. Gadis itu selamanya akan jadi dewi terindah dalam hati dan pikirannya, tak boleh ternoda oleh apapun. Khususnya oleh perasaan cintanya.
Nadia adalah segala sesuatu tentang terang dan keindahan, sementara ia sendiri?
Meski tak ingin, Ray tak mampu menolak pemikiran kalau ia hanya bagian dari kegelapan tergelap, dan bukan sesuatu yang layak, bahkan cuma untuk membawa sepatu gadis itu.
Pada kenyataannya, Ray tak pernah perduli dengan yang lain. Omongan, ejekan, cemohan hingga ancaman para penggemar garis keras dari gadis itu, yang sering melintas dalam berbagai kesempatan, tak pernah mampu menembus hatinya.
Karena di dalam hatinya, Ray berpikir kalau semua yang mereka bicarakan itu benar.
Adik bidadari yang sedang berbicara sambil menunggu makanan pesanannya datang itu tak boleh dicemarkan oleh perasaan hatinya sedikitpun!
"Ray!!! Ih jahat banget sih?! Nad ngomong malah dianya nglamun." tukasnya sambil mencubit pipi Ray kuat-kuat.
"Aaah, aduh aduh... Iya iya, Nad. Maaf. Ray setuju dengan pendapatmu!" jawab Ray, sambil berusaha melepaskan jari-jari lentik Nadia yang sekarang mulai menarik pipi Ray ke kiri dan ke kanan.
Tindakan yang tampak sangat mesra ini benar-benar mengundang banyak tatapan marah dari banyak pemuda berseragam abu-abu yang banyak memenuhi tempat itu.
"Sialan, Ray bangsat. Aduh, sekarang dia malah pegang tangan Nadia!"
"Mereka pacarankah? Wedhus!"
"Setan, apa sih yang dilihat Nadia dari Ray busuk itu?!"
Beragam bisikan berisi kutukan yang terlempar tak banyak yang lolos dari telinga Ray, meski tertutup oleh beragam "cie-cie" dan suitan-suitan yang mengkomentari kelakuan kedua orang itu. Yang mana juga menyebabkan pipi Nadia makin merah, tak mampu menyembunyikan rasa senang ketika banyak orang yang mengira mereka pacaran.
Hanya saja kemudian, komentar tajam itu terdengar. Meski lirih, Ray bisa mendengarnya dengan jelas.
"Huh, Nadia itu cewek gatel kok. Kalau nggak, mana mungkin dia mau sama Ray? Bocah tolol yang cuma ngerti berkelahi dan bikin onar. Pasangan busuk!"
Sontak wajah Ray mendingin dengan cepat ketika matanya dipenuhi nafsu untuk menghancurkan mulut si pembicara.
Damas, salah satu penggemar garis keras Nadia. Berulang kali mencoba menaklukkan gadis itu, meski hanya untuk bertemu dengan penolakan lagi dan lagi.
Terbiasa mendapatkan semua yang ia inginkan, Damas kalap ketika cintanya ditolak berkali-kali. Ia bahkan tak malu membualkan jabatan bapaknya yang Bupati, hanya demi mendapatkan perhatian Nadia. Dan sekarang, melihat wanita yang ia inginkan bercanda mesra dengan orang yang ia anggap berada dibawah derajatnya, Damas tak mampu menahan mulutnya ketika kalimat kotor penuh kegetiran meluncur keluar. Ia tak menyadari kalau ia mengundang bencana pada dirinya sendiri.
Damas bahkan terlambat menyadari kalau Ray telah berdiri dan berada di sampingnya, menjulang dalam ancaman yang nyata.
Ia baru tahu kalau Ray berdiri di sampingnya hanya ketika pemuda itu menjatuhkan tangan di bahu Damas dan meremasnya dengan kuat. Senyum miring tampak muncul di mulut Ray, membuat wajahnya tampak bengkok dan jahat.
"Kalau tak bisa menjaga mulutmu dari bicara kotor tak jelas gitu, mungkin lebih baik jika kau diam saja, Mas. Tak sedikit orang mati karena mulutnya longgar." dengus Ray dingin.
"Ray, sudah. Makanan kita sudah datang... Makan saja yuk? Sudah, nanti kamu kena skorsing lagi kalau berkelahi lagi." desak Nadia cemas.
Ia buru-buru menghampiri Ray, dan mencoba untuk kembali menarik pemuda itu kembali ke meja mereka. Selama ia bisa menariknya, ia pasti bisa menjauhkan Ray dari masalah kali ini. Nadia tak menyadari kalau tindakannya justru membuat Damas semakin panas.
"Benar, makan saja sana. Jangan sampai pasangan terbaikmu menunggu, Ray." dengus Damas sambil mencoba melepaskan dirinya dari cengkraman tangan Ray meski tak terlalu berhasil
"Ray, please? Cut it out, okey? Please?!" desak Nadia sambil terus berusaha menarik Ray untuk menjauh.
Melihat rasa cemas yang pekat menutupi wajahnya yang cantik, Ray berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan diri. Meski keningnya masih berkerut, namun ia tetap melepaskan cengkraman tangannya pada bahu Damas. Tanpa melepaskan pandangan pada pemuda yang masih meringis akibat rasa sakit di bahunya itu, Ray mundur perlahan dan mulai mengikuti Nadia untuk kembali, membuat suasana yang penuh dengan ketegangan sebelumnya itu sedikit mencair.
"Sundal!" desis Damas perlahan, tapi sayangnya, Ray mendengar itu.
Pemuda yang sudah hendak menjauh itu berhenti. Ray membalikkan badan dan berjalan kembali ke arah Damas. Senyum miring di bibirnya semakin lebar saat nafsu untuk menyakiti orang lain muncul semakin kuat dalam hatinya.
"No. No, Ray. Please just ignore it. Please?!" desaknya lagi, mencoba meraih kesadaran dan akal sehat Ray.
Hanya saja kali ini Nadia tak berhasil.
Ray melepaskan genggaman tangan Nadia dengan lembut, menangkupkan telapak tangan di kedua sisi wajah Nadia. Wajahnya yang tampan tampak sedikit kejam dengan senyum miring yang muncul di mulutnya.
"I'm so sorry, Nad. They can say tons of bad thing bout me, but it will be forbidden if they talk shit about you. I'm sorry..." ujar Ray lembut dan melepaskan Nadia lalu bergerak dengan cepat ke arah Damas.
Ray adalah petarung dengan efisiensi yang tinggi. Dalam setiap pertarungan, ia akan memastikan ia memiliki beberapa cara untuk melumpuhkan lawan dalam tempo sesingkat mungkin. Badannya terlatih oleh teknik bela diri tingkat tinggi yang terus diasah dalam berbagai perkelahian, yang seringkali bahkan bisa mengakibatkan nyawa melayang. Jelas Damas tak akan memiliki kesempatan apapun, bahkan jika itu hanya untuk sekedar bertahan.