Chereads / The Life of an Ex-Drug Lord / Chapter 15 - Bear, I love you...

Chapter 15 - Bear, I love you...

Hanya membutuhkan satu langkah jangkit, langkah lebar yang ditenagai ledakan tenaga yang bertumpu pada pijakan ujung kaki, untuk menyingkat jarak diantara mereka. Diiringi suara ledakan ketika kaki menghantam lantai untuk melangkah, gerakan langkah yang menjadi pondasi para praktisi Karate Shotokan dan Bashai Dai ini membuat para penggunanya bagai terbang dengan kecepatan tinggi. Membuat para penggunanya mampu mencuri perhatian lawan sehingga bisa mendaratkan satu pukulan fatal yang mematikan.

Ray menguasai keduanya, meski ia lebih suka menggunakan Bashai Dai dalam banyak perkelahian.

Sifat haus darah teknik bela diri ini, yang menuntut penggunaan tenaga, arah pukulan dan sasaran yang sedemikian presisi, sehingga mampu menimbulkan rasa sakit yang hebat dan melumpuhkan lawan cuma dengan satu serangan itu sangat cocok dengan sifatnya sendiri.

Senyum di bibir pemuda itu sudah terkembang menjadi seringai ganas.

Sementara ia masih melayang, tangan kanannya yang terkepal bergerak dengan ketepatan yang mengerikan, terayun menuju wajah Damas yang masih belum terlalu menyadari akibat yang datang atas kelonggaran mulutnya. Tinju Ray sudah menghantam wajah Damas, bahkan ketika tangan itu masih tertekuk, membuat Damas hanya tersentak kecil ke belakang.

Tapi rupanya hasil kerusakan kecil ini hanya awal dari bencana yang mengikuti kemudian.

Ketika kaki kiri Ray akhirnya menapak ke lantai, momentum sebenarnya meledak. Lengan yang masih terangkat dalam pose pukulan sempurna melanjutkan gerakannya. Wajah Damas kembali menjadi sasaran, namun kali ini, ditambah dengan kekuatan langkah, kekuatan tinju itu berkali-kali lebih kuat dari sebelumnya.

Kekuatan pukulan sebelumnya sudah cukup untuk membuat hidung Damas melesak ke dalam, namun ketika momentum rangkaian gerakan ini benar-benar meledak, Damas bagai ditabrak mobil dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya melengkung dengan anggun sebelum terbanting ke belakang, menabrak tiga meja sebelum terguling ke luar warung.

Seharusnya, dengan kemampuan Ray, Damas tak akan mampu bangkit lagi setelah menerima pukulan itu. Tapi rupanya Ray sengaja membuat efek pukulannya sedikit berkurang dengan sedikit menarik tinjunya setelah kontak. Hal yang memastikan terjadinya luka fisik yang parah tanpa membuat korban kehilangan kesadaran. Ray masih ingin menyiksa Damas!

Ray seakan benar-benar berubah menjadi sosok yang lain. Ia tak memperdulikan komentar ngeri teman-teman sekolahnya, jeritan dan makian marah pemilik warung karena tempatnya berdagang berantakan atau apapun yang lain. Pandangannya cuma tertuju pada satu sosok yang masih terbaring di tanah sambil mengerang dengan sengsara ketika berusaha mengusap darah yang mengalir dari berbagai luka di wajahnya itu.

Melihat Ray mendekat, Damas tampaknya mulai merasakan horor yang sering diceritakan oleh korban-korban pemuda itu sebelumnya. Sinar yang muncul di mata sosok yang mendekat dengan santai itu terlihat sedemikian dingin hingga menakutkan. Cepat-cepat, Damas berusaha untuk berdiri. Posisinya sangat tidak menguntungkan dalam perkelahian ini. Ia tahu kalau ia hanya akan jadi bola sepak jika tak segera bangkit dan berdiri. Tapi belum lagi maksudnya tercapai, telapak kaki Ray sudah bersarang di wajahnya dengan cara yang sama seperti cara pukulannya mendarat. Membuat Damas makin tak berdaya ketika sekarang, kulit di sudut matanya yang menerima giliran untuk pecah dan mengalirkan darah. Sekarang pemuda itu benar-benar ketakutan. Dua pukulan sudah menghasilkan luka seperti ini baginya. Ia bahkan tak berani berpikir apa akibat pukulan ketiga padanya jika itu sampai mendarat lagi. Damas berusaha untuk mengangkat kedua tangannya, menyerah dan meminta ampun. Ray terlalu mengerikan.

Sayang, Damas bahkan tak sempat melakukan apapun yang lain lagi.

Melihat si mulut kotor yang sebelumnya sedemikian arogan dan sok berani itu sekarang macam ayam kena penyakit, rasa benci Ray membuncah tanpa kendali. Baginya, tidak masalah seseorang melakukan hal yang memalukan, tapi paling tidak, minimal sikap penerimaan konsekuensi adalah sebuah keharusan. Sikap pengecut Damas sedikit mengingatkan pada sikap pengecutnya sendiri beberapa hari yang lalu.

Pikiran Ray menggelap dalam amukan rasa cela diri yang membuat seluruh badannya bergerak sendiri, membawa petaka bagi Damas dalam bentuk hujan pukulan dan tendangan tanpa henti. Ray kalap...

Kerumunan itu terdiam, ngeri oleh hal yang terjadi. Damas sudah tak mampu melakukan apapun di tengah badai pukulan. Wajahnya sudah tak serupa manusia dengan leleran darah di mana-mana. Tapi Ray tak berhenti menarik tinju dan menghunjamkannya ke setiap inchi tubuh tak berdaya itu. Seringai di wajahnya benar-benar membuatnya nampak seperti setan sendiri, yang tengah menyaru dalam wujud manusia.

Pemuda itu baru berhenti ketika sosok lain, yang jauh lebih lembut, beraroma harum yang khas, memeluk tubuhnya dengan erat dari belakang. Suara bernada desakan yang ia ucapkan berulang-ulang perlahan merasuki kepalanya dan menarik akal sehatnya kembali.

"Bear, please, Bear. Stop it, please. You would kill him... Please stop, Bear. Please..."

Suara Nadia itu yang menyadarkan Ray. Wajahnya kembali fokus ketika kewarasan akhirnya mampu menembus selimut angkara di hatinya. Meski belum sepenuhnya hilang, paling tidak Ray bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Ketika menyadari kalau Nadia memeluknya erat-erat, Ray hendak menariknya dan membuat gadis itu melepaskan pelukannya. Tapi ketika melihat tangan yang masih berlumuran darah, ia mengurungkan niatnya.

"Nad, I'm okey now. Maafkan aku membuatmu melihat hal seperti ini. Lepaskan aku, Ray sudah baik-baik saja sekarang..." bisiknya pelan.

"You promise me that you will behave, right Bear?"

"Iya, Nad. Ray janji." desah Ray pelan. Ia bahkan tak sempat memikirkan kenapa Nadia menyebutnya dengan kata "Bear" itu. Saat ini, ia cuma merasa kalah, tak perduli meski jika ia memenangkan ribuan perkelahian sekalipun. Peristiwa yang terjadi di rumah kemarin dulu meninggalkan bekas dalam tak perduli sehebat apa ia mencari pembenaran diri. Ray merasa tak terlalu jauh beda dengan sosok tanpa bentuk yang masih berusaha mengangkat kedua tangannya meski tangan itu gemetar hebat.

"Okey. Nad believe in you." sahut gadis itu ketika ia perlahan mengendurkan pelukannya meski tak benar-benar melepaskannya.

Perlahan Ray berjongkok. Memandang sosok tanpa daya yang terus berusaha memohon ampun tanpa mampu berkata-kata itu, angkara dalam hati Ray kembali menghangat. Untung tangan lembut Nadia yang masih menempel erat di bahunya, seakan memberikan dukungan pada Ray. Sambil menekan kemarahan dalam dirinya sendiri, ancaman dalam nada rendah itu mengalir darinya.

"Kau dengar baik-baik, Ayam, dan biarkan anggota kawananmu lainnya juga tahu. Silahkan arahkan semua yang kalian punya kepadaku. Ejek, cemoh, atau bahkan anak buah ayahmu sekalian. Tapi jangan ngomong yang enggak-enggak soal Nadia. Kalau hal ini terjadi lagi, kucabut lidahmu!"

Keheningan mengendap lama, bahkan ketika ucapan perlahan iblis berwujud manusia bernama Ray itu sudah menghilang lama bersama si pemilik suara. Baru ketika dering bel tanda berakhirnya jam istirahat berdering, kerumunan siswa itu seakan kembali mendapatkan kesadaran mereka. Keributan pecah tak terkendali ketika akhirnya mereka sadar bahwa Damas butuh segera mendapat perawatan medis jika tak ingin masalah berkembang menjadi lebih besar dari sekarang.

Banyak dari mereka berdebat tentang bagaimana membuat masalah menjadi kecil, atau menyembunyikannya dari sekolah, atau hanya sekedar bagaimana mengirim pemuda yang berantakan itu ke rumah sakit tanpa menambah derita yang tak perlu.

Tapi Ray, si pelaku kejahatan, sama sekali tak terlibat dalam hal ini. Ia tampaknya bahkan tak menyadari masalah apa yang sudah ia sebabkan, atau mungkin ia tak perduli lebih tepatnya.

Duduk di bangku bis kota yang berjalan, pandangan matanya terus terpaku pada sosok lain yang duduk di sampingnya. Sosok yang terus sibuk menarik tissue dan membersihkan ceceran darah yang menempel di tangan Ray. Mulutnya terus berkicau meski Ray tak mampu menangkap maksud dari apa yang ia katakan. Perlakuan yang ia terima dari gadis ini, ketulusan yang ia tunjukkan, rasa cemas dan khawatir yang mendorongnya untuk mengikuti Ray meloncat kedalam bis kota yang melaju tanpa mengerti kemana bis ini menuju benar-benar membuat Ray kehilangan kemampuan untuk bereaksi dengan benar. Ray hanya tahu kalau gadis ini tak bohong. Perasaan gadis ini tulus padanya, dan Ray takut akan itu.

"Nad..."

"Kalau Bear ngomong cuma untuk menyuruh Nad pergi, lebih baik Bear diam." potong Nadia, yang segera membuat Ray menelan kembali sisa kalimatnya.

"Nad cuma punya satu hati, dan entah Bear suka atau tidak, terlanjur terukir dengan nama Bear. Nad tak perduli apakah Bear akan menerima atau tidak, Nad cuma pengen Bear tahu. Nad suka sama Bear, Nad sayang sama Bear, dan Nad cinta sama Bear!" lanjut Nadia dalam nada semakin meninggi. Perasaannya tertumpah penuh emosi, tanpa menyadari kalau hampir semua penumpang bis kota yang entah menuju kemana itu sudah mulai memperhatikan mereka berdua.

"Bear pernah bilang dulu, cinta tak pernah salah, yang salah adalah mereka yang menggunakan cinta untuk berbuat salah. Yang salah adalah mereka yang mengagungkan cinta dan menjadikannya penjara untuk yang dicintainya. Yang salah adalah mereka yang mencinta tanpa mau mengakuinya. Nad tidak mau seperti itu. Nad berani bilang, Bear, i love you! Nad sayang sama kamu, Bear, meski seringnya aku tak pernah ada dimatamu, tak perduli sekuat apa aku berusaha..."

Nadia tampaknya benar-benar sudah tak mampu menahan emosinya. Apa yang terjadi hari ini sudah mempengaruhinya sedemikian kuat. Ia tak menyadari kalau bis kota yang sebelumnya ramai, menjadi hening ketika pandangan banyak orang tertuju pada mereka.

Sementara itu, menjadi objek sasaran pandangan mata kejam dari banyak penumpang bis, Ray benar-benar berkeringat dingin. Kata-kata Nadia yang terus berkumandang lantang tanpa ia sadari telah menyedot perhatian seluruh penumpang bis, dan sayangnya, melihat bagaimana sedemikian mudahnya Nadia dicintai, Ray jelas adalah penjahatnya. Penjahat besar yang telah membuat si gadis muda cantik dan baik itu melakukan semuanya tapi dikecewakan.

"Nad..."

"Nad belum selesai. Nad selalu berusaha mengejar langkahmu. Nad cuma ingin Bear tahu kalau Nad pasti akan bisa menjadi seperti yang Bear inginkan. Maafkan Nadia, Bear, tapi aku benar-benar menyayangimu..." ujar Nadia lagi. Suaranya perlahan mulai tenggelam dalam isak hingga akhirnya menghilang sepenuhnya dalam tangis pedih.

Ray terpana ketika melihat tubuh gadis itu gemetar dalam isak yang hebat. Dorongan untuk meraih dan mengamankan gadis yang tengah bersedih itu menyeruak hebat dalam dada Ray. Memandangnya dalam kondisi serapuh itu, benar-benar membuat hatinya sakit.

Tapi belum sempat Ray melakukan apapun, salah satu penumpang wanita yang duduk di dekat mereka, berdiri dan meraih Nadia ke dalam pelukannya, sambil tak lupa melemparkan pandangan mata kejam pada Ray.

"Sudah, Nduk. Cup cup, sudah. Tak perlu lagi kau hiraukan lelaki tolol seperti dia. Tak hanya satu lelaki di dunia ini, kamu secantik ini, dia tak pantas untukmu." ujarnya sambil mengelus-elus rambut Nadia, mencoba menenangkan gadis itu, sementara matanya akan mengirimkan sinar kebencian pada pemuda tolol yang tak tahu diuntung itu.

"Iya, Nduk. Huuh, cah ayu begini kok nangis-nangis gara-gara cinta. Jangan, Nduk. Dia ndak pantes."

"He'em Mbak, udah tinggalin aja. Mas e itu wagu, ndak tahu malu. Sok hebat!"

"Kalau kamu mau, Nduk ayu, anakku juga sudah kerja dan belum menikah. Wes, jadi o mantuku saja, daripada ngemis pada cah gebleg tak tahu diri begini..."

???

Lha kok aku yang salah?

Ray bengong ketika melihat reaksi dari para penumpang bis. Ibu-ibu, mbak-mbak, bahkan bapak-bapak kenek bis semuanya kompak menyuarakan satu pendapat.

Nadia yang cantik dan baik, dijahati oleh penjahat besar tak tahu diri, Ray!

Siaaaalan!!!