Chereads / The Life of an Ex-Drug Lord / Chapter 20 - Apparently This Life is a Silly Joke

Chapter 20 - Apparently This Life is a Silly Joke

Tak pernah sekalipun sebelumnya Ray menginjakkan kaki di ruangan seperti ini. Matanya terus berkeliling, memindai dan terkadang tak mampu menahan beragam warna kekaguman yang berkilau dari waktu ke waktu. Terlalu banyak hal yang baru ia lihat, segera setelah kakinya melangkah ke dalam bangunan yang terlihat sangat biasa itu. Mengikuti langkah Bapak, yang tampaknya dikenali oleh amat sangat banyak orang yang tak henti menyapa sejak dari gedung imigrasi hingga melewati pintu keberangkatan internasional Bandara Adi Sucipto, Ray cuma mengekor tanpa berusaha melakukan apapun selain mengagumi beragam hal baru ini.

Meski bisa dibilang ia adalah otak di balik beragam rencana pelarian berbagai warga keturunan berduit tebal itu dari berbagai kota di mana mereka diburu selama waktu demonstrasi dan kerusuhan besar melanda negara ini, pemuda itu memang hanya membuat perencanaan berdasar peta atau informasi rute dari anggota organisasi lainnya. Boleh saja ia mengenal beragam istilah seperti Freight On Board, Estimated Time Arrival, atau banyak lainnya, yang terkait dunia transportasi modern, tapi bahkan sebenarnya, ia cuma pernah melihat bandara dari luar saja. Dan memang baru pada saat ini, akhirnya ia mengalami beragam hal seperti yang pernah ia atur sebelumnya. Perjalanan ke Thailand akhirnya dimulai!

"Jangan tolah toleh begitu, Nang! Ndeso!"

Pemuda itu mendengus menanggapi bisikan tajam pria paruh baya yang tegap berdiri disebelahnya itu. Mata pria itu bersinar penuh senyum ketika melihat bocah tak kenal takut yang biasanya berpikiran tajam itu bertingkah sama seperti remaja tak berpengalaman lain.

"Ah, ndeso yo biar, Pak. Wong ndak banyak bocah seusiaku yang bisa naik pesawat, apalagi ke luar negeri." balas Ray sambil mencibir, tampak jelas berusaha untuk menutupi rasa malu yang muncul karena ejekan Bapak, sementara yang lain hanya terkekeh riang.

"Kamu nek lagi malu begitu, mukamu culun kayak bocah!" gelak Bapak sambil terus melangkah menuju lounge ruang tunggu tanpa menunggu Ray, yang tampaknya masih enggan untuk beranjak.

"Ah, Pak, nanti dulu lho. Aku mau foto ini..."

"Nggak mau. Minta sama orang lain. Malu-maluin aja, dasar cah ndeso. Udah, aku mau ngrokok." sembur Bapak yang tak mampu menahan gelak, menolak camera ber-merk kodak yang terangsur dari pemuda tanggung itu.

"Ah, Pak tua menyebalkan!" sungut Ray, memasukkan kameranya kedalam daypack yang ia sandang, sebelum mengikuti langkah pria itu.

Ruangan mewah lounge perjalanan antar negara segera membuat Ray terperangah. Kursi-kursi empuk yang nyaman, berpadu apik dengan tanaman hias dan meja-meja penuh hidangan, yang di belakang setiap meja, wajah-wajah cantik memasang senyum paling manis ketika melayani siapapun yang mendekati meja mereka. Berbalut seragam yang menonjolkan setiap lekuk tubuh, sikap mereka sopan dan memikat. Membuat setiap sen uang yang dibayarkan terasa sepadan dengan setiap hal yang ada di tempat ini. Sayangnya, belum lagi Ray puas mengamati setiap hal dalam ruangan ini, suara sumbang Bapak sudah kembali menyeret kesadarannya dengan kejam.

"Oii, Cah Ndeso, jangan berhenti di depan pintu!"

Pak tua sialan ini!

Menyadari banyak pandangan maklum dan senyum simpul tertuju padanya, mau tak mau, Ray mengutuk dalam hati. Segera saja ia beranjak menuju salah satu meja hidangan, berencana membalas dendam dengan membuat orang tua menyebalkan itu membayar sedikit lebih banyak dari seharusnya.

"Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu untuk membuat waktu anda menunggu lebih nyaman dengan ditemani hidangan disini?"

Mendengar sapaan lembut table hoster yang cantik itu, sedikit senyum licik muncul di sudut bibir Ray.

"Ehm, maaf, Mbak. Ini pertama kali saya masuk ke tempat ini. Apakah Mbak bisa bantu menunjukkan makanan dan minuman yang paling mahal disini?"

Mendengar hal ini, sedikit kerlip muncul di mata gadis cantik itu. Table hoster mendapatkan komisi atas setiap penjualan di mejanya, dan kata-kata pemuda hijau di depannya itu mirip bel dari surga baginya.

"Untuk menu dan daftar harga akan ada di sini, Mas, silahkan dilihat. Ehm, maaf, untuk pembayaran akan dilakukan dengan menggunakan cash atau metode lain, Mas?"

"Owh, masalahnya adalah seperti ini, Mbak. Hari ini adalah ulang tahun saya, dan paman saya, pria yang duduk di sana itu, bilang kalau semua akan ia tanggung." sahut Ray sambil menunjuk ke arah Bapak, yang entah kenapa, melambai kearahnya.

Hal yang segera membuat sang table hoster makin bersemangat. Pria yang melambai barusan memesan Fresh Brewed Coffee Brazil, yang harga satu cangkirnya nyaris seperempat nilai gaji bulanannya sendiri. Tapi kata yang meluncur kemudian dari pemuda di depannya itu membuatnya makin bersemangat.

"Saya ingin memesan makanan dan minuman yang paling mahal untuk setiap pengunjung di lounge ini atas perayaan ulang tahun saya, apakah bisa, Mbak?"

"Owh, bisa, Mas. Silahkan Mas duduk saja dulu. Segera saya atur untuk perayaan yang Mas inginkan." sahut table hoster itu sambil memamerkan senyumnya yang paling cantik. Pemuda yang disebut ndeso ini tiba-tiba saja terlihat amat sangat tampan saat ini.

"Baik. Terima kasih, Mbak, dan ini untuk rasa terima kasih saya." sahut pemuda itu sambil menarik beberapa lembar uang 100ribuan dari dalam tas dan menaruhnya di meja dan berlalu.

"Ehm, maaf, Mas. Mungkin saya bisa menanyakan nama Mas untuk celebration party nya?" ujar si gadis sebelum Ray terlanjur menjauh dari mejanya.

"Ray, Mbak. Ray Dirga."

Sambil tersenyum semanis ia bisa, gadis itu sedikit membungkuk dan membalas cepat, "Silahkan ditunggu, Mas Ray, kami tak akan membuat perayaan anda mengecewakan."

Pemuda itu cuma melambaikan tangan sambil terkekeh pelan. Isi kepalanya penuh dengan humor ketika ia membayangkan akan bagaimana jengkelnya Bapak nanti.

******

Suasana bandara Chiang Mai terkesan lenggang. Meski suasana liburan terasa bagai mengendap di udara, tak terlalu banyak wisatawan terlihat. Mungkin kondisi keamanan yang sempat goyah selama masa krisis moneter juga membawa dampak pada negara ini.

"Kok sepi yo Pak?" ujar Ray sambil tak mampu sepenuhnya menghentikan keinginan mengelus kepala yang agak benjol, akibat dari keisengan di Bandara Yogyakarta sebelumnya, yang akhirnya membuat Bapak meradang karena ada ekstra pengeluaran untuk memberi makan hampir seluruh pengunjung lounge.

"Thailand bukan Indonesia, Nang. Disini sedikit lebih teratur. Bukannya gerabag gerubug macam orang kita. Wisatawan ya semua ngumpul di tempat wisata sana. Cuma orang kita yang hobby banget nongkrong dimana-mana, termasuk Bandara." gerutu Bapak. Perasaan orang tua itu sudah lumayan buruk sejak kelakuan Ray di Jogja. Dan penerbangan hari ini penuh dengan goncangan dan getaran, yang membuatnya makin tak nyaman.

"Yah, tapi paling tidak, Indonesia adalah surga buat pencoleng macam kita ini. Kalau kita di negara lain, bocah bodoh dan polos macam kamu ini pasti sudah dipenjara berkali-kali." kekehnya.

"Huh, ya kalau bocah macam aku aja dipenjara berkali-kali, lalu apa jadinya dengan orang tua pemarah macam kau ini, Pak?"

"Sial, masih tajam aja mulutmu itu." gelaknya sambil merangkul pemuda itu.

Langkah terus membawa kedua orang beda generasi itu keluar dari kemegahan bandara yang baru beroperasi selama beberapa tahun itu. Gelak tawa tak pernah berhenti menyembur dari keduanya ketika ejekan berbalas ejekan terus mengalir tanpa sekat. Meski tak berapa lama kemudian, ketika keduanya sampai di dekat mobil, wajah serius kembali muncul di wajah Bapak.

"Setelah ini, kita akan menempuh perjalanan melalui beberapa rute khusus. Untuk kali ini, aku membutuhkan Ray yang satunya, yang bukan cah ndeso ini. Kau mengerti, Ray?"

Pemuda itu mengangkat alis, lalu mengedikkan bahunya ketika ia bersiap untuk memasukkan bawaannya ke bagasi. Namun kembali Bapak menyentaknya dalam pertanyaan tajam.

"Ray, serius. Kalau memang kau tak mampu, akan lebih baik kau tinggal di hotel. Pergi dan kelilingi Thailand seaukamu. Habiskan uang sebanyak kau mampu. Ini bukan sesuatu yang..."

"Diamlah, Pak Tua. Aku tahu untuk apa kita disini!" sergah Ray tajam, ketika matanya terus menatap kemata Bapak, tanpa ada keinginan untuk memutuskan kontak.

Senyum kembali muncul di wajah pria setengah baya itu. Matanya sedikit menyipit ketika pemuda dihadapannya kembali menampakkan wajah serius.

"Ini Ray yang kuinginkan. Sekarang kita siap berangkat."