Beragam kenangan silih berganti mengisi benak Ray, membawanya tenggelam ke dalam jalinan kisah yang kemudian membentuknya jadi sosoknya saat ini. Pemuda berbadan atletis dengan rambut hitam sepanjang bahu yang terikat dengan serampangan itu terpekur dalam lamunan sementara matanya menerawang jauh ke dalam kenangan. Wajahnya yang memiliki pesona liar ia sandarkan pada tangan, sementara matanya tanpa sadar terpaki pada orang-orang yang duduk di meja melingkar tempatnya duduk saat inj. Beberapa sosok akrab yang duduk di sekitarnya, yang masih sibuk dengan berbagai persiapan pembalasan dendam mereka, adalah salah satu pemicu beragam ingatan yang mendesak keluar dari kedalaman.
Meski tak berapa lama waktu yang ia habiskan dengan masing-masing dari
mereka, Ray benar-benar mampu mengingat semuanya, seolah semua baru terjadi kemarin saja layaknya
****
Cukup lama waktu yang dihabiskan Ray di pinggir kolam itu sebelum pria bule kekar itu tampak kembali menghampirinya. Sedikit rasa tergamggu tampak di wajahnya, meski kemudian senyum kembali muncul ketika dilihatnya Ray masih tak beranjak dari tempat dimana ia meninggalkan bocah itu sebelumnya.
"Kau tak berencana pergi kemana-mana, Nak?"
Pemuda itu cuma mendengus pelan. Sambil memainkan gelas yang masih terisi penuh di tangan, Ray cuma mengedarkan pandangan dengan sikap bosan, yang tentu saja kembali memancing tawa kecil dari Cody.
"Forgive me for asking, tapi apa kamu gay, Nak?" tanya Cody sambil duduk dan menuang minuman untuk dirinya sendiri.
"Tak perlu marah, aku cuma bertanya." lanjutnya buru-buru sambil tertawa kecil ketika dilihatnya pemuda itu mengerutkan kening dalam-dalam dan bersiap meledak.
"Tampaknya kau bahkan bosan dengan pemandangan indah ini." lanjutnya lagi sambil merentangkan tangannya ke arah orang-orang dan banyaknya wanita berbagai suku bangsa yang mayoritas berpakaian sangat minim di pinggir kolam renang itu, meski kemudian pria itu segera menurunkan tangannya ketika menyadari arah pandangan Ray.
"Sorry, aku tak sempat ganti baju." dengusnya santai sambil berusaha untuk merapikan lipatan lengan bajunya yang bernoda merah.
Ray gantian tertawa kecil melihat ini. Celananya bahkan sudah mulai terasa mengeras akibat dari darah pria yang sebelumnya membasahi celana itu sudah mulai mengering, dan pria besar ini meributkan noda di lipatan lengan bajunya?
"Oh? Kau tertawa Nak?"
"Sorry, Man... Ini sangat membosankan. Apakah baik jika aku pergi ke tempat dimana aku bisa tidur saja?" tanya Ray tanpa terlalu berusaha menjaga perasaan, sementara Cody hanya terbahak kecil.
Sedikit banyak pria itu bisa menduga kenapa pria muda ini tampak sedemikian tak tertarik dengan apa yang dilihatnya. Meski akan banyak pemuda seusianya yang akan bertingkah seperti keledai dalam masa birahi saat berada ditempat ini, tampaknya Ray bukanlah model yang seperti itu, dan ini makin meningkatkan penghargaan yang muncul dalam hati pria itu.
"Karena tampaknya kau tak terlihat tertarik dengan tempat ini, ijinkan aku menjadi tuan rumah yang lebih baik. Semoga kau akan lebih bisa menikmati tempat itu. Tapi ada beberapa aturan yang harus kau ikuti disana, Nak, dan mungkin kau tak akan menyukainya. Mungkin bisa saja kau terluka atau mati. Berminat?"
Cody langsung tahu ketika kilat tampak muncul di mata pemuda yang sebelumnya tampak bosan itu.
"Tak apa. Disinipun aku bisa mati, meski karena bosan. Semoga tempat itu lebih menggambarkan keseraman tempat legendaris ini." ujar pemuda itu yang segera disambut dengan gelak tawa dari Cody.
"Huh, kau memang bocah yang aneh, Nak..." katanya sambil berdiri, yang langsung segera diikuti oleh dengan bersemangat. Prospek kematian tampaknya tak membuat pemuda yang bahkan belum genap 17 tahun itu jerih sedikitpun.
Langkah keduanya tak terhalang, melewati berbagai bangunan dan lorong, dimana nyaris setiap pintu yang tertutup akan dijaga oleh pria-pria bersenjata. Ketika semakin dalam mereka memasuki lokal, suara sorak sorai semakin keras menyapa, hingga akhirnya keduanya sampai di sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka lebar, sementara sorak sorai dan teriakan dalam berbagai bahasa terdengar dalam euphoria yang mengangkat atmosphere ruangan itu setinggi mungkin. Aroma berbagai parfum bercampur samar dengan keringat dan anyir darah tampak mengambang di udara.
Meski banyak terlihat kursi dan meja di ruangan dalam penerangan lampu kuning itu, tak ada satupun manusia yang ada di ruangan itu terlihat duduk di kursi. Pria-pria dan wanita dalam balutan baju bagus dan bertabur perhiasan mahal itu tampak berdiri dan berteriak dengan bersemangat, sementara di tengah ruangan, dalam sorot lampu putih terang, dua sosok tampak tengah berlaga, seolah hidup mereka tergantung pada kemenangan mereka. Pukulan dan tendangan beterbangan dari keduanya, membuat luka yang tak jarang melontarkan darah ke seluruh area, sementara kerumunan makin gila dengan pertunjukan ini.
"Merasa lebih baik?"
Ray terbahak. Suasana ini lebih cocok dalam bayangannya. Pemuda itu segera beranjak menuju bar sementara Cody menggelengkan kepala sambil tersenyum sambil mengikuti pemuda yang menurutnya sangat menarik itu. Meski dalam pengalamannya, akan selalu ada "calon pewaris" yang sok hebat dan berakting seperti gangster dalam film-film, entah kenapa ia tak merasakan itu dari pemuda ini. Cody bahkan sedikit merasakan antisipasi akan apa yang akan terjadi ketika round robin, sebuah event tantangan khusus yang sering muncul di tempat ini, entah bagaimana caranya "menyapa" pemuda itu. Lingkaran pengunjung Ring ini tak terlalu lebar, dan semua pengunjung baru akan selalu mudah ditemukan. Dengan dandanan pemuda itu, ia pasti akan salah dikira sebagai fighter atau mungkin seorang guardian, dan tantangan pasti akan datang padanya.
"Pak tua, tempat ini jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Kenapa kau tak membawaku kesini sejak awal?" seru Ray keras-keras, mencoba mengatasi suara teriakan-teriakan membahana ketika perkelahian kedua orang di atas ring tampaknya semakin memanas.
"I'm still 27, Boy! Tua darimana coba?"
"You are call me Boy, isn't it?" balas Ray cepat sambil tertawa.
Cody terbahak meski matanya tak berhenti memindai ruangan dan menyadari kalau beberapa pasang mata tampak terarah pada mereka berdua. Sambil bersandar pada meja Bar, pria itu menarik pandangan sebelum berbalik dan bartender segera menyapanya dengan santun.
"As usual, Mr. Cody?"
Pria itu mengangguk lembut dan memandang sang bartender dengan tajam sebelum kemudian melihat kertas yang disorongkan padanya oleh pria berseragam hitam putih di balik meja bar itu.
"Not yet started?" tanyanya setelah melihat apa yang tertulis pada kertas itu, sementara si bartender menggeleng lembut dan ekor matanya bertahan sejenak pada Ray yang tengah membelakanginya, tampak larut dalam pergerakan kedua petarung yang tampaknya mendekati klimaks itu.
Tampaknya bocah ini akan masuk ring... Hais, semoga saja ia setangguh yang selalu ia tampakkan sejauh ini, desah batin Cody sambil berusaha memikirkan jalan keluar jika nanti Bos anak ini menuntut tanggung jawab jika ternyata dugaannya salah dan anak ini mati disini.
Tapi Ray tak mengetahui hal ini. Ia tampak sangat bersemangat ketika akhirnya pukulan salah satu petarung itu menghantam musuhnya dengan telak dan mengakhiri perlawanannya. Ia terlihat sangat gembira ketika membalikkan kursinya untuk menghadap Bar dan tersenyum lebar pada Cody.
"This place is awesome, Bos. Really. You should have take me here in the first place!" gelaknya sambil menyambar minuman Cody dan menandaskannya sekaligus.
Cody menggelengkan kepalanya sebelum memberikan code pada bartender untuk membuatkannya minuman baru.
"Ada alasan kenapa aku menunggu sedemikian lama untuk membawamu ke tempat ini, Nak. Mr. Arkis ask me to watch over you, dan datang kesini adalah sebuah kesalahan." tukasnya.
Tapi baru saja ia selesai bicara, sosok yang entah sejak kapan berdiri di belakang mereka berdua, menyelipkan tangan dan menaruh bambu seukuran jempol berbalut tali jerami sepanjang sekitar 15 senti ke meja di depan Ray, dan Ray, yang tak memahami arti dari ini semua, mengambil bambu itu dari meja lalu berbalik, mencoba mencari tahu maksud dari tindakan ini ketika sorakan kembali meledak dari orang-orang yang ada disana.
"Fight! Fight! Fight! Fight!"
"Kampfen!!!"
"Douzheng!"
Sosok yang berdiri di belakangnya itu tampak menyeringai di tengah teriakan bertarung dalam berbagai bahasa itu sementara Ray tampak makin bingung ketika ia menoleh pada Cody yang tampak tak berdaya.
"Kau harus bertarung, Nak. Cecunguk yang meringis didepanmu itu menantangmu!" ucapnya lemah di tengah sorak sorai yang makin menggelora.
Sorot pemahaman muncul di mata Ray ketika akhirnya ia menyadari apa yang sedang terjadi, tapi inipun tak masalah baginya. Ia melepas kemeja luarnya dan melipatnya dengan santai dan menaruhnya di kursi.
"Bolehkah aku membunuhnya, Bro?" ucapnya pada Cody sambil melepas sepatu yang ia kenakan sebelum kembali menatap pria itu.
Cody sedikit kaget sebelum senyum muncul dimatanya dan mengangguk. Ray yang melihat ini, menyunggingkan seringai miring pada lawan yang tampaknya terus berusaha memprovokasinya ketika berjalan menuju ring.
"Kau benar-benar baik padaku, Pak Tua. Kita akan berteman setelah ini." tukas Ray sambil tertawa dan berlari ke arah ring.
"DEATH FIGHT!!!"
Teriakan Cody segera meningkatkan atmosphere ruangan ke level yang baru ketika ratusan orang yang berjejalan di tempat itu meraung penuh kegembiraan.