Chereads / The Life of an Ex-Drug Lord / Chapter 22 - Real Life Drug-Lord

Chapter 22 - Real Life Drug-Lord

Perjalanan itu memakan waktu hampir satu jam, dan tepat ketika keluhan hendak muncul dari mulut Ray, jalan kecil yang sebelumnya mereka lewati melebar dan tiba-tiba saja tak ada lagi rimbunan pohon atau apapun yang tak tertata...

Jalanan yang menyambut mereka lebar dan halus, meski tak semulus aspal di kota. Sementara di kisaran jarak pandang, jajaran bungalow-bungalow cantik tampak rapi dalam bentuk susunan kipas yang terbuka, dan sebuah air mancur terlihat apik melengkapi tampilan lokal itu. Taman yang terlihat terawat tampak menghiasi setiap area yang terbuka, memberikan kesan sejuk yang mewah. Tak akan sulit untuk mengira kalau tempat ini adalah resor hotel internasional terkenal jika saja tak terlihat banyak pria-pria berseragam hijau dengan senapan serbu berlalu lalang atau hanya sekedar berdiri dan menjaga di setiap titik.

"Selamat datang di resor kami, Nak. Kau lulus inisiasi." ucap Cody yang segera disambut dengan tawa kecil dari Bapak.

"Bahkan aku sendiri heran. Entah bagaimana kau bisa menahan sabar selama ini, Bocah. Tak seperti biasanya."

Mendengar komentar Bapak, Ray mau tak mau mengirim pandangan sengit.

Seluruh perjalanan ini... Cuma sekedar ujian??!

"Maksudmu apa Pak?"

"Kau mau memberinya penjelasan, Cody? Aku harus bersiap. Tampaknya bocah ini agak terkendali ketika berinteraksi denganmu." ucap pria yang entah kenapa terlihat sangat menyebalkan di mata Ray saat ini, sementara Cody terkekeh.

"With my pleasure, Mr. Arkis. I will give him a tour. Please take your time then." jawab Cody sebelum berpaling pada Ray.

"Kalau kau tak keberatan, Nak."

Otak Ray bergerak dalam kecepatan tinggi, menimbang segala sesuatu. Ia sadar, meski Bapak terlihat bercanda, mata pria itu tak pernah santai sedikitpun. Bukan tak mungkin kalau ia juga menyembunyikan kewaspadaannya.

"Thank you for your kind, Mr. Cody. If it not bother you..." jawab Ray dengan sopan, meninggalkan semua arogansi dan kecerobohannya. Jika pemikirannya benar, tak satupun diantara mereka berdua yang memiliki jaminan pasti bahwa semua akan semudan orang belanja sayur di pasar. Akan lebih baik jika menjaga kewaspadaan dan tetap bersikap sebaik mungkin.

Mendengar jawaban ini, kilas apresiasi sejenak muncul di mata Cody sebelum menghilang dengan cepat. Senyum muncul di wajahnya sebelum merangkul Ray dan mengajaknya berjalan bersama.

"Tampaknya Arkis membesarkan penerus yang hebat. Kita mungkin akan sering bertemu nantinya, Nak. Ayo, kutunjukkan apa yang kami punya." kata Cody sambil tertawa.

Tak lagi menghiraukan Bapak yang rupanya juga mengacuhkan Ray, pemuda itu memilih untuk mengikuti Cody, meski memilih sebenarnya juga bukan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Tapi segera saja Ray tak lagi menyesali apapun.

"Kau bisa melakukan apapun yang kau mau disini, Nak. Kolam renang yang disana itu bahkan bisa disesuaikan suhunya sesuai keinginanmu."

"Tempat makan disitu, dan kau boleh memesan apapun yang kau suka. Meski jika boleh kuingatkan, tanyakan dulu bagaimana kira-kira rasanya pada pelayannya. Koki disini sedikit kurang sopan pada mereka yang membuang-buang makanan."

Sepanjang perjalanan itu, Cody tak lelah memberikan berbagai petunjuk akan lokasi yang mereka lewati. Sementara Ray benar-benar tak bisa berhenti kagun...

Bungalow-bungalow yang sebelumnya terlihat dari jalan benar-benar tak berarti jika dibandingkan dengan apa yang ada di sebalik bangunan-bangunan itu. Lokal yang luas di sebalik bangunan itu memiliki semua yang bisa dimiliki sebuah resor kelas emerald sekalipun. Banyaknya manusia baik yang berseragam ataupun tidak tak mampu membuat area itu terlihat sempit sedikitpun. Padahal di sisi kolam renang luas yang menurut Cody, suhu airnya bahkan bisa dibuat sesuai keinginan itu, ada banyak kursi dan meja, yang nyaris semuanya diisi oleh manusia dari berbagai jenis bangsa.

"Ehm, Cody... Is it okey if i call you that?"

Cody terbahak sebelum mengajak pemuda itu turut duduk di sisi kolam setelah mengambil sebotol Jack's Daniels dan dua gelas.

"Itu memang namaku, Nak. Jadi tak masalah kalau kau memanggilku dengan nama itu."

"Bukan, maksudku, aku dari Indonesia, Man. Dan agak kurang nyaman bagiku memanggil orang lebih tua langsung dengan nama." balas Ray sambil menerima gelas yang diangsurkan padanya dan langsung menenggak isi dalam gelas itu tanpa penundaan sedikitpun, yang langsung membuat Cody sedikit terbelalak melihatnya.

"Ouch! Kau kuat minum rupanya. Gila juga kau Nak." ucapnya ketika melihat Ray bahkan langsung mengisi kembali gelasnya yang sudah kosong.

Ray hanya mengangkat bahu dan mengambil rokok dari dalam saku lalu menyalakannya dengan santai.

"Tak apa, Nak. Panggil saja aku semaumu." lanjut pria itu lagi.

"Ada hal yang kurasa agak nggak pas, Bro. Ehm, how to put it, hell... Aku agak bingung. Bukankah kita berada di segitiga emas kan?" tanya Ray.

Cody tersenyum. Sambil menaruh gelas yang sejak tadi ia pegang saat matanya menjelajah pada banyak tubuh molek berbikini yang banyak di pinggir kolam renang itu, pria itu mengambil sesuatu dari saku celana dan menaruhnya di meja.

"Tentu saja, Nak. Bukankah kau mengalami sendiri perjalanannya?"

Ray masih menampakkan wajah yang penuh berisi kebingungan ketika kemudian ia melanjutkan pertanyaannya.

"Dalam bayanganku, tempat ini akan jadi hutan, atau kebunlah. Berisi tanaman poppy dimana-mana. Petaninya bersliweran kesana kemari, lalu ada area pabrik produksi, gudang, tempat pengepakan, truk-truk mungkin... Dan oh, mungkin juga penjara dan tempat penyiksaan gitu. Tapi kayaknya kok tak seperti bayanganku ya?"

Cody yang tengah meminum minumannya tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pertanyaan ini. Wajahnya yang memang sudah merah benar-benar bagai terbakar. Cukup lama ia berusaha menenangkan diri sebelum mampu bicara kembali. Tersedak Jack's Daniels bukanlah sesuatu hal yang enak sedikitpun.

"Sialan Nak, kau hampir membunuhku dengan pertanyaanmu itu." tukasnya sambil masih berusaha melancarkan pernafasannya, sementara Ray bingung mesti tertawa atau menangis melihat pria kekar itu kepayahan.

"Tentu saja itu semua juga ada, Nak. Tapi itu bukan untuk konsumsi orang-orang ini, dan tentunya, itu bukan konsumsimu."

"Oh... Meski aku tak paham maksudnya, tapi oke..." jawab Ray kemudian, yang kembali membuat Cody tertawa terbahak-bahak.

"Nak, semua yang mampu dan diijinkan untuk datang ke tempat ini adalah orang-orang yang menguasai penjualan di tempat mereka masing-masing. Tak ada satupun diantara orang-orang ini yang butuh melihat ladang. Mereka hanya perlu bawa emas mereka, lalu memesan apapun yang mereka butuhkan. Untuk apa mereka main ke ladang coba?"

"Oh, paham aku sekarang. Intinya tempat ini memang lokasi orang-orang macam Bapakku bertransaksi gitu ya? Hanya entah kenapa tetap saja tak terlihat hororr gitu..."

Kali ini pria kekar itu terpaksa menggigit kepalan tangannya cuma agar ia tak tertawa lagi. Bocah dihadapannya itu benar-benar lucu. Padahal baru saja pemuda ini membunuh orang dengan tenang dan efisien tinggi.

"Maksudku, tempat ini oke. Dan wajar kalau pengusaha, apapun usaha mereka, selama mereka sudah punya banyak duit, pasti lebih menikmati datang ke tempat seperti ini ketimbang ladang dan area produksi. Cuma, maaf kata nih. Usaha orang-orang ini kan sering lihat darah ya, bukannya kalau kebanyakan main ke tempat beginian, orang cenderung jadi lembek ya?"

Kali ini Cody benar-benar tertawa terbahak-bahak mendengar omongan polos dari pemuda ini. Mau tak mau ia benar-benar menganggap pemuda ini sangat menarik. Hanya saja, belum sempat pria itu menjawab omongan Ray, suara tembakan terdengar dari salah satu bangunan di seberang kolam. Tapi entah kenapa, banyak orang disana bersikap biasa saja. Mereka hanya menoleh sejenak dan kembali melakukan apapun yang mereka lakukan sebelumnya. Hanya pria-pria bersenapan itu yang segera bergerak menuju asal suara.

"Kau berminat untuk melihat Nak?" tanya Cody sambil mengerlingkan matanya pada Ray. "Bisa saja kau melihat bagaimana horrornya tempat ini, persis seperti yang kau harapkan." lanjutnya lagi sambil tersenyum meski senyum itu tak mencapai matanya sedikitpun.

Sejenak Ray berpikir sebelum kemudian menggelengkan kepalanya.

"Aku mengerti maksudmu, Bro. Aku akan duduk disini saja. Tak ada kesenangan melihat orang mati." dengus pemuda itu tak acuh.

"Oke. Ini kartuku. Kau simpanlah. Kau lucu dan menarik. Mungkin kita bisa Hangout sometime." ujar Cody sambil mendorong kartu yang sebelumnya ia keluarkan dari dalam sakunya.

Ray menerimanya dan langsung memasukkan kartu itu ke dalam sakunya. Seiring waktu, ia sudah menurunkan kewaspadaannya meski tetap dalam kondisi siap. Tempat ini memang nyaman, indah dan penuh fasilitas, hanya saja semua orang, meski dipersilahkan melakukan apapun yang mereka inginkan, bukan berarti tanpa batasan. Bukan tak mungkin orang mati ketika salah masuk ruangan. Yah, mungkin akan lebih nyaman kalau ia duduk disini saja sambil menunggu Bapak datang. Tempat ini masih membuatnya tak nyaman